Artikel Ditulis Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
INDUSTRI gula Nasional terbagi menjadi dua sektor: Gula Kristal Putih untuk konsumsi masyarakat dan Gula Kristal Rafinasi untuk bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman.
Gula Kristal Putih diproduksi oleh Perusahaan Gula (PG), menggunakan bahan baku tebu yang berasal dari perkebunan tebu nasional. Gula Kristal Rafinasi diproduksi oleh Perusahaan Gula Rafinasi (PGR), menggunakan bahan baku Gula Kristal Mentah yang sepenuhnya berasal dari impor. Selain itu, Perusahaan Gula Rafinasi juga bisa produksi Gula Kristal Putih dari bahan baku Gula Kristal Mentah, yang berasal dari impor. Karena proses pemurnian Gula Kristal Putih lebih mudah dan lebih pendek dari Gula Kristal Rafinasi.
Regulasi industri gula di Indonesia pada intinya mengatur tata niaga Gula Kristal Putih, untuk melindungi petani tebu di satu sisi dan konsumen masyarakat di lain sisi. Hal ini dilakukan dengan menjaga harga Gula Kristal Putih tidak terlalu tinggi agar tidak membebani masyarakat, dan tidak terlalu rendah agar tidak membebani petani tebu, karena pendapatannya akan anjlok. Menjaga keseimbangan harga pada gilirannya dilakukan dengan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan Gula Kristal Putih.
Permintaan (konsumsi) Gula Kristal Putih dapat diperkirakan cukup akurat. Tetapi, pasokan Gula Kristal Putih cukup fluktuatif. Karena produksi Gula Kristal Putih dari tebu fluktuatif, dipengarui hasil panen tebu dan cuaca, dan rendemen produksi tebu menjadi Gula Kristal Putih.
Pasokan produksi Gula Kristal Putih dari tebu selama ini tidak bisa mencukupi kebutuhan konsumsi, sehingga terjadi defisit Gula Kristal Putih yang besarnya juga fluktuatif, tergantung hasil produksi.
Defisit Gula Kristal Putih pada 2015 diperkirakan mencapai 360 ribu ton, dengan konsumsi 2,89 juta ton, dan produksi 2,53 juta ton.
Pernyataan Sekretaris Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Achmad Widjaja, yang dimuat di situs Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur pada 19 Mei 2015, membuka fakta bahwa persediaan Gula Kristal Putih ketika itu sangat memprihatinkan, hanya tersisa 325.765 ton pada Mei 2015, tidak cukup memenuhi konsumsi menjelang lebaran (17/7/2015) yang mencapai 400.000 ton, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan gula pasca lebaran, seperti dikatakan Achmad Widjaja: “Bila pemerintah tidak mengantisipasi kondisi ini, maka stok gula nasional setelah lebaran akan kosong”.
Pernyataan Achmad Widjaja dan fakta lapangan ini sekaligus menyangkal pernyataan Kejaksaan Agung, dan Rapat Koordinasi 12 Mei 2015, bahwa akan ada surplus Gula Kristal Putih pada 2015.
Defisit Gula Kristal Putih bisa ditutupi dari dua sumber. Pertama, dari impor barang-jadi Gula Kristal Putih. Kedua, melalui produksi di dalam negeri, dengan mengolah Gula Kristal Mentah yang berasal dari impor menjadi Gula Kristal Putih, di perusahaan gula rafinasi.
Karena itu, pengendalian produksi Gula Kristal Putih dilakukan melalui pengendalian dan pembatasan impor Gula Kristal Mentah.
Artinya, regulasi tata niaga Industri Gula Indonesia pada intinya menjaga pasokan Gula Kristal Putih, dengan cara mengatur dan membatasi dua sumber pengadaan Gula Kristal Putih, yaitu membatasi impor barang-jadi Gula Kristal Putih dan bahan baku Gula Kristal Mentah, dengan cara mengatur perizinan impor.
Regulasi tata niaga impor gula sampai akhir Desember 2015 menggunakan peraturan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) No 527 tahun 2004, untuk mengatur dan membatasi impor Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Mentah.
Pertama, Gula Kristal Putih hanya dapat diimpor dalam kondisi tertentu, yaitu di luar masa musim giling tebu rakyat, atau ketika harga melonjak, atau kekurangan persediaan, ditentukan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar Instansi/Lembaga dan ASOSIASI TERKAIT: bukan Kementerian terkait.
Impor Gula Kristal Putih hanya bisa dilaksanakan oleh perusahaan yang sudah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Gula (IT Gula). Dalam hal ini, tidak disebut secara eksplisit apakah IT Gula adalah BUMN atau swasta: jadi, bisa keduanya.
Frasa “hanya dapat diimpor” jelas bukan merupakan kewajiban. Frasa “Gula Kristal Putih hanya dapat diimpor apabila harga melonjak”, bukan berarti “apabila harga Gula Kristal Putih melonjak, wajib dilakukan impor Gula Kristal Putih”. Tidak seperti itu.
Karena tambahan pasokan Gula Kristal Putih juga bisa dipenuhi dari jalur produksi, dengan mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih di Perusahaan Gula Rafinasi.
Kedua, regulasi impor Gula Kristal Mentah lebih sederhana. Gula Kristal Mentah hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang sudah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Gula, yang sekaligus berfungsi sebagai izin impor.
Artinya, selama jumlah kuota impor Gula Kristal Mentah masih belum habis terpakai, maka IP Gula dapat melaksanakan impor kapan saja, tanpa perlu ada izin impor baru.
IP Gula hanya wajib menyampaikan laporan tertulis mengenai realisasi impor Gula Kristal Mentah setiap kali pelaksanaan impor, serta realisasi dan distribusi hasil produksi Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih, setiap enam bulan produksi.
Peraturan No 527/2004 ini juga tidak menyebut “wajib ada rapat koordinasi” dalam pemberian izin impor Gula Kristal Mentah.