Artikel ini ditulis oleh Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Menarik tayangan Bang Eddy Channel yang mengkritisi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahwa demokrasi Indonesia tidak diperlukan oposisi. Pemerintahan ke depan, konon Kabinet Prabowo, akan menghimpun seluruh partai politik. Koalisi dengan prinsip Gotong Royong.
Bang Eddy benar bahwa pandangan Bamsoet ini memprihatinkan. Konsepsi Gotong Royong itu mengingatkan kehidupan politik pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno. Semua partai politik di bawah kendali Istana. Dampaknya membuka peluang terjadi eskalasi yang berujung pada percobaan kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI). Bangsa Indonesia mengalami musibah politik dan bencana besar.
Pada Sidang Konstituante “Eka Sila” Gotong Royong didukung habis oleh PKI. Pancasila dinilai absurd. Meski Aidit membuat buku “Membela Pantjasila” tahun 1964 tetapi itu hanya topeng untuk membungkus diri yang anti Pancasila. Tentu pandangan Bamsoet dikhawatirkan menjadi pandangan Golkar karena sebagai Wakil Ketua Umum ia dapat merepresentasi. Golkar tentu bukan PKI. Sayangnya secara resmi Partai Golkar tidak meluruskan pandangan Bamsoet.
International Commission of Jurist (ICJ) memberi pemahaman tentang ciri-ciri Negara Hukum, yaitu 1) Perlindungan konstitusional 2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak 3) Kebebasan menyatakan pendapat 4) Kebebasan berorganisasi dan beroposisi 5) Pendidikan kewarganegaraan.
Oposisi menjadi bagian penting dalam Negara Hukum. Tanpa pengawasan dan kritik oposisi maka negara akan bergeser menjadi Negara Kekuasaan.
Oposisi dalam negara demokrasi keberadaannya absolut. Konteks partai politik, partai pemenang Pemilu layak untuk memerintah sedangkan partai yang kalah menjadi oposisi. Demikian terus bergantian. Akan terjadi atmosfir segar dan dinamis dalam berpolitik dan bernegara.
Fungsi oposisi itu penting sebagai penyeimbang kekuasaan, alternatif kebijakan, serta penerobos stagnasi. Oposisi berdiri di kaki sendiri. Akan membuat pengambil keputusan lebih berhati-hati.
Sistem bernegara yang paling pas untuk menjadi contoh hilangnya oposisi adalah Negara Komunis. Negara tanpa kontrol, tanpa peradilan bebas dan niscaya menginjak-injak hak asasi manusia. Negara Komunis adalah negara dimana kekuasaan berada di satu tangan yaitu pada Kepala Negara beserta rezimnya.
Dalam sistem itu partai politik bukan berfungsi sebagai sarana pendidikan politik, agregasi atau penyalur aspirasi. Partai politik semata menjadi alat kepentingan pemerintah.
Canangan dan upaya untuk membangun koalisi besar dari partai-partai politik, apalagi semua, adalah pengkhianatan atas demokrasi atau kedaulatan rakyat. Siapapun rezim yang melakukan pengkhianatan demokrasi harus dilawan dan digulingkan.
Rakyat wajib membangkang atau memberontak. Konstitusi negara Indonesia bukan untuk diimprovisasi seenaknya. Harus dibela akan kemurniannya.
Bang Eddy mengingatkan bahaya koalisi tanpa oposisi menjadi sarana kebersamaan untuk “nyolong” aset negara. Artinya pelanggengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sebenarnya model koalisi bukan karakter sistem Presidensial tetapi lebih sering terjadi pada sistem Parlementer.
Rezim Jokowi telah mengacaukan pelaksanaan sehingga pada sistem Presidensial dapat direkayasa untuk memberlakukan model koalisi Parlementer. Konsekuensinya terjadi penyimpangan berjamaah yaitu perselingkuhan antara Presiden dengan Parlemen.
Partai politik bukan satu-satunya pemilik negara. NKRI adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan Negara Kepartaian Republik Indonesia (NKRI) atau Negara Komunis Republik Indochina (NKRI). Perlu mewaspadai kebangkitan Neo-PKI dengan memaksimalkan proteksi atas Ideologi dan Konstitusi.
Jika Jokowi memang bukan PKI, maka oposisi harus tetap ada, dijaga dan diberi tempat yang mulia. Jangan biarkan Indonesia bergerak ke arah yang salah.
Bandung, 14 April 2024
[***]