Artikel Ditulis Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS, Political Economy and Policy Studies
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong telah menyalahgunakan wewenang atas pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tahun 2015 kepada perusahaan swasta PT AP, sehingga merugikan keuangan negara Rp400 miliar.
Pernyataan kerugian keuangan negara dalam kasus impor Gula Kristal Mentah ini sangat aneh dan tidak masuk akal.
Pada hakekatnya, kerugian keuangan negara disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengeluaran negara dari APBN lebih besar dari seharusnya, misalnya markup. Kedua, pendapatan yang diterima negara lebih rendah dari seharusnya. Hal ini sering terjadi di bidang penerimaan pajak dan bea cukai.
Dalam hal pemberian izin impor Gula Kristal Mentah, kerugian keuangan negara dari kedua kemungkinan tersebut nihil, atau tidak mungkin terjadi sama sekali.
Karena, pemberian izin impor tersebut pasti tidak ada pengeluaran uang negara dari APBN, sehingga tidak ada potensi markup. Dan pemberian izin impor tersebut juga tidak dipungut biaya, alias gratis, sehingga tidak ada potensi penerimaan negara lebih rendah dari seharusnya.
Memang dalam pemberian izin impor bisa saja oknum pejabat negara minta kompensasi, atau fee, atau uang suap, seperti sering terjadi di kementerian yang menggunakan sistem kuota, baik impor atau ekspor. Antara lain, impor produk hortikultura, ekspor benur lobster.
Tetapi, kasus suap inipun tidak ada kerugian keuangan negara, tetapi masuk tindak pidana korupsi.
Apakah Tom Lembong menerima suap? Sejauh ini jaksa tidak menemukan bukti aliran dana kepada Tom Lembong. Oleh karena itu, berdasarkan azas praduga tidak bersalah, Tom Lembong tidak menerima suap dan karena itu tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Jadi, bagaimana Kejagung bisa menghitung ada kerugian keuangan negara mencapai Rp400 miliar, yang dikaitkan dengan kasus impor Gula Kristal Mentah Tom Lembong?
Ooh, ternyata.
Ternyata, Kejakgung memhubungkan-hubungkan kasus impor Gula Kristal Mentah (Tom Lembong) dengan kasus penjualan Gula Kristal Putih PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), PPI, sebuah perusahaan BUMN.
Padahal keduanya merupakan dua kasus atau dua peristiwa yang terputus, atau terpisah sama sekali.
Yang satu ada di sisi hulu industri untuk produksi Gula Kristal Rafinasi untuk keperluan industri, dan yang satu lagi ada di sisi hilir distribusi (atau penjualan) untuk keperluan konsumsi.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan peta industri gula di Indonesia.
Kebutuhan jenis gula di Indonesia dibagi menjadi dua kategori: Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih.
Gula Kristal Rafinasi diperlukan untuk industri pengolahan makanan dan minuman, dan tidak boleh dijual untuk gula konsumsi masyarakat. Ada 11 perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) yang memproduksi Gula Kristal Rafinasi untuk keperluan industri. Salah satunya adalah PT Angel Product (AP) yang disebut-sebut Kejagung menerima izin impor Gula Kristal Mentah.
Bahan baku untuk memproduksi Gula Kristal Rafinasi adalah Gula Kristal Mentah, yang semuanya (100 persen) dipenuhi melalui impor. Karena Indonesia tidak produksi Gula Kristal Mentah.
Oleh karena itu, pemberian izin impor Gula Kristal Mentah harus dilihat dalam konteks untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan Gula Kristal Rafinasi untuk keperluan industri.
Artinya, selama impor Gula Kristal Mentah digunakan untuk produksi Gula Kristal Rafinasi (atau Gula Kristal Putih: akan dibahas di bawah ini), maka pemberian izin impor sudah sah secara hukum, dengan asumsi semua persyaratan perizinan impor sudah dipenuhi, dan tidak ada suap.
Artinya, pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tersebut tidak bisa dikaitkan dengan persoalan distribusi Gula Kristal Putih untuk konsumsi, karena keduanya merupakan dua hal yang terpisah.
Yang kedua adalah Gula Kristal Putih untuk keperluan konsumsi masyarakat. Bahan baku produksi Gula Kristal Putih di Indonesia berbasis tebu. Pabrik Gula Kristal Putih konsumsi bisa BUMN dan Swasta, yang saat ini berjumlah lebih dari 60 perusahaan.
Salah satu regulasi penting dalam pengelolaan dan tata niaga Gula Kristal Putih konsumsi adalah harga, untuk menjaga harga gula konsumsi tidak terlalu tinggi agar tidak membebani masyarakat, dan tidak terlalu rendah agar tidak membebani petani tebu. Untuk itu dibentuk Harga Eceran Tertinggi (HET).
Kalau harga eceran gula terlalu tinggi melampaui HET, berarti pasokan (Gula Kristal Putih konsumsi) tidak bisa memenuhi permintaan (gula konsumsi masyarakat) sehingga membuat harga eceran gula naik.
Untuk mengatasi masalah ini, maka pemerintah harus segera menambah pasokan Gula Kristal Putih dari impor untuk memenuhi defisit pasokan Gula Kristal Putih, sehingga harga eceran gula bisa normal kembali, bisa melalui operasi pasar.
Oleh karena itu, karena ada fungsi sosial untuk stabilisasi harga, maka yang boleh melakukan impor Gula Kristal Putih hanya perusahaan negara (BUMN), sering kali melalui penugasan.
Faktanya, output produksi pabrik Gula Kristal Putih berbasis tebu tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi, karena pasokan (dari perkebunan) tebu tidak cukup.
Dalam kondisi ini, pabrik Gula Kristal Putih dapat mengajukan impor Gula Kristal Mentah untuk diproses menjadi Gula Kristal Putih. Hal ini sah secara hukum. Bahkan seharusnya ini yang dilakukan, karena jauh lebih baik dan bermanfaat bagi perekonomian nasional, dari pada harus impor Gula Kristal Putih yang tidak ada nilai tambahnya.
Hasil produksi Gula Kristal Putih dari pabrik gula (PG) kemudian didistribusikan atau dijual ke masyarakat melalui perusahaan distributor. Salah satunya adalah PPI yang disebut di atas.
Untuk melaksanakan distribusi gula, PPI membeli Gula Kristal Putih dari satu atau lebih pabrik Gula Kristal Putih yang berjumlah lebih dari 60 perusahaan itu.
Ketika ada permainan harga, atau komisi, atau kickback, antara oknum PPI dengan (delapan) perusahaan swasta, maka itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi oknum PPI dan perusahaan swasta tersebut, dan jelas tidak ada urusan dengan pemberian izin impor Gula Kristal Mentah sebagai bahan baku untuk pemenuhan kapasitas produksi yang ada di hulu industri gula.
Kalau ada perusahaan gula swasta yang melanggar peraturan tata kelola gula, menjual gula konsumsi dengan harga lebih tinggi dari HET, maka itu sepenuhnya tanggung jawab perusahaan swasta tersebut. Tidak ada urusannya dengan pemberian izin impor Gula Kristal Mentah yang ada di hulu industri.
Oleh karena itu, tuduhan Kejagung yang menghubungkan kedua kasus yang jelas terpisah ini, impor Gula Kristal Mentah dan distribusi Gula Kristal Putih, merupakan tuduhan yang salah fatal, terindikasi memaksakan mencari-cari kesalahan, yang dapat dimaknai bermotif politik.
Artinya, apabila ada kickback komisi atau pelanggaran prosedur penjualan Gula Kristal Putih konsumsi yang dilakukan oknum PPI bersama perusahaan swasta, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, apabila ada, bukan menjadi tanggung jawab Tom Lembong, atau bukan kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh Tom Lembong. Clear.
Semoga Kejagung dapat menjadi gerbang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menegakkan keadilan sesuai peraturan yang berlaku, bukan mencari-cari kesalahan dari yang benar. Karena, fakta yang benar akan selalu benar, meskipun disalahkan.
(***)