Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Threshold merupakan syarat ambang minimal dukungan untuk keikutsertaan kontestasi politik. Bisa juga diartikan ambang batas diakuinya legal standing dalam kelembagaan politik.
Ada beberapa varian istilah. Parliementary Threshold: ambang batas perolehan suara parpol untuk masuk DPR. Presidential threshold: batas minimal dukungan untuk dapat mencalonkan sebagai presiden. Electoral Threshold: Ambang batas minimal suara partai untuk mengikuti kontestasi pemilu berikutnya secara otomatis.
Ada pula ambang batas dukungan pencalonan kepala daerah. Merupakan batas minimal dukungan yang dipersayaratkan. Untuk bisa mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah.
Putusan MK: 60/PUU-XXII/2024 memicu kontroversi. Inti putusan itu memperlonggar syarat dukungan minimal pencalonan kepala daerah.
Disambut euphoria sejumlah pihak. Kandidat yang pada awalnya tidak memiliki kendaraan politik, kini terbuka kemungkinan memilikinya.
Disisi lain muncul upaya DPR segera mengundangkan RUU Pilkada. Agenda itu dicurigai menggagalkan putusan MK. Melalui penyusupan pasal-pasal yang bertentangan secara spirit dengan putusan MK 60.
Demo digelar besar-besaran. Kamis, 22 Agustus 2022. Beragam motif, multi elemen. Dipersatukan isu bersama: tolak penganuliran putusan MK/60. Ketika DPR gagal quorum, persidangan tidak berlanjut. Demo tidak memiliki pijakan spirit untuk diperpanjang.
Terlepas dinamika terhadap putusan MK itu. Kualitas rekruitmen kepemimpinan daerah tidak cukup didasarkan ambang batas dukungan minimal. Ketidakpuasan atas ambang batas itu selalu berulang.
Pendukung demokratisasi menuntut ambang batas rendah. Tingginya ambang batas menjadi restriksi bagi sebanyak mungkin potensi kepemimpinan untuk kontestasi.
Dalil ini melupakan realitas dekade pertama era reformasi. Banyak kepala daerah terpilih tidak memperoleh dukungan mayoritas DPRD.
Terjadilah konflik eksekutif-legislatif berkepanjangan. Pemerintahan daerah tidak stabil.
Pertama, maraknya tekanan faksi-faksi kuat DPRD terhadap kepala daerah untuk agenda transaksional. Baik penataan personalia ASN di pemerintah kabupaten/kota. Maupun untuk penguasaan proyek-proyek strategis.
Kedua, terdapat kecenderungan impeach kepala daerah. Diganti wakil kepala daerah yang telah berkoalisi dengan faksi-faksi kuat DPRD. Atau (diharapkan) diganti melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD.
Ketiga, maraknya penyanderaan hukum untuk saling menjatuhkan. Khususnya melalui isu-isu korupsi.
Dinamika itu memicu instabilitas pemerintahan daerah secara berkepanjangan. Selama periode jabatan, diwarnai pertengkaran legislatif-eksekutif. Rakyat dikorbankan. Hak memperoleh kemajuan dalam pembangunan menjadi terabaikan.
Fenomena itu menggiring kesadaran bersama. Ambang batas tinggi mendorong terciptanya stabilitas pemerintaan. Dukungan mayoritas DPRD akan menjamin stabilitas pemerintahan daerah. Maka dibuat threshold tinggi. Kini dibatalkan MK.
Putusan MK-60 itu sebenarnya hanya memutar jarum sejarah. Kembali pada era dimana instabilitas pemerintahan daerah dikhawatirkan terjadi. Akan tetapi itu domain MK. Tidak bisa diabaikan.
Perlu kebijakan jalan Tengah. Policy untuk mengatasi potensi instabilitas pemerintahan daerah. Seberapapun ambang threshold kepala daerah.
Pertama, perlu blue print skala prioritas pembangunan daerah. Untuk menghindarkan show of force kebijakan prestise dengan mengorbankan kebutuhan prioritas daerah. Juga menghindarkan lolosnya proyek-proyek transaksional dengan melabrak kebijakan-kebijakan prioritas.
Blue print itu seharusnya tugas Bupati-DPRD. Sementara keduanya sering terlibat konflik berkepanjangan. Prioritas kepentingan rakyat menjadi terabaikan.
Untuk itu perlu Guidance skala prioritas itu berupa payung peraturan. Untuk dipastikan ditaati bersama pemerintah daerah.
Kedua, mempercepat kasus penanganan korupsi kepala daerah. Jika diketahui terdapat indikasi cukup. Agar (tudingan) kasus hukum yang melilitnya tidak dijadikan instrumen transaksional pihak-pihak tertentu. Termasuk eksploitasi persoalan hukum oleh politisi-politisi DPRD atas kepala daerah.
Ketiga, pilkada hanya sekali dalam lima tahun. Tidak perlu pemilihan ulang ketika kepala daerah-wakil kepala daerah berhalangan tetap. Cukup ditunjuk PJ oleh pemerintah pusat.
Agar ambisi impeach dan mengganti kepala daerah bisa diredusir. Terutama ketika kepala daerah tidak memiliki dukungan mayoritas DPRD.
Ketika potensi-potensi instabilitas pemerintahan itu bisa diantisipasi oleh regulasi. Longgarnya ambang batas pencalonan kepala daerah tidak menjadi persoalan. Celah instabilitas itu harus ditutup sebelum threshold rendah diterapkan.
ARS ([email protected]), Jaksel, 25-08-2024
[***]