KedaiPena.Com – The Institute for Regional Institution and Networks (Irian) Institute mengusulkan dua opsi jalan tengah terkait payung hukum Freeport. Opsi pertama, Freeport tetap berbasis rezim Kontrak Karya, namun secara substansi telah terjadi perubahan yang lebih bersifat nasionalis serta berpihak bagi kepentingan nasional, daerah Papua dan masyarakat Papua.
Atau, Opsi II, kontrak karya Freeport berubah dengan payung rezim IUPK namun secara substansi diperoleh ‘win-win outcome’ bagi semua pihak. Namun dalam kaitan ini, maka secara internal, diperlukan kejelasan dan kepastian hukum kepada Freeport seputar surat Menteri ESDM perihal jaminan investasi Freeport tertanggal 7 Oktober 2015 dengan berbagai perubahan aturan sebagaimana Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 pada 11 Januari 2017.
“Sehingga dapat ditemui jalan tengah di dalam proses renegosiasi kontrak karya,” kata Velix Wanggai, MPA, Direktur Riset The Irian Institute dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Rabu (8/3).
Kiranya jalan tengah yang tetap menghormati prinsip kedaulatan nasional dan platform kerjasama ekonomi dalam konteks Comprehensive Partnership between the Republic of Indonesia dan the United States yang diluncurkan pada November 2010.
The Irian Institute juga mengusulkan kontroversi Freeport ini, Pemerintah perlu mendialogkan soal masa depan pembangunan Papua. Melalui para pihak duduk bersama  untuk  mendengar dan berbicara dari hati ke hati soal arah besar pembangunan Papua.
Disadari bahwa dinamika internasionalisasi isu Papua di luar negeri dewasa ini perlu disikapi dengan tepat sebagai perubahan geopolitik yang berimbas terhadap pembangunan Papua.
“Karena itu, The Irian Institute mendesak sudah saatnya digelar Dialog Pembangunan Ekonomi Papua-Jakarta, sebagaimana amanat dalam Buku III RPJMN 2015-2019 yang dipayungi dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015. Dalam Dialog Pembangunan ini, perlu letakkan agenda re-negosiasi Freeport sebagai salah satu agenda, seiiring dengan agenda  penguatan masyarakat adat, masa depan revisi UU Otonomi Khusus, akselerasi pembangunan Tanah Papua,  isu hak asasi manusia dan human security dalam pembangunan, dan berbagai agenda strategis lainnya,” pintanya.
“Semoga prinsip ‘win-win mindset’ menjadi pilihan kebijakan dalam menata investasi di sektor mineral dan sekaligus, memberdayakan dan menpercepat pembangunan Tanah Papua. Kiranya komitmen untuk menata pembangunan Papua ini sejalan dengan visi Indonesia dari pinggiran,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh