MEDIA Australia “The Courier Mail” pernah menjadikan headline beritanya soal Presiden Jokowi dengan judul “Bloody Hands” saat peristiwa yang menimpa WN Australia yang dieksekusi kasus narkoba yang dikenal dengan ‘Bali Nine’ tahun 2015.
Media itu menggambarkan Presiden berpakaian jas dasi tersenyum dengan tangan kanan terangkat dan tapak tangannya bersimbah darah.
Tentu itu adalah reaksi Australia atas hukum tembak yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia terhadap warga negaranya.
Sedangkan media Herald Sun memberi gambar sampul wajah Jokowi dengan tulisan “Portrait of The Killer”.
Entah dari mana asal muasalnya kini beredar kembali di medsos gambar tersebut. Tentu dibumbui dengan narasi tragedi penembakan dan tindakan brutal aparat kepolisian Indonesia dalam menangani aksi 21-22 Mei.
Dalam aksi itu menewaskan delapan orang dan melukai banyak peserta aksi yang awalnya damai tersebut.
Narasi juga menampilkan sosok sang Presiden yang mesti bertanggungjawab atas pembunuhan atau pembantaian di area gedung Bawaslu dan sekitarnya seperti Petamburan Tanah Abang. Tangan Presiden yang berdarah, ‘The Bloody Hands’.
Ditambah dengan tewasnya hampir 700 pelaksana Pemilu di bulan sebelumnya, maka Pemilu saat ini telah menimbulkan “tragedi berdarah” yang luar biasa.
Meski dirasakan aneh oleh rakyat bahwa Pemerintahan Jokowi menyikapi hal ini dengan “adem ayem” saja. Tak ada kebijakan krisis yang seharusnya diambil. Mungkin cocok dengan foto tertawa di media Australia tersebut.
Jatuhnya korban tanpa upaya pencegahan sehingga terkesan adanya pembiaran itu dalam hukum bisa masuk dalam kategori suatu kejahatan (‘crime by omission’).
Presiden yang tidak menindak aparat yang melakukan perbuatan melawan hukum apalagi pelanggaran berat HAM tentu menjadi penanggungjawab atas kejahatan tersebut.
Nampaknya pas jika kasus Pemilu saat ini beban tanggungjawab ada pada Presiden. Sebab Jokowi di samping sebagai kandidat juga ‘de facto’ dan ‘de jure’ adalah Presiden Republik Indonesia. Pengendali dan Kepala Pemerintahan.
Darah yang mengalir baik akibat tindakan aparat maupun sikap pembiaran adalah “The Bloody Hands” sang Presiden. Tuntutan akan berlanjut untuk aspek pertanggungjawaban politik dan hukum.
Meskipun masih bisa tersenyum bahkan tertawa namun tangan Presiden memang telah berlumuran darah. ‘Bloody hands, Mr President!’.
Oleh M Rizal Fadillah, Pengamat Politik, Tinggal di Bandung