Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B
KEPALa Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan warga yang ingin masuk ke ibu kota lewat udara atau bandara wajib membawa dokumen hasil swab Polymerase Chain Reaction (PCR) atau rapid test antigen.
Kebijakan itu berlaku sejak 18 Desember sampai 8 Januari atas instruksi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Kemudian Kemenkes mengeluarkan surat edaran nomor: HK.02,02/I/4611/2020, tentang batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid tes antigen-swab, yang ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Abdul Kadir, pada Jumat (18/12/2020).
Kemenkes menetapkan harga maksimal untuk pemeriksaan rapid tes antigen-swab yang terbagi menjadi dua kategori.
Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid tes antigen-swab sebesar Rp 250.000 untuk di Pulau Jawa dan sebesar Rp 275.000 untuk di luar Pulau Jawa.
Jauh sebelumnya, Sekjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan tes antigen, yang bisa mengeluarkan hasil dalam waktu 15 sampai 30 menit, dihargai sekitar US$5 atau Rp 74.000 per unitnya, sehingga jauh lebih murah dari tes PCR.
Dengan harga tersebut, pemerintah mengatakan masih meminta WHO mempertimbangkan Indonesia sebagai salah satu negara penerima tes cepat antigen dengan harga murah.
Dalam konferensi pers Kamis (1/10/2020) Wiku Adisasmito, Jubir Satgas Covid-19 menyampaikan, pihaknya telah berkomunikasi dengan perwakilan WHO yang ada di Indonesia.
“Kami juga mohon untuk bisa dapat dipertimbangkan untuk bisa mendapatkan bantuan dari WHO untuk tes cepat ini, agar kita bisa mendeteksi lebih cepat dari kasus atau masyarakat yang menderita Covid,” kata Wiku.
Sementara dari power point yang beredar dengan logo Kemenko Meninves, ada merk Test Anti Gen yang sudah punya izin edar dari Depkes, yaitu merk SD Bio Sensor (Korsel) harganya Rp80.000 sampai Rp97.500 per unitnya. Lalu merk Abbot (USA) Rp120.000 sampai Rp1600.000. Serta merk Indec Rp98.000 per unitnya.
Tentu akan timbul pertanyaan, apa dasar penentuan harga yang dipatok untuk pulau Jawa dan luar Jawa setelah negosiasi harga yang murah dan terjangkau dengan pihak WHO.
Kemudian harga yang ditetapkan PwmerintH ternyata naik dua kali lipat sekitar 200 persen dari harga yang disampaikan oleh Sekjen WHO. Kenapa kepada masyarakat menjadi lebih tinggi? Pertanyaan berikutnya siapa supplier yang diuntungkan luar biasa besarnya?.
Jika dilihat batasan waktunya seperti uji coba untuk wajib bagi pengguna pesawat terbang selama 20 hari high session, dari tanggal 18 Desember 2020 sampai 8 Januari 2021, yang diperkirakan sejumlah 2,8 juta penumpang.
Dan tidak tertutup kemungkinan kebijakan ini diperluas baik waktunya maupun jalur perjalanan darat dan laut.
Bahkan Pemda akan latah melakukan kebijakan wajib test Anti Gen buat kegiatan rakyatnya.
Jika begini kondisi pemanfatan pandem Covid-19 sudah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan bagi para supplier. Sementara rakyat masa krisis ekonomi semakin terjepit.
Untuk satu perjalanan berlibur menemui orang tua ke suatu kota jika sekeluarga ada 5 orang untuk tes anti gen mereka harus merogoh kantongnya Rp1.250.000,-. Ini masa krisis ekonomi lho.
Setelah banyaknya keluhan pandemi Covid-19 selain dijadikan alat kekuasaan memberangus demokrasi yakni bagi kalangan yang kritis, diberlakukan aturan hukum prokes, sementara bagi pendukung pilkada dibiarkan berlalu.
Kemudian juga digunakan untuk mengeruk keuntungan dari rakyat dan juga mengendutkan para koruptor dan taipan supplier komoditi seperti yang terjadi pada korupsi bansos oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang diperkarakan oleh KPK.
Tidaklah etis dan terkesan sadis jika kondisi krisis pandemi dan krisis ekonomi digunakan untuk menekan dan memanfaatkan masyarakat, sementara pemerintah menikmati.
[***]