INDONESIA-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA) memang belum resmi ditanda tangani oleh Indonesia dan Korea Selatan. Namun pasca deklarasi bersama untuk penyelesaian perundingan IK-CEPA tersebut yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan kedua negara di Busan awal minggu ini (25/11/2019), malah terdengar berita yang mengkhawatirkan sampai ke tanah air.
Seperti diberitakan oleh Nikkei Asia (25/11/2019), Indonesia akan menghapus tarif impor produk baja, mobil, onderdil mobil, tekstil dan onderdil mesin dari Korea Selatan.
Sementara Korea Selatan akan menghapus tarif untuk bunker C oil, gula, dan bir dari Indonesia. Dalam berita yang sama juga, dikatakan Menteri Perdagangan Korea Selatan sendiri berharap pasar Indonesia dan ASEAN akan juga membebaskan tarif produk baja, onderdil mobil, dan produk petrokimia dari Korea Selatan.
Di manakah letak mengkhawatirkan berita yang bersumber dari Nikkei Asia tersebut?
Pertama. Sebagian produk dari Korea Selatan yang akan dibebaskan tarif masuknya ke Indonesia justru adalah produk kompetitior yang sektor industri di dalam negerinya perlu diproteksi karena sedang sekarat maupun sedang baru akan dibangkitkan.
Masuknya produk baja dari Korea Selatan dengan harga bebas tarif pasti akan semakin memukul Krakatau Steel yang terus bleeding bertahun terakhir akibat banjirnya produk baja dari Cina.
Masuknya produk tekstil Korea Selatan bebas tarif ke pasar domestik yang juga sudah dikuasai produk Cina, bukan kabar baik bagi sektor industri tekstil yang dalam setahun terakhir sudah terdapat sembilan pabrik yang gulung tikar karena kalah bersaing.
Begitupun pembebasan tarif untuk produk mobil dan onderdilnya, hal ini sangat tidak sesuai dengan visi Pemerintah sendiri yang sedang mempersiapkan pembangunan industri mobil listrik nasional dan sekaligus mengurangi konsumsi bahan bakar minyak.
Membanjirnya mobil Korea Selatan tentu akan semakin meningkatkan konsumsi BBM domestik sehingga akibatnya impor BBM pun harus ditambah.
Termasuk rencana Korea Selatan (seperti disampaikan Menteri Perdagangannya kepada Nikkei Asia) membanjiri pasar Indonesia dengan produk petrokimianya. Ini juga tidak sesuai dengan visi Pemerintah yang sudah sejak lama berencana membangun kompleks industri petrokimia di Masela demi meningkatkan niai tambah kekayaan gas alam kita sekaligus mengurangi impor produk petrokimia.
Kedua. Dari tiga produk ekspor Indonesia yang dibebaskan tarif masuknya ke Korea Selatan, ada satu yang tak lazim, yaitu gula. Indonesia adalah importir gula yang terbesar di dunia, sebesar US$ 1,8 miliar atau mencapai 7,7% dari total gula yang diimpor di dunia (sumber: worldstopexport.com).
Memang Korea Selatan juga termasuk importir gula, tapi negara ginseng ini menduduki peringkat ke tujuh, jauh di bawah Indonesia, dengan nilai impor sebesar US$ 659 juta atau 2,8% dari total impor gula dunia. Apalagi kita semua paham bahwa harga gula Indonesia nilainya 2-4 kali lipat dari harga gula dunia.
Melihat fakta tersebut, bukan tidak mungkin ada yang curiga, jangan-jangan ini ulah para pemain besar eksportir gula yang hendak pakai fasilitas bebas tarif Indonesia untuk masuk pasar Korea Selatan.
Untuk produk ekspor lain seperti bunker c oil mungkin tidak masalah karena ini memang termasuk produk turunan migas andalan kilang Pertamina di Cilacap. Perlu diketahui, total ekspor dari berbagai produk migas Indonesia ke Korea Selatan sepanjang tahun 2019 “hanya” US$ 31 juta.
Produk bir (Beer) juga tidak masalah, walau memang kapasitas ekspor bir Indonesia yang tidak signifikan nilainya. Total nilai ekspor produk bir Indonesia ke seluruh dunia hanya sekitar US$ 8,5 juta di 2018.
Ketiga. Akibat dari timpangnya nilai produk ekspor kita ke Korea Selatan (yang sangat kecil) bila dibandingkan dengan nilai produk impor dari Korea Selatan (yang sangat besar), defisit neraca perdagangan dengan Korea Selatan pasti akan semakin meningkat.
Kemungkinan besarnya bisa 2-3 kali lipat dari besar defisit perdagangan yang sekarang. Perlu diketahui, sepanjang 2019, neraca perdagangan Indonesia dengan Korea Selatan sudah defisit (-) US$ 765 juta.
Nilai defisit neraca perdagangan dengan Korea Selatan ini menyumbang lebih dari sepertiga dari total defisit neraca perdagangan (kumulatif) Indonesia sepanjang Januari-September 2019 yang sebesar US$ 1,95 miliar.
Bila perjanjian IK-CEPA sudah ditandatangani, bukan tidak mungkin sumbangan defisit neraca perdagangan dengan Korea Selatan ke depannya akan menyumbang lebih dari separuh dari total defisit neraca perdagangan Indonesia- yang tentu juga ikut melebar.
Bila defisit neraca perdagangan semakin melebar, maka tidak ada harapan defisit transaksi berjalan dapat membaik.
Masuknya investasi dari Korea Selatan seperti rencana pembangunan pabrik mobil Hyundai senilai US$ 1,5 miliar maupun rencana pembangunan pabrik baterai listrik LG Chem (yang belum pasti) sebesar US$ 2,3 miliar seperti tidak berarti, bila dibandingkan dengan potensi melebarnya defisit sebesar (kira-kira) US$ 1,5-2 miliar setiap tahunnya setelah IK-CEPA ditandatangani.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)