KEHADIRAN media sosial benar-benar dimaksimalkan oleh SBY, Presiden ke-6 RI, untuk mendisiminasikan kegiatan politiknya dan opininya tentang berbagai masalah bangsa.
Bisa dikatakan, hampir setiap minggu ada saja postingan SBY. Baik yang bersifat pasif dan tertulis seperti Twitter maupun yang aktif dalam bentuk gambar dan narasi, berupa video di YouTube.
“Tiada waktu tanpa ciutan SBY”, demikian kelakar seorang sahabat mengomentari kegemaran SBY yang mengirim pesannya melalui medsos Twitter.
Sesuatu yang positif dan produktif mestinya. Hanya saja sejauh mana efektifitasnya, belum pernah ada yang mengukurnya.
Yang hampir dapat dipastikan, pesan-pesan Presiden RI untuk dua periode itu ( 2004 – 2014) tak sia-sia.
Karena nyatanya, beberapa pesan SBY, sempat menimbulkan reaksi maupun polemik.
Pilihan SBY, menggunakan medsos ada benarnya. Sebab kalau benar data yang menyebutkan, di era Teknologi Informasi (TI) ini, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai sekitar 43 juta orang, bisa berarti pesan-pesan SBY menjangkau jutaan rakyat Indonesia.
Dengan cara itu, SBY bisa menjaga komunikasi dan interaksi dengan masyarakat luas maupun konstituennya.
Soalnya setiap kali mengakses YouTube maupun Twitter, seorang pengguna internet, pasti lebih dulu masuk ke pintu gerbang internet. Di sanalah interaksi dan komunikasi itu terjadi walaupun sifatnya tidak langsung.
Kalau 10 persen saja dari total pengguna internet Indonesia mengikuti postingan SBY, maka minimal terdapat 4,3 juta warga Indonesia yang terjaring oleh SBY di dunia maya.
Yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan mengapa hampir semua postingan SBY berisi kritikan kepada Joko Widodo, Presiden yang menggantikannya ?.
Mengapa SBY tidak menyasar para netizen tersebut dengan materi yang bersifat dukungan, masukan atau memperkuat kredibilitas Jokowi sebagai pemimpin baru Indonesia ?
Pertanyaan muncul, sebab jika cara SBY ini dibandingkan sikapnya ketika “lepas sambut” pada 21 Oktober 2014, sangat bertolak belakang. Jokowi sudah memperlakukannya sebagai pemimpin. Sebaliknya SBY hanya memperlakukan Jokowi sebagai Presiden “yang tidak tahu apa-apa”.
Pada acara “pisah sambut” 2014, sekalipun SBY sudah tidak lagi berstatus sebagai Presiden, tetapi ia tetap meminta protokol Istana agar dialah yang menyambut Joko Widodo sebagai penghuni baru Istana Merdeka dan Istana Negara.
Pemandangan yang aneh itu tidak dipersoalkan. Sebab yang coba dilihat adalah sisi positifnya dari skenario tersebut. Tak apa-apalah acara kenegaraan dibuat menyimpang dalam rangka menghormati seorang presiden yang berharap untuk dihormati.
Itu sebabnya, Presiden Joko Widodo pun tidak menampik keinginan SBY untuk memperkenalkan tata cara baru dalam pergantian presiden. Demi citra SBY sebenarnya.
Namun setelah semua penghormatan diberikan Joko Widodo kepada SBY, pak Beye ini, sekarang berubah. Tak merasa punya hutang budi pada pengusaha meubel dari Solo ini.
Kalau tidak mengeritik, setidakmnya menyindir.
Kalaupun kritikannya tidak langsung ke Jokowi, setidaknya materi postingan SBY mengandung pesan bahwa SBY masih eksis. Seolah SBY ingin menunjukkan bahwa dia masih eksis sebagai “Presiden Bayangan”.
Atau bekas Presiden yang terus membayang-bayangi setiap langkah Presiden de facto dan de jure, Joko Widdodo. Dengan eksistensinya itu, mungkin Joko Widodo oleh SBY diharapkan agar sekali-kali bertanyalah ke dirinya. Bagaimana cara menjadi seorang Presiden.
Walaupun SBY tinggal di kediaman pribadi Puri Cikeas, tetapi dari “Istana Cikeas” itu, SBY masih bisa berperan. Perannya tak kalah dengan lakon Joko Widodo, Presiden RI yang bisa mengatur Indonesia dari Istana Bogor.
Tanpa jabatan resmi, SBY masih bisa mengatur Indonesia. Agak berbau Post Power Syndrome.
Beberapa kegiatan SBY yang bisa ditafsirkn seperti ini misalnya dari postingannya ketika berkunjung ke luar negeri.
Ada yang di Australia, di Jeddah, Arab Saudi ataupun Singapura, yang semuanya memberi kesan bahwa pihak luar saja masih mengakuinya sebagai Presiden RI. Mungkin juga ada yang bingung, siapa sebetulnya Presiden RI saat ini?
Di Arab Saudi misalnya SBY menghadiri rapat konsultasi yang membicarakan soal peran Organisasi Konperensi Islam (OKI). Lho koq bisa ?
Di dalam negeri ada postingan ketika menghadiri peringatan hari jadi sebuah devisi di TNI Angkatan Darat. Isinya mengesankan bahwa SBY merupakan seorang pemimpin Indonesia yang dihormati oleh kelompok militer Indonesia.
Apa yang dilakukan SBY sepanjang niatnya memang baik bagi kepentingan bangsa dan negara, tidak ada yang salah. Atau sah-sah saja.
Hanya saja keabsahan atas segala kegiatan SBY yang mengesankan statusnya masih sama seperti seorang Presiden ‘de facto’ dan ‘de jure’, itulah yang membingungkan dan menjadi tidak patut.
Terdapat cukup banyak alasan untuk mengatakan, cara-cara SBY itu tidak cukup patut – terutama bila ditilik dari segi ‘fatsoen’ politik, etika bangsa Timur, kematangan berdemokrasi, kejujuran dan keihlasan.
Misalnya, ketika SBY memulai kritikan dan postingan tersebut, usia pemerintahan Presiden Joko Widodo, baru baru beberapa bulan. Kritikan itu jelas tidak mengandung kejujuran dan keihlasan.
Sebab saat itu, Joko Widodo baru mulai bertugas sebagai Presiden. Pekerjaan atau pertama yang perlu dilakukannya adalah penyesuaian.
Kalau di negara Barat, Amerika Serikat khususnya, negara yang menjadi Tanah Air Kedua SBY, di sana saja dikenal istilah “100 hari kerja pertama”.
Artinya tiga bulan pertama itu (100 hari), digunakan oleh seorang Presiden baru melakukan penyesuaian. Itu untuk standar Amerika, negara yang sudah hampir 300 tahun merdeka. Negara dengan tingkat kemajuan teknologi, kematangan demokrasi dan kemakmurannya yang relatif terbaik dan mengungguli hampir semua negara di dunia.
Bagaimana dengan Indonesia ? Yang ketika ditinggalkan Presiden SBY pada Oktober 2014, dibebani oleh begitu banyak kerusakan dan kehancuran.
Lupakah SBY tentang kehancuran yang ditimbulkan oleh skandal Bank Century ? Kasus korupsi yang banyak melibatkan kader partainya – Partai Demokrat ?
Siapa bilang pemenjaraan Menteri Olahraga dan Pemuda Andi Mallarangeng yang note bene Jurubicara Presiden SBY, tak membuat traumatis bagi Presiden Joko Widodo ?
Atau dibuat bingung oleh keluhan Menteri Pariwisata dan ESDM Jero Wacik, ketika mau dibui oleh KPK.
Kader Partai Demokrat ini sampai-sampai berteriak minta bantuan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla agar KPK tidak memenjarakannya.
Wacik dikenal sebagai Tim Sukses SBY sejak Pilpres 2004.
Wartawan yang melilput keluhan, teriakan Jero Wacik saja sempat menilai hal itu sebagai sesuatu yang aneh. Tapi itu fakta. Aneh tapi nyata.
Lupakah SBY bagaimana Sistem Kabinet Presidentiel digantinya menjadi Sistem “Ragu-Ragu” antara Kabinet Presidentiel dan Kabinet Parlementer ? Diakui atau tidak, hal ini seolah menjadi kovensi dan harus dilanjutkan Jokowi.
Padahal melanjutkan hal yang tidak sesuai konstitusi itu, sama dengan merusak tatanan sistem politik dan pemerintahan Indonesia.
Selain itu, sejak reformasi 1998, Indonesia menjadi seperti negara yang merdeka dan sedang melakukan pencarian bentuk. Karena dalam waktu 16 tahun (1998 – 2014) terjadi 5 kali pergantian presiden. Negara yang dalam kurun waktu itu melakukan perubahan konstitusi dan sistem politik sebanyak lebih dari dua kali.
Keadaan ini otomatis mempengaruhi bagaimana Jokowi melakoni peran kepresidenannya. Bahwasanya Jokowi punya kelemahan termasuk dalam kapabilitas, itu merupakan sebuah faktor lain.
Kritik atau cara SBY mengkritisi pemerintahan Joko Widodo, untuk mengingatkan SBY dengan harapan SBY bisa kembali ke jati dirinya.
Sejak masih menjadi salah seorang perwira tinggi di TNI AD, di eranya Pak Harto, SBY sudah dikenal sebagai perwira militer santun, pintar dan visioner.
Oleh tiga hal di atas inilah SBY dipilih mayoritas rakyat sebagai pengganti Megawati Soekarnoputri di tahun 2004
Masih segar dalam ingatan. SBY yang santun, pintar dan visoner, sempat dikritik dan dilecehkan oleh Taufieq Kiemas (almarhum). Tetapi SBY saat itu hanya seribu bahasa.
SBY dijauhi Megawati, Presiden sekaligus isterinya Taifiq Kiemas.Tetapi simpati masyarakat terhadap SBY justru mengalir deras.
Sebagai bekas Presiden, SBY masih diperlakukan layaknya seorang Presiden. Tapi anehnya, sekalipun diperlakukan demikian, prilakunya dalam mengeritik pemerintahan Jokowi mirip cara-cara LSM, politisi oposisi atau orang kebanyakan.
Kalau mau kontras, tingkah laku politik Pak SBY sangat jauh berbeda dengan sikap Prabowo Subianto.
Sekiranya Prabowo Subianto yang bertingkah laku politik seperti SBY, masih bisa dimaklumi. Sebab Prabowo kalah tipis suara dalam perebutan kursi Presiden di Pilpres 2014 dari Joko Widodo.
Prabowo Subianto, yang sering dituduh kasar berpolitik, tetapi terhadap Joko Widodo, lawan politik rielnya, nyatanya tak demikian.
Prabowo justru lebih santun dan tak melakukan berbagai postingan yang mau mendegradasi kewibawaan seorang Presiden RI.
Yah, SBY perlu melakukan intospeksi. Takutnya Joko Widodo yang sebetulnya, tidak setara pengalamannya dengan SBY, bisa saja membalasnya.
Seperti ketika Jokowi melakukan inspeksi ke proyek gagal Pusat Olahraga Hambalang.
Proyek ini dinbangun di era SBY dengan dana di atas satu triliun rupiah. Semua uang sudah dicairkan, tetapi proyeknya hanya berbentuk puing-puing. Seperti kawasan yang ditinggal penghuni akibat dibombardir oleh pesawat tempur yang berperang.
Apa tidak malu ?
Saya berharap Pak SBY bisa menjadi seorang negarawan. Dan tak ada lagi yang mempermalukannya.
Prilaku Goerge Bush dan Bill Clinton dua orang eks Presiden AS, patut ditiru. Beda partai, tapi selalu memperlihatkan kekompakan dan semangat Amerika yang saling mendukung.
Atau tirulah prinsip BJ Habibie.
Di tahun 1999, dalam Sidang Istimewa MPR-RI, lembaga tertinggi itu melengserkannya secara hostile. Tapi hal itu tidak membuatnya dendam, termasuk kepada Partai Golkar yang menghianatinya.
Hal itu dibuktikan Pak Habibie pada Maret 2016. Delapan belas tahun lalu Partai Golkar ikut memnggusurnya dari kekuasaan. Tapi saat semua sudah lupa, dia pula yang ikut berinisiatif mempersatukan Partai Golkar.
Sebab bagi negarawan seperti Pak Habibie, jabatan Presiden sekalipun, hanya titipan dan sifatnya sementara. Cepat atau lambat jabatan itu harus dikembalikan kepada yang menitipkannya.
Tapi terserah ke Pak SBY. Hidup itu jua sebuah pilihan. Setiap orang punya hak prerogatif memilih jalan hidupnya.
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior