PAGI ini 31 Desember 2016, pada penutup tahun 2016, saya dengan keluarga menginap di rumah ibu mertua, di Desa Tani Mulya, Kecamatan Ngamprah. Suasana desa yang cukup ramai.
Bangun pagi makan gorengan bakwan dan gehu (tahu isi) hangat, disertai air putih karena tidak ngopi dan merokok. Baca koran daerah. Wuih Nikmat. Tapi, nanti dulu, waduh.
Astaga, saya terkaget membaca salah satu koran daerah, terbitan kemaren, Jum’at 30 Desember. Mertua saya senang membaca koran dan menyediakan di meja untuk di baca sembari sarapan pagi.
Saya memang sudah lama tidak membaca koran apalagi koran daerah, biasanya browsing melalui internet media online.
Apa yang membuat saya kaget adalah berita utama dari koran tersebut, yang digagas oleh sahabat saya M. Ridlo Eisy, wartawan sangat senior yang pernah menjadi komisioner Dewan Pers.
Beritanya ditampilkan biasa dengan Judul warna merah ‘Terpaksa Putus Sekolah, Potret Buram Pendidikan di Kecamata Cimenyan’.
Data yang tertulis bersumber dari BPS Kab. Bandung. Ada angka untuk 9 desa, saya totalkan saja yang tidak bersekolah 4654 orang, yang tidak lulus SD 11.861 orang.
Belum terpotret data yang putus sekolah di SMP dan SMA. Karena ketiadaan sekolah SD dan relatif jauh dari desa mereka. Sehingga untuk mencapai sekolah membutuhan transport dan jajan Rp50 ribu per orang.
Sehingga ketidakmampuan secara ekonomi karena sekolah yang jauh terpaksa tidak bersekolah dan putus sekolah.
Angka yang spektakuler untuk satu kecamatan, yang notabene ada di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat yang relatif dekat dengan Ibukota Republik Indonesia di mana Istana Presiden dan para menterinya berada.
Kaget jika membayangkan ada 72.994 desa dan 6.793 ribu kecamatan, dengan kasus pendidikan seperti Kecamatan Cimenyan yang relatif dekat Istana Presiden dan dekat Pendopo Gubernur.
Sementara puluhan ribu desa yang lain jarak dan letaknya sangat jauh dari Istana dan pendopo.
Potret buram pendidikan di desa, merupakan wajib belajar, menurut UU sebagai wajib belajar 9 tahun, yang seharusnya 12 tahun adalah tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Indonesia dengan kewajiban anggaran terbesar 20 persen.
Persoalan dan solusinya sebenarnya mudah, yakni pengadaan bangunan sekolah dengan pengadaan guru. Tidaklah sesulit dan semahal pengadaan jalan tol, pelabuhan dan bahkan kereta api cepat Bandung-Jakarta, made in Cina.
Tapi kenapa yang mudah malah sukar untuk direalisir, ataukah kita bangga dengan kebodohan sudah sekian lama merdeka ternyata untuk mencerdaskan bangsa dengan memberikan pendidikan wajib untuk SD kita tidak sanggup.
Sembari menutup koran daerah dan menghela napas serta meminum air karena kerongkongan tercekat dengan kekagetan. Saya menerawang ingat tahun 1977 di mana Rizal Ramli dkk, semasa mahasiswa membentuk Gerakan Anti Kebodohan dengan tuntutan ada 6 juta anak tidak bersekolah.
Walaupun akhirnya Rizal Ramli termasuk saya serta para aktivis mahasiswa di berbagai kampus ditangkap dan dipenjara di awal tahun 1978. Namun ide dan tuntutan Gerakan Anti Kebodohan oleh rezim Soeharto akhirnya diterima menjadi wajib belajar enam tahun.
Namun sekarang fakta kasus pendidikan di kecamatan Cimenyan, hampir 40 tahun kemudian ternyata masih merupakan potret ketidak mampuan pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya wajib belajar 9 tahun (yang seharusnya wajar 12 tahun).
Tidakkah kebanggaan yang kosong, dengan kemegahan dan kemewahan ibukota disertai reklamasi belasan pulau dengan gedung megahnya, berkereta api cepat yang mahal.
Sementara rakyat terutama generasi mudanya di sekitarnya bodoh tidak bersekolah, dengan orang tua yang papa dan miskin karena tidak pernah menduduki bangku sekolah, rentan menjual semua harta milik mereka, satu satunya tanah warisan didesa dijual secara murah kepada 1% orang kaya, yang menguasai 56% kekayaan bangsa.
Masihkah penguasa hanya peka terhadap kritik yang dianggap menyerang ketidakmampuan dan kelemahan mereka dan sigap serta cekatan membela diri dan menangkapi warganya yang kritis dengan alasan hantu makar dan UU ITE. Sementara USA negara demokrasi mengakui 80% sosmed beredar kabar bohong, namun tidak satupun aktivisnya yang ditangkap dengan UU ITE.
Saya tutup tulisan dengan harapan agar yang memegang amanah dan kekuasaan tahun 2017 menjadikan tahun untuk melaksanakan tuntutan/ suara rakyat. Semoga sadar untuk melakukan perbaikan bangunlah bangsa dan selenggarakan wajib belajar 12 tahun, sebagai amanah pembukaan UUD 45 untuk mencerdaskan bangsa.
Bekerjalah untuk rakyat bukan untuk konglomerat, lepaskan mereka yang kritis rangkul pemikiran dan ide mereka, otoriternya rezim Soeharto ide mahasiswa di tahun 77 dan 78 berbuah wajib belajar 6 tahun.
Presiden Jokowi yang berasal dari sipil tentunya tidak ingin tercatat sebagai presiden yang otoriter karena merasa bahwa DPR/Senayan sudah dikuasai semua.
Oleh Syafril Sjofyan, Aktivis 77/78