BANTAHAN demi bantahan dilancarkan oleh Kementerian Keuangan baik soal melemahnya daya beli yang berakibat lesunya perdagangan retail, soal mengejar pajak ke sasaran yang kecil, soal membiayai biaya operasional dan alat tulis dengan kartu kredit, soal utang yang sangat agresif, soal bunga utang yang sangat tinggi sampai soal dalam 2,5 tahun pemerintahan Jokowi utangnya lebih besar daripada utang pemerintahan SBY selama 5 tahun 2004-2009.
Bantahan-bantahan itu sebenarnya tidak pernah bisa benar-benar membantah karena memang isu-isu itu susah dibantah karena memang benar. Sehingga bantahan yang sebenarnya hanya bertujuan menjaga citra saja, diberikan dengan bahasa data-data yang umum saja yang hanya bisa meyakinkan masyarakat yang tidak terlalu mengikuti persoalannya dan masyarakat yang tidak tahu menahu mengenai masalah ekonomi dan keuangan.
Yang penting bantahan itu dimuat di media utama baik cetak ataupun online supaya memberikan kesan bahwa isi bantahan dari Kemenkeu itu benar.
Bantahan yang terakhir diberikan oleh Suminto, Direktur Pembiayaan Syariah Ditjen Pembiayaan dan Pengelolaan Resiko Kemenkeu. Dia mengatakan bahwa Indonesia tidak akan bangkrut akibat utang yang perbulan Februari 2018 telah mencapai Rp4.034 triliun. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah mengelola utang dengan baik dan memberikan kepastian bisa membayarnya.
Saat ini katanya utang pemerintah mencapai 29,2 persen dari PDB padahal menurut UU batasnya adalah 60 persen dari PDB. Pemerintah juga menggunakan utang ini untuk hal-hal yang produktif. Suminto juga membandingkan utang Indonesia dengan utang Jepang yang mencapai rasio utang 239 persen terhadap PDB-nya , AS 107 persen dari PDB-nya dan Inggris yang 89 persen dari PDB-nya.
Kami akan fokus untuk membahas Jepang yang mempunyai rasio utang terhadap PDB terbesar di dunia. Namun untuk membahas tentang kesehatan ekonomi suatu negara tidak cukup hanya membahas besarnya stok utangnya  saja. Tetapi juga besarnya bunga utangnya, produktivitas utangnya yang dicerminkan oleh kemajuan pembangunannya, kesejahteraan rakyatnya dan sebagainya.
Kalau kita hanya membahas stok utangnya saja, maka itu ibarat dokter yang memeriksa kesehatan pasiennya hanya dari satu indikator saja yaitu normalnya tekanan darahnya. Padahal dari pengalaman pribadi menunggu keluarga yang sudah koma karena berusia lanjut tekanan darahnya normal 120/80, padahal koma dan akhirnya meninggal dunia.
Karena itu sangat keliru bila kita menilai ekonomi Indonesia sehat dengan hanya melihat satu indikator saja yaitu stok utangnya hanya 29,2 persen dari PDB, jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia yang 54 persen PDB, negara-negara Eropa yang tinggi-tinggi diatas 80 sampai 100 persen PDB apalagi Jepang yang 239 persen dari PDB .
Setelah dikaji dengan mendalam didapat kesimpulan sebagai berikut. Pertama, ternyata bunga bond (obligasi) Jepang sangat kecil. Yaitu untuk bond denan tenor 10 tahun bunganya hanya 0,1 persen pertahun. Apalagi 40 persen dari bond tersebut dimiliki oleh Bank of Japan (Bank Sentral Jepang) dan sebagian dengan bunga minus 0,1 persen (Pemerintah Jepang bahkan menerima pembayaran bunga atas bond tersebut sebesar 0,1 persen) dan 0 persen ( Pemerintah Jepang tidak mempunyai kewajiban untuk membayar bunga atas bond tersebut).
Sebagian besar bond yang lain dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Jepang dan warga Jepang yang banyak sekali yang kaya dan sangat kecil porsi bond yang dimiliki oleh asing. Ini merupakan manajemen makro ekonomi yang luar biasa. Pemerintah Jepang mendapatkan dana yang sangat murah untuk memberikan stimulus ekonominya dengan kewajiban bayar bunga yang sangat rendah, terlindungi dari gejolak kurs valuta asing, dan sangat kecil kemungkinannya terganggu oleh kaburnya investor bond karena investor asingnya sedikit. Sehingga ekonomi Jepang akan sangat stabil.
Kedua, bunga bond yang sangat kecil ini memungkinkan pemerintah Jepang mengatur anggarannya dengan leluasa untuk berbagai sektor yang penting tanpa terganggu dengan pembayaran utang pokok dan bunganya. Tidak seperti pemerintah Indonesia yang APBN-nya sangat terganggu dengan pembayaran utang pokok dan bunganya yang terus membesar, sehingga jumlahnya lebih besar dari anggaran pendidikan dan infrastrktur. Apalagi bila dibandingkan dengan anggaran kesehatan, pertahanan, riset dan sebagainya.
Ketiga, dengan adanya 40 persen bond Pemerintah Jepang dimiliki oleh Bank of Japan (Bank Sentral Jepang) dengan bunganya yang minus 0,1 dan 0 persen, maka sebetlnya secara riil stok utangnya hanya 60 dari 239 persen PDB. Atau dengan kata lain, stok utangnya hanya sebesar 143,4 persen PDB-nya. Jauh lebih kecil dari 239 persen PDB-nya seperti yang dicantumkan dalam tabel-tabel IMF dan Bank Dunia seperti yang sering dikutip orang (termasuk sering dikutip mentah-mentah oleh Menkeu Sri Mulyani dan jajaran pejabat Kemenkeu).
Akibatnya kewajiban pembayaran bunga utang Pemerintah Jepang bila diasumsikan semua bond bertenor 10 tahun dimana untuk tenor 10 tahun bunganya hanya 0,10 persen pertahun maka kewajibannya menjadi hanya 0,1 persen x 143 ,4 persen PDB atau sama dengan 0,1434 persen PDB. Jauh lebih kecil dari pada kewajiban  pembayaran bunga utang Pemerintah Indonesia.
Kewajiban pembayaran bunga utang Indonesia untuk tenor 10 tahun saat ini 7 persen per tahun. Sedangkan stok utang pemerintah Indonesia hanya 29,2 persen PDB. Namun karena bunga utang Indonesia untuk tenor 10 tahun sangat tinggi yaitu 7 persen atau 70 kali lipat Jepang maka pembayaran bunga utangnya sama dengan 7 persen x 29,2 persen PDB atau sama dengan 2,044 persen PDB.
Kemudian kita periksa lebih detil secara nominal, PDB Jepang 2017 adalah USD 4949 miliar. Bunga utangnya 0,1434 persen dari PDB per tahun. Jadi bunga utang yang harus dibayar pemerintah Jepang 0,1434 persen x USD 4949 miliar sama dengan USD 7,097 miliar per tahun.
Sedangkan PDB Indonesia adalah USD 1000 miliar. Maka bunga utang yang harus dibayar oleh pemerintah Indonesia adalah 2,044 persen x USD 1000 miliar sama dengan USD 20,44 Milyar. Jadi hampir 3 kali lipat daripada yang harus dibayar oleh pemerintah Jepang. Padahal kalau dilihat hanya dari stok utangnya Indonesia hanya 29,2 persen PDB dan Jepang 239 persen PDB menurut tabel IMF dan Bank Dunia.
Catatan, walaupun di dalam perhitungan di atas ada penyederhanaan yaitu mengasumsikan bahwa semua bond mempunyai tenor 10 tahun, namun prinsip pernyataan bahwa bunga utang bond Indonesia berkali lipat dari pada bond Jepang bisa dipertanggungjawabkan karena bunga bond kita 70 kali lipat dari pada bond Jepang.
Keempat, yang juga harus dibandingkan antara Indonesia dan Jepang adalah NIIP (Net Internasional Investment Position) yaitu artinya net aset internasional yang dimiliki suatu bangsa dikurangi dengan aset bangsa asing didalam negeri. Jadi kalau NIIP positif berarti bangsa itu punya aset diluar negeri.
Tetapi kalau NIIP-nya negatif berarti bangsa itu punya utang (liability) di luar negeri. Jepang menurut data dari IMF Â mempunyai NIIP positif USD 3,067 triliun. Artinya Jepang adalah negara kreditor atau pemberi utang (investasi) di dunia internasional.
Sedangkan Indonesia mempunyai NIIP minus USD 413 miliar. Jadi Indonesia adalah bangsa yang yang berhutang (liability) sebesar angka tersebut ke dunia internasional. Jadi membandingkan Indonesia dengan Jepang hanya menampilkan besar utang terhadap PDB (Indonesia 29,2 persen PDB dan Jepang 239 persen PDB) Â seperti yang sering dikemukakan oleh Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran pejabat Kemenkeu adalah manipulatif dan sungguh tidak fair. Bahkan menunjukkan bahwa mereka menutupi kondisi yang sebenarnya demi mencapai popularitas.
Selain empat hal di atas, dalam kaitannya dengan utang pemerintah yang didapatkan dari penerbitkan bond (obligasi) adalah tingkat bunga kuponnya yang sangat tinggi. Bahkan bila dibandingkan dengan Vietnam yang hanya mempunyai rating utang dari S&P BB- ( Indonesia BBB-) yang artinya rating utang Vietnam berada di tiga tingkat di bawah Indonesia dan Vietnam masih belum termasuk layak investasi (investment grade) dan masih termasuk di level yang spekulatif atau beresiko lebih tinggi, bunga utang bond Indonesia sangat tinggi.
Dalam dunia keuangan internasional, bila rating utangnya lebih tinggi maka bunga bond-nya harus lebih rendah. Bila Indonesia dibandingkan dengan Vietnam malah kebalikannya. Rating utang Indonesia lebih tinggi tiga tingkat dari Vietnam tetapi bunga bond-nya malah lebih tinggi dari Vietnam.
Bunga utang bond 10 tahun Indonesia mencapai 7 persen pertahun sedangkan untuk Vietnam hanya 4,56 persen pertahun. Jadi seandainya bunga bond Indonesia disamakan saja dengan Vietnam (seharusnya bunga bond Indonesia lebih rendah dari Vietnam) maka ada kelebihan bayar bunga kuponnya sebesar 7 persen – 4,56 persen = 2,44 persen pertahun. Artinya kita kelebihan bayar bunga kupon bond sebesar 2,44 persen per tahun.
Bila diasumsikan semua bond bertenor 10 tahun dan jumlah bond Indonesia adalah 29,2 persen PDB dan besar PDB Indonesia adalah USD 1000 miliar maka kelebihan bayar bunga kuponnya adalah 2,44 persen x 29,2 persen x USD 1000 miliar = USD 7,125 miliar pertahun atau USD 71,25 miliar atau sama dengan Rp 997,5 triliun dalam 10 tahun. Ini adalah kelebihan bayar bunga kupon bond kita dalam 10 tahun yang luar biasa besarnya.
Itu adalah kerugian negara yang sangat besar bagi negara kita. Sebagai gambaran, pembuatan jalan di Papua sepanjang 4325 km hanya menelan biaya Rp 15,05 triliun. Jadi bila Rp997,5 triliun itu digunakan untik membuat jalan di Papua bisa menjadi 286.000 km. Apabila dibuat pelabuhan besar bisa puluhan plus ratusan pelabuhan kecil. Bila dibuat sekolahan bisa jadi puluhan ribu, bila dijadikan Puskesmas yang bagus dan sangat bermanfaat bagi rakyat bisa jadi puluhan ribu dan seterusnya. Semua hal itu jelas menambah pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi dan bisa menciptakan lapangan kerja bagi ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja.
Kerugian negara yang sedemikian besar itu bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena terjadi inefisiensi kerja yang luar biasa di Kementerian Keuangan. Di bawah Menkeu Sri Mulyani Indrawati, mereka bekerja santai dan tidak cerdas dan jauh sekali di bawah efisiensi dan kerja keras, Kedua, ada permainan pat gulipat dalam menentukan bunga kupon bond yang sangat tinggi di Kemenkeu RI yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati .
Untuk itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memeriksa Menkeu Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran pejabat Kemenkeu yang terkait dengan penerbitan bond (obligasi), KPK bisa dengan mudah mengundang para ahli ekonomi dan bond untuk dimintai keterangannya sebagai ahli. Presiden Jokowi pun sangat diharapkan tidak berpangku tangan terhadap penanganan kasus ini.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik