Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Bungker atau logerak adalah sejenis bangunan pertahanan militer. Bunker biasanya dibangun di bawah tanah. Bungker ini, dibuat untuk tempat perlindungan dari serangan musuh, pada saat posisi terdesak.
Dalam perang besar yang tak memungkinkan melawan, yang jika melawan dapat berakibat fatal, selain mengalami kekalahan juga akan kehilangan banyak tentara karena terbunuh oleh serangan musuh, strategi berlindung dibalik bungker adalah strategi yang tepat. Namun, bungker adalah tempat berlindung, bukan untuk tempat hidup.
Saat situasi perang telah usai, para tentara harus segera keluar dari bungker, melebur bersama rakyat dan menyusun kekuatan baru. Untuk membangun kekuatan adidaya baru, untuk kembali mengambil kendali atas wilayah, dan melakukan perluasan kendali atas wilayah lainnya.
Namun, ketika strategi berlindung dibalik bungker, dengan dalih ‘Control Damage’ terlalu lama dipertahankan, tidak segera muncul ke permukaan, padahal situasi di permukaan telah berubah total, strategi bunker ini alih-alih akan melindungi tentara, malah akan melemahkan dan satu per satu tentara didalam bungker akan mati bukan karena berperang, tetapi mati karena dimakan usia, atau mati karena bertarung dengan sesama.
Saat di permukaan, gerombolan musuh justru saling tikam, kekuatan rakyat sedang mengeroyok musuh, ada peluang besar ke permukaan untuk memimpin perubahan, namun strategi itu tidak segera diambil, masih kekeuh dengan strategi mbungker, maka strategi ini sama saja bunuh diri perlahan, yang akan berujung pada kematian tanpa perlawanan dan kemuliaan. Orang-orang didalam bungker, masih berhalusinasi, seolah di permukaan masih berkecamuk perang besar.
Saat di permukaan masyarakat riang gembira mengadakan pesta perayaan, menembakan petasan dan kembang api di angkasa, para penghuni bungker malah ketakutan. Suara di permukaan, masih dianggap suara senapan dan amunisi yang diledakan, sehingga suasana yang gembira itu, ditafsirkan lain oleh para penghuni bungker, yang menjadikan para penghuni bungker makin ketakutan, dan menggali bungker lebih dalam.
Dalam dakwah, analoginya hampir sama dengan perang. Ketika dakwah menghadapi rintangan, langkah yang harus ditempuh adalah selalu berusaha melawan dan melampaui rintangan. Sesekali berlindung dan tenggelam untuk menghindari benturan bisa saja diambil untuk tindakan penyelamatan. Akan tetapi, terlalu lama dalam mode ‘berlindung/Mbungker’, tidak lagi melakukan serangan politik yang mematikan, atau melakukannya hanya sekedar dan ala kadarnya, itu sama saja membungkam dakwah dan ridlo bunuh diri dalam dakwah, berujung kematian tanpa kemuliaan.
Setiap pengemban dakwah harus memiliki keberanian, terus mengupayakan berbagai strategi dan uslub, agar dakwah kembali dan makin berkibar, agar visi misi dakwah didukung umat, agar syariah & Khilafah segera tegak dan menyelesaikan seluruh problematika umat. Setiap pengemban dakwah tidak boleh digerogoti kejumudan, dengan hanya melakukan rutinitas ritual dakwah, menghindari benturan dan enggan mengambil peluang, termasuk menghindari tanggungjawab memanggul beban dan ujian dalam dakwah.
Saat pengemban dakwah belum move on, masih berhalusinasi tentang resiko dakwah yang hanya ada dalam benak (mengarang takdir sendiri), situasi ditengah umat justru sebaliknya. Umat makin berani melawan kezaliman, umat makin rindu dipimpin oleh ideologi Islam.
Pengemban dakwah harus berlomba dan berebut untuk menjemput kemenangan, atau syahid di medan perjuangan. Pengemban dakwah bahunya harus kokoh, untuk memangul setiap amanah dakwah dan menerima ujian dan beban dakwah dengan perasaan gembira dan suka cita.
Karena itu, siapa saja yang masih berlindung dibalik bungker, tidak memerintahkan komando kepada segenap tentara untuk muncul kembali ke permukaan, maka sejatinya ia telah bunuh diri, dan mengajak para tentara bunuh diri, dan menemui kematian massal dengan penuh kehinaan. Kita semua berlindung dari sifat pengecut, dan semoga Allah SWT karuniai kita sifat keberanian. Amien.
[***]