KedaiPena.Com – Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma’mun Murod Albarbasy mencoba menyoroti beberapa anomali pendukung Ahok (Ahoker) sejak proses Pilkada hingga pasca vonis Majelis Hakim. Pertama, Ahoker selalu mencoba membuat tandingan atas apa yang dilakukan kelompok Islam.
“Namun semua tandingan yang dibuatnya selalu kalah pamor, terpatahkan dan tak laku jual. Coba tengok Aksi 411 dibikin tandingan, Aksi 212 dibikin tandingan, bahkan Aksi 55 konon mau dibikin tandingan dengan “difasilitasi”(?) oleh Kapolri. Namun semua tandingan yang dibuatnya kalah pamor,” kata dia ditulis Sabtu (13/5).
“Kedua, biar dianggap paling Pancasilais, paling NKRI, paling Indonesia, dan paling Bhinneka, empat hal ini dijadikan alat propaganda dan stigmatisasi para Ahoker untuk menuduh siapa saja, apakah pribadi atau kelompok yang tidak mendukung atau anti Ahok sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, nti-Bhinneka. Namun ternyata, “jualan” empat hal ini pun tak laku dijual di masyarakat,” Ma’mun menambahkan.
Ahoker, sambung dia, tak sadar bahwa stigmatisasi anti-Pancasila dan anti-NKRI yang justru membikin solid kelompok anti Ahok. Bahkan mereka yang sebelumnya masih belum memiliki pilihan politik pada Pilkada Putaran II setelah melihat stigmatisasi politik luar biasa yang dilakukan Ahoker, termasuk menyerang jantung agama mereka, maka mereka pun menjadi emoh untuk memilih Ahok. Hasilnya bias dilihat, Ahok kalah telak di Pilkada Putaran II.
“Dengan stigmatisasi ini orang juga akhirnya membandingkan Ahok dengan Anies dalam konteks kepancasilaan dan ke-NKRI-an. Ahok memang siapa? Apa saja yang telah diperbuat leluhurnya untuk kemerdekaan Indonesia, NKRI dan Pancasila? Pasti kalau perbandingannya dalam soal ini, maka Ahok kalah telah. Kelamin Anies dalam konteks keindonesiaan jauh ini lebih jelas. Anies adalah cucu dari Abdurrahman Baswedan atau biasa disingkat AR. Baswedan, anggota BPUPK(I), keturunan Arab yang posisinya sangat jelas dalam mendukung kemerdekaan Indonesia,” jelas dia.
Ketiga, seakan ingin pamer logistik yang tak terbatas, Ahoker membagi-bagikan uang dan sembako politik secara luar biasa dan masif. Uang tunai ratusan hingga jutaan rupiah, sembako dan tak lupa tentu plus baju kotak-kotak dibagikan secara masif. Namun sekali lagi, ternyata tak terhingganya logistik pun tak mampu memenangkan Ahok. Sekali lagi, terbukti perolehan suara Ahok kalah jauh dibanding suara Anies yang logistiknya cekak.
Ahoker, kader muda Muhammadiyah ini menambahkan, terlalu merendahkan masyarakat Jakarta, menganggap semua masyarakat Jakarta mau dihina dan dibeli dengan uang, sembako, dan baju kotak. Meskipun tetap salah dalam konteks membangun Pemilu yang bermartabat, namun tidak sedikit warga Jakarta yang ambil uang, sembako plus baju kotak-kotak, tapi memilih untuk tidak memilih Ahok. Anomali bukan?
Keempat, pasca putusan vonis atas Ahok, mendukung Ahok lebih anomali lagi. Sebelum putusan vonis, dengan lantang Ahoker meminta agar apapun putusan majelis hakim agar diterima dengan arif. Mungkin para Ahoker ini berpikiran bahwa majelis hakim pasti akan memenangkan Ahok. Pasti semua elit penguasa akan menekan majelis hakim melalui MA agar Ahok diputus bebas.
“Faktanya, Ahok divonis selama 2 tahun. Anomali Ahoker pun terjadi di mana-mana, dari mula “kesurupan†di LP Cipinang, demo tanpa aturan main, sampai bakar-bakar lilin. Berbagai pernyataan di kalangan Ahoker dari mulai yang tak berpendidikan sampai yang bergelar Doktor pun semakin menunjukkan anomalinya. Permintaan para pengacara agar Ahok ditangguhkan menahanannya semakin menunjukkan anomalinya,” lanjut dia.
“Lalu sampai kapan anomali Ahoker akan berakhir? Jawabnya sederhana, sampai mereka sadar dari “kesurupan†bahwa Ahok sudah kalah di Pilkada. Ahok pula sudah diputus bersalah 2 tahun oleh Majelis Hakim dengan mendasarkan pada fakta-fakta persidangan, bukan seperti tuntutan JPU yang menuntut Ahok 1 tahun kurungan dan 2 tahun percobaan alias bebas. Selama Ahoker tidak menyadari dua kenyataan ini, maka anomali-anomali yang cenderung di luar nalar sehat akan terus terjadi,” tandas dia.
Laporan: Galuh Ruspitawati