Artikel ini ditulis oleh Dahlan Iskan, Wartawan Senior.
APAKAH Terawan bukan lagi dokter? Setelah dipecat secara permanen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Tentu Terawan tetap dokter. Sepanjang ijazah dokternya tidak dicabut –oleh universitas yang memberikannya: Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ia juga tetap dokter sepanjang ilmu
kedokterannya tidak dicabut dari otaknya –oleh Tuhannya: Yesus.
Apakah Terawan masih bisa buka praktik sebagai dokter? Sepanjang pemerintah masih mengizinkan, Terawan tetap bisa praktik.
Apakah Terawan masih bisa bekerja di rumah sakit, RS Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta? Sepanjang direktur di RS tersebut masih memercayainya, Terawan tetap bisa bekerja di sana.
Intinya: semua terserah pemerintah. Yang mengeluarkan izin itu pemerintah, Kementerian Kesehatan. Bukan IDI.
Masalahnya: dengan pangkat yang sudah letnan jenderal TNI-AD, apakah Terawan masih memerlukan untuk berpraktik sebagai mata pencaharian.
Jabatan di dunia kedokteran juga sudah mencapai puncak: menteri kesehatan. Sebelum itu pun sudah direktur RSPAD.
Sebagai ilmuwan, Terawan juga sudah mencapai puncaknya: bergelar doktor.
Inilah dokter dengan capaian tertinggi yang pernah dipecat secara permanen dari IDI.
IDI adalah organisasi. Semua anggotanya harus dokter. Sebagai organisasi biasa, IDI punya aturan dasar (AD/ART) yang harus ditaati.
Sebagai organisasi profesi, IDI punya
kode etik yang juga harus diikuti.
Rasanya Terawan dianggap lebih melanggar kode etik daripada melanggar AD/ART. Itu bisa dilihat dari proses pemecatannya: lewat sidang-sidang dewan etika dokter.
Yakni, satu lembaga yang mengawasi apakah seorang dokter melanggar etika kedokteran atau tidak.
Apakah karena Terawan gigih ”melahirkan” Vaksin Nusantara di awal pandemi, lalu dianggap melanggar kode etik IDI?
Rasanya bukan itu. VakNus itu murni soal izin dari BPOM. Izin tersebut tidak keluar karena VakNus tidak memenuhi kriteria definisi vaksin.
Saya pun pernah menulis: mengapa Terawan ngotot menyebutnya vaksin. Mengapa, misalnya, tidak menyebutnya terapi dendritik. Toh, para dokter yang mempraktikkan stem cell atau PRP atau juga cell cure tidak ada yang dipecat dari IDI.
Rasanya pemecatan ini masih terkait dengan cuci otak yang dikembangkannya jauh sebelum VakNus. Ia pernah dipecat sementara dari IDI di soal cuci otak itu.
Terawan dianggap tidak mau mempertanggungjawabkannya secara ilmu kedokteran di depan IDI. Waktu itu ributnya juga luar biasa. Tidak kalah dengan VakNus.
Medsos belum seeksis sekarang. Keriuhan waktu itu hanya terlihat di media mainstream.
Saking ributnya, saya sampai ingin mencoba sendiri. Saya ke RSPAD. Saya minta dilakukan ”cuci otak”. Masih dr Terawan sendiri yang mengerjakan.
Belum seperti sekarang, sudah banyak dokter binaan Terawan yang bisa melakukannya.
Lalu, saya menulis pengalaman saya menjalani praktik cuci otak itu. Sampai dua atau tiga seri. Istri saya minta terapi itu juga.
Syaratnya: saya harus bersamanya. Maka, dua kali saya menjalani cuci otak.
Begitu banyak tokoh nasional yang juga menjalaninya, sebelum dan sesudah saya.
Lebih banyak lagi yang bukan tokoh: sudah lebih dari 40.000 orang.
Terawan dianggap tidak pernah mau mempertanggungjawabkan itu.
Sebenarnya ia bisa minta: agar pemecatan sementaranya itu ditinjau lewat muktamar IDI berikutnya. Terawan tidak mau memanfaatkan proses itu.
Sampailah ada Muktamar IDI 2022. Di
Aceh. Pekan lalu. Status pemecatan sementara itu tidak boleh terus menggantung: Terawan dipecat secara permanen.
Di masa lalu Terawan mengatakan: pernah memberikan penjelasan yang diminta. IDI menganggap belum cukup. Terawan menganggap cukup. IDI terus mempersoalkan.
Terawan memilih diam seribu bahasa, sambil terus mempraktikkan terapi cuci otak.
Belakangan Terawan menulis disertasi: untuk meraih gelar doktor di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar.
Disertasinya soal cuci otak itu, Terawan pernah mengatakan kepada saya: itulah pertanggungjawaban tertinggi secara ilmiah soal cuci otak.
Disertasi itu diterima tim penguji di Unhas. Terawan berhak atas gelar doktor cuci otak.Terawan tidak melayani permintaan IDI. Ia abaikan begitu saja.
Apakah tanpa menjadi anggota IDI Terawan masih dokter? Anda sudah tahu.
Masalahnya, tidak ada organisasi dokter di luar IDI. Berarti, Terawan adalah dokter independen.
Di antara organisasi-organisasi profesi (dokter, wartawan, pengacara, dan yang sejenis), IDI memang paling solid.
Semua organisasi profesi sudah tidak tunggal lagi. Organisasi wartawan tidak lagi hanya PWI. Organisasi pengacara lebih banyak lagi.
Hanya para dokter yang tidak mau membentuk organisasi di luar IDI. Mungkin itu karena ada legalitas yang kuat untuk IDI: izin praktik dokter tidak bisa diterbitkan kalau tidak ada rekomendasi IDI.
Di situ tertulis eksplisit: IDI. Bukan organisasi dokter. Saya tidak tahu apakah sudah ada yang mempersoalkan ”monopoli” IDI itu secara hukum. Tapi, harus diakui: IDI adalah organisasi profesi yang paling ketat mengontrol
anggotanya.
Yang terketat. Organisasi wartawan begitu longgar. Pun organisasi advokat.
Pelanggaran etika wartawan dan etika advokat begitu banyak.
Padahal, sebuah profesi tanpa pengawasan kode etik sangat bahaya. Salah satu kriteria sebuah pekerjaan bisa disebut profesi adalah: apabila pekerjannya memiliki otonomi untuk melakukan atau tidak melakukan.
Seorang dokter harus memutuskan sendiri obat apa yang harus diberikan ke pasien. Berdasar ilmu yang mereka kuasai. Dokter tidak bisa didikte siapa pun dalam mendiagnosis dan memberikan obat.
Wartawan seharusnya juga begitu. Ia punya otonomi untuk menulis apa pun atau tidak menulis apa pun.
Bukan karena disuruh atau dilarang oleh siapa pun, termasuk oleh penguasa dan pemilik amplop: tepatnya pemilik isi amplop.
Pun pengacara: semestinya membela yang ia anggap benar dan keadilan harus
ditegakkan, apa pun risikonya.
Dokter, menurut pengamatan saya, adalah yang paling tinggi kadar ketaatan pada kode etiknya. Dan IDI mengontrolnya dengan ketat, lewat dewan etiknya. Saya sering melontarkan tantangan: ayo buka-bukaan dalam satu forum profesi.
Temanya: siapa di antara organisasi profesi yang paling rusak –yang pelanggaran kode etiknya paling parah.
Itu sebagai bagian dari misi agar para pekerja profesi lebih taat pada kode etik mereka.
Terjadinya pelanggaran etika di berbagai profesi jelas: karena uang. Atau jabatan. Atau fasilitas. Dan ini bagian yang sangat memalukan dari sebuah profesi.
Tapi, ini dia: pelanggaran etika yang dilakukan Terawan tidak ada hubungannya dengan uang atau jabatan atau fasilitas. Itu murni masalah keilmuan, mengerjakan menyembuhkan di luar ilmu kedokteran.
Maka, Terawan tidak perlu malu dipecat dari IDI. Pun kalau salah, dalam Islam, ia masih harus dapat pahala.
”Salah” di situ bisa dibuktikan dengan jatuhnya korban, saya dua kali menjalani cuci otak: baik-baik saja. Saya dan banyak relawan mendapatkan VakNus, alhamdulillah, Anda sudah tahu, baik semua.
[***]