Artikel ini ditulis oleh Yudi Latif, Cendekiawan.
Saudaraku, Indonesia ibarat negeri kodok yang dipanasi secara perlahan. Warganya tetap tenang terpanggang terik kekacauan tanpa menyadari seberapa dekat ia dengan titik didihnya sendiri.
Di atas kertas, Indonesia adalah negeri surgawi. Gugusan hutan hujan menguntai zamrud katulistiwa, sungai dan danau membelah daratan dengan lekukan gemulai, pesawahan membentang hijau, ombak laut berkejaran di tepian pantai, gunung-gunung berdiri gagah menjaga tanah yang cukup subur.
Namun, di balik kemolekan itu, ada retakan terselubung—retakan yang kerap dianggap biasa, disapu di bawah karpet optimisme buta. Sebuah negeri religius dengan etika yang lembek. Sebuah negeri kaya sumberdaya, tapi rakyatnya berbaris panjang demi setetes subsidi.
Di jalanan, kemacetan merayap seperti siput yang kelelahan, sementara para pengemudi saling meneriakkan sumpah serapah dalam bahasa yang tak tercatat kamus. Pejabat berpidato tentang keadilan dan ketertiban, tetapi di sudut-sudut kota, ketidakadilan tumbuh subur seperti rumput liar. Rakyat kecil dikejar aturan, sementara para penguasa justru menjadikannya permainan.

Secara berkala, pesta demokrasi digelar mahal. Janji-janji beterbangan laksana layang-layang di musim kemarau, tinggi di udara, tetapi lepas kendali begitu badai kepentingan menerjang. Rakyat bersorak, berharap perubahan, hanya untuk kembali tersadar bahwa sandiwara ini akan terus berulang.
Hampir semua orang di negeri ini tahu ada masalah, tanpa seorang pun yang sungguh dan mampu menyelesaikan masalah. Kekacauan adalah ritme yang sudah biasa, seperti alunan gamelan yang tabuhannya tak selalu selaras, tetapi tetap terdengar lumrah. Di antara ironi dan satir yang berkelanjutan, rakyat tetap tenang, tetap tertawa, tetap bercanda dalam centang perenang.
Mungkin karena rakyatnya terbiasa berdamai dengan kekacauan dan penderitaan. Atau mungkin, karena harapan masih terus menyala meski yang dinanti tak kunjung tiba. Sebuah harmoni dalam kebalauan. Sebuah absurditas entah menuju kebangkitan atau kehancuran.
Betapa pun. Itu lah Indonesia, bung! Tetap ceria dalam derita, prahara dan keruwetan. Negeri ajaib yang normal dalam ketidaknormalan.
[***]