SYUKURLAH, bila tidak ada ‘likuidity mismatch’ dalam pengelolaan keuangan negara. Senang sekali diklarifikasi, bahwa ternyata ada negara-negara lain yang menggunakan kartu kredit untuk APBN.
Dan juga diklarifikasi bahwa penggunaan kartu kredit ini sedang dalam tahapan uji coba. Yang namanya tahapan uji coba, di seluruh dunia, berhak untuk dipertanyakan, dikritik publik. Karena bagaimana pun APBN adalah uang publik.
Penggunaan kartu kredit pemerintah tidak terlepas dari fraud. Ini bahkan terjadi di negara maju seperti AS, yang sistem IT-nya jauh di atas Indonesia. Pada tahun 2006, dari seluruh transaksi kartu kredit pemerintah AS, sekitar 41% penagihan yang ada terkategori tidak proper.
Pada 2014, dari hasil penyelidikan terhadap sistem penggunaan kartu kredit pemerintah AS, disimpullkan bahwa bahwa dalam program ini masih terdapat masalah yang berjalan dan costly. Jutaan dollar AS (puluhan miliar rupiah) masih disalahgunakan dan dicuri oleh pegawai federal AS.
Makanya, kami perhatikan, setelah dikritisi terkait potensi bunga yang besar, mendadak Kementerian Keuangan menyatakan perubahan batas saldo penggunaan kartu kredit.
Pada pemberitaan yang terdahulu, 21 Februari 2018, Dirjen Perbendaharaan Marwanto Harjowiryono menyatakan batas saldo kartu kredit pemerintah ini berada di kisaram Rp 50 juta sampai Rp 200 juta.
Tapi pada pernyataan hari ini (27/3/2018), Kepala Biro Humas Kemenkeu Nufransa Wira Sakti menurunkan batasnya menjadi di bawah Rp 50 juta. Merasa kurang pruden?
Isu Yang Lebih Penting
Terima kasih atas klarifikasi pemerintah menyoal kartu kredit. Tapi publik juga membutuhkan klarifikasi atas soal-soal yang lain yang juga dipertanyakan oleh ekonom Rizal Ramli kemarin (26/3/2018) di Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI.
Kementerian Keuangan tetap harus menjawab mengapa: 1) struktur kredit timpang, tidak berpihak kepada mayoritas rakyat?; 2) terjadi defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, keseimbangan primer, dan prioritas APBN untuk debt service?
Selain dua pertanyaan besar tersebut, terdapat sebuah permohonan yang harus direspon. Permohonan kepada Menkeu Sri Mulyani untuk bertanggung jawab atas kebijakannya yang bersangkutan semasa era pemerintahan SBY.
Kebijakan dimaksud adalah pemberian bunga ketinggian 2-3% dari negara-negara sekawasan (seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand) yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia. Indonesia jadinya merugi karena kelebihan bayar belasan miliar dollar AS bila dibandingkan negara-negara terebut.
Akibatnya belasan tahun setelah itu, kini pemerintah Jokowi harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat tinggi saat ini (debt service mencapai Rp 840 triliun).
Karena itu, kita minta kepada Menkeu SMI untuk bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia dengan cara memimpin delegasi tim ekonomi untuk melakukan restrukturisasi utang kepada para bond holder.
Menukar utang-utang berbunga tinggi yang dulu pernah dibuat, dengan utang-utang yang berbunga rendah. Menukar utang yang bertenor singkat dengan utang bertenor panjang.
Semua ini demi kestabilan sistem keuangan kita, tentu saja agar demi pruden dalam makna yang sebenarnya. Bila Menkeu sanggup melakukannya, kami rasa, baru berguna ilmu ekonomi dipelajarinya tinggi-tinggi.
Oleh Gede Sandra, Akademisi Ekonomi Politik Universitas Bung Karno