Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Ombudsman menemukan fakta, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sejauh ini tidak mempunyai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Pulau Rempang. Temuan ini sangat penting, karena menunjukkan BP Batam tidak mempunyai hak apapun untuk melakukan kegiatan di Pulau Rempang.
Temuan Ombudsman menunjukkan, semua tindakan BP Batam di Pulau Rempang merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum. Khususnya mematok tanah masyarakat dan menggusur, atau relokasi (secara paksa), jelas merupakan tindakan ilegal, melanggar hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) berat.
Karena, BP Batam tidak mempunyai hak dan dasar hukum apapun untuk melakukan tindakan, yang kemudian memicu bentrokan antara masyarakat yang mempertahankan hak tempat tinggalnya dengan aparat hukum yang dikerahkan oleh BP Batam (dan pemerintah daerah) tanpa ada dasar hukum yang valid.
Dalam bentrokan tersebut, beberapa orang warga setempat ditangkap aparat hukum dengan tuduhan provokasi. Mereka harus segera dibebaskan. Karena tuduhan provokasi tersebut tidak mempunyai dasar sama sekali. Tuduhan seperti itu hanya dapat terjadi di pemerintahan otoriter atau kolonial. Karena, masyarakat sebenarnya sedang mempertahankan haknya yang sah secara hukum dari tindakan ilegal BP Batam.
Selain itu, Ombudsman juga mengatakan, belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran untuk pemberian kompensasi dan program relokasi secara keseluruhan.
Artinya, penggusuran atau relokasi warga Rempang pada awal September 2023 ini secara jelas telah melanggar UU APBN, UU Keuangan Negara, serta melanggar Konstitusi Pasal 23.
Karena, setiap pengeluaran Belanja Negara (Belanja Daerah) harus ada mata anggarannya berdasarkan fungsi, organisasi dan program di dalam APBN (APBD), dengan persetujuan DPR (DPRD).
Sedangkan proyek penggusuran dan relokasi warga Pulau Rempang ini berlangsung begitu mendadak dan super cepat, sehingga hampir dapat dipastikan tidak ada mata anggaran untuk penggusuran, relokasi atau kompensasi Proyek Rempang di dalam APBN (APBD) tahun anggaran 2023, seperti disampaikan Ombudsman.
Proyek mendadak dan super cepat ini hanya berlangsung sekitar 4 bulan sejak Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meluncurkan proyek Rempang Eco City pada April 2023, disusul dengan tanda tangan MOU antara PT MEG, Xinyi Investment (Hong Kong) dan Menteri Investasi / Kepala BKPM pada 28 Juli 2023, hingga pemberian status Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk Rempang Eco City oleh Kemenko Perekonomian pada 28 Agustus 2023, dan kemudian penggusuran pada 5-7 September 2023.
Selain itu, APBN (APBD) tidak boleh digunakan untuk mendanai proyek swasta dan asing seperti proyek Rempang Eco City. Penggunaan APBN untuk penggusuran, kompensasi, atau relokasi warga Pulau Rempang terkait proyek Rempang Eco City melanggar peraturan dan undang-undang serta Konstitusi.
Kesimpulan temuan Ombudsman sebagai berikut. Pertama, BP Batam telah melakukan tindakan melanggar hukum dan melanggar HAM berat terkait penggusuran dan relokasi warga Pulau Rempang, karena BP Batam tidak ada hak mengelola lahan. Meskipun ada hak mengelola lahan, BP Batam tidak bisa menggusur tempat tinggal warga yang ditempati secara sah dan sudah turun temurun. Kedua, BP Batam juga terindikasi melanggar UU APBN, UU Keuangan Negara dan Konstitusi.
Apakah BP Batam melakukan tindakan melanggar hukum ini atas inisiatif sendiri atau atas instruksi pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Investasi, Kementerian Koordinator Perekonomian, atau bahkan Presiden?
Tindakan melanggar hukum ini wajib diusut tuntas, karena juga terkait pelanggaran HAM berat.
Sambil menunggu investigasi, proyek Rempang Eco City wajib dihentikan.
[***]