KedaiPena.Com – Ada 22 desa di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang mengajukan program kemitraan pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 22 desa tersebut berada di sekitar Kuningan dan Kuningan Majalengka.
Demikian disampaikan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Teguh Setiawan saat berbincang dengan Kedai Pena, Selasa (5/4/2022).
Namun, sampai saat ini, belum kelompok tani dari 22 desa tersebut yang disetujui untuk melakukan kemitraan pemungutan HHBK.
“Belum ada yang ‘approval’. Dalam waktu dekat kita akan ‘publish’. Tapi sebelum itu, kita akan konsultasi publik seperti kampus IPB dan lainnya,” kata Teguh.
Aturannya, lanjut dia, sesuai dengan PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Permen LHK 43/2017 soal Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Pelestari.
“Untuk zonanya masuk zona tradisional, dan HHBK-nya kopi, cengkeh, pinus,” tegas dia.
Ia pun mengaku tidak tahu menahu soal PT. RINAYA yang dituding oleh beberapa kelompok, melakukan berbagai upaya persuasif agar masyarakat menyetujui adanya rencana penyadapan getah pinus, salah satu HHBK, tersebut.
“Saya gak tahu soal PT. RINAYA. Kemungkinan masyarakat menjual hasil hutan ke PT tersebut. Urusan TN itu bagaimana cara pengaturan mengambil HHBK di kawasan,” lanjutnya.
Ia pun menegaskan, skema program pengambilan HHBK ini adalah kemitraan. Jadi masyarakat yang menentukan mau jual ke mana dan harga berapa.
“Jadi beda dengan yang sebelumnya. Semua demi kesejahteraan rakyat. Jadi kita ingin bukan hanya wisatanya yang maju, tapi juga hal lain bisa berdampak terhadap kesejahteraan rakyat,” lanjutnya.
Hal lain yang ingin Teguh tegaskan terkait soal tudingan privatisasi lahan dalam program kemitraan pemungutan HHBK.
“Kita pastikan tidak ada privatisasi lahan,” tegas dia.
Sebelumnya dikabarkan, rencana pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk penyadapan getah pinus terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai. Rencananya, kegiatan ini akan dikelola oleh pihak swasta untuk kepentingan komersil.
Namun hal ini ditolak secara tegas oleh kelompok Aktivitas Anak Rimba (AKAR), dan kalangan masyarakat lainnya.
Fatmata Juliansyah Manager Advokasi dan Kampanye KAWALI meminta para pihak mendengar aspirasi dan argumentasi warga.
Sebab, masyarakat sekitar kawasan Gunung Ciremai, menggantungkan hidup dan mata pencahariannya di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
“Selain itu apabila terjadi dampak lingkungan di sekitar kawasan maka yang terkena dampaknya lebih dulu adalah masyarakat,” kata Fatmata dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Minggu (3/4/2022).
PT. RINAYA dinilai oleh masyarakat dan kelompok AKAR melakukan berbagai upaya persuasif agar masyarakat menyetujui adanya rencana penyadapan getah pinus tersebut.
Sayang, hal tersebut tanpa mempertimbangkan resiko kerusakan hutan dan tanpa adanya keterlibatan masyarakat setempat.
“Hal lain yang dikhawatirkan adalah privatisasi lahan oleh perusahaan yang akan terjadi apabila rencana ini dilanjutkan dan mendapatkan izin,” papar Fatmata.
Pemanfaatan hutan diatur pada UU No. 41/1999 dan PP No. 6/2007 yang mana disebutkan bahwa dalam hal pemanfaatannya harus dilakukan dengan tetap menjaga kelestariannya, dan dilakukan secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat.
Pada pasal 30 UU tersebut disampaikan bahwa setiap BUMN, BUMD, dan Swasta yang memperoleh izin usaha pemanfaatan, diwajibkan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat.
Kemudian pada pasal 18 PP tersebut disampaikan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional.
“Maka selanjutnya sebelum rencana pemungutan HHBK ini dilanjutkan, Kawalu mengimbau kepada para pihak yang bersangkutan untuk tidak terburu-buru dalam pelaksanaannya. Selain untuk mempertimbangkan dalam segi regulasi, penolakan dari masyarakat juga harus didengar karena itu merupakan hak mereka dalam menyampaikan argumentasinya,” jelasnya.
Masyarakat setempat sekitar kawasan adalah komunitas yang bersentuhan langsung dan menggantungkan mata pencahariannya terhadap hasil hutan, maka sangat penting dan perlu untuk memperhatikan setiap hak yang dimiliki olehnya.
“Jadi pemerintah terkait dan para pihak yang terkait, tidak bisa mengambil keputusan dengan terburu-buru, atau dengan hanya mempertimbangkan keuntungan komersil saja, tetapi yang paling utama adalah kelestarian alam dan kepentingan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.
Laporan: Sulistyawan