KedaiPena.Com – Direktur Eksekutif Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi memandang, rencana DPR yang akan mengesahkan RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi Undang-Undang UU, pada Selasa,(18/1/2022), sangat terburu-buru.
“Pengesahan RUU IKN ini terlalu buru buru, dan kurang kajian atas lokasi lahan Ibu kota negara baru tersebut,” kata Uchok, Senin, (17/1/2022).
Uchok menyarankan, agar sebaiknya Panitia Khusus RUU IKN DPR dapat mengundang ahli Geologi terlebih dahulu untuk mengetahui potensi bahaya pembangunan ibu kota Negara.
“Ketika Lokasi IKN itu berada penuh pada lahan gambut dan lahan sumber daya batu bara,” jelas Uchok.
Uchok menerangkan, ketika IKN tetap berada di Penajam Paser Utara, dan Kutai Kertanegara, maka bahaya yang dihadapi Pemerintah bukan ancaman peluru kendali dari negara asing atau Teroris.
“Tetapi lahan gambut, dan lahan yang berisi batubara yang berpotensial menghancurkan aset gedung-gedung perkantoran pemerintah,” jelas Uchok.
Uchok menekankan, lahan gambut mempunyai kencendurungan untuk menimbulkan proses pembakaran spontan akibat adanya aksidasi.
“Jadi tidak perlu adanya pembakaran secara sengaja, hanya dengan adanya cuaca panas ekstrim akibat dampak elnino, lahan gambut bisa menjadi api atau asap yang menganggu kinerja pemerintah,” kata Uchok.
Kemudian, lanjut Uchok, di IKN akan dibangun gedung gedung pemerintah bertingkat dengan mengunakan pondasi dalam seperti tiang pancang.
“Ketika pondasi tiang pancang pada kedalaman tertent menyentuh sumber daya Batubara maka akan terjadi proses oksidasi yang menyebabkan kerusakan pada beton dan besi tiang pancang,” papar Uchok.
“Lalu ketika tiang pancang gedung per kantoran pemerintah bertingkat mengalami kerusakan, maka tinggal menunggu waktu bangunan tersebut akan runtuh,” tambah Uchok.
Uchok juga menambahkan, rencana anggaran membangun IKN sebesar Rp.500 triliun merupakan paket akal- akalan saja.
“Sengaja dikecil kecilkan agar tidak ada reaksi dari publik dan DPR,” tegas Uchok.
Uchok juga membandingkan, biaya pindah ibu kota Kazahkstan dari Almaty ke Astana / Nursultan pada tahun 1998 sebesar USD 30 miliar atau setara Rp 450 Triliun yang jika dikonversikan ke nilai saat ini bisa 4 kali lipat.
“Setara USD 120 Miliar Dollar (setara Rp. 1.800 Triliun). Padahal, luas kota Nursultan hanya 722 kilo meter persegi atau ekivalen 72.200 Hektar,” jelas Uchok.
Oleh sebab itu, Uchok heran, Indonesia bisa pindah Ibu kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dengan rencana luas 256.142 hektar atau 3,5 kali lipat luas Nursultan hanya dengan biaya Rp 500 triliun.
“Lokasi Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara yang sangat-sangat buruk, hutan belantara, banyak lubang bekas tambang dan lahan gambut,” pungkas Uchok.
Laporan: Muhammad Hafidh