KedaiPena.Com – Pencabutan subsidi listrik bagi pengguna listrik 900 watt, ditanggapi khusus oleh Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) Ichwan Datu Adam.
Menurut Datu, sah saja pemerintak menarik subsidi tersebut dengan alasan banyak pengguna yang tidak termasuk kategori layak subsidi. Tetapi, perhitungannya harus hati-hati dan benar agar tidak salah sasaran dan menimbulkan dampak berupa kesulitan bagi masyarakat banyak.
“Mau nambah keuangan Negara, silakan. Mau merapikan siapa layak dapat subsidi siapa yang tidak perlu, boleh saja. Tapi, sudah dihitung tidak? Benar nggak data TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) terkait siapa saja pengguna 900 watt? Harus hati-hati,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (14/6).
Datu meminta pemerintah tidak bersembunyi di balik istilah yang seolah merakyat tapi ternyata mencekik. Jika memang benar-benar mau menaikkan tarif dasar listrik.
“Saya cuma ingatkan, jangan pakai bahasa tarik subsidi bagi pengguna yang mampu, tapi sebenarnya diam-diam mau naikkan TDL. Jangan sampai begitu maksudnya, ya,” kata anggota dari dapil Kalimantan Timur itu.
Dikatakan Datu, pencabutan mencabut subsidi listrik yang selama ini dinikmati 18,94 juta pelanggan berdaya 900 Volt Ampere (VA) terhitung mulai 1 Januari 2017, itu juga gegabah. Karena tidak dikonsultasikan dengan Komisi VII DPR RI.
“Itu kan dicabut bertahap, tiga kali. Tapi, tetap saja dicabut. Kami tidak diajak bicara. Mau diam-diam gitu? Jangan bohongi rakyat, lah,” katanya.
Lebih jauh, Datu memberikan sejumlah catatan penting terkait listrik sesuai kapasitasnya sebagai anggota Komisi VII. Bahwa TDL harus berada di posisi asalnya, terjangkau rakyat banyak karena secara umum perekenomian belum membaik.
Di samping itu, Tim TNP2K dan PLN harus memperoleh data secara valid dan menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat terkait pengguna, karena kelompok rentan ada di pengguna 450 watt dan 900 watt.
“Jadi begini, silakan tarik subsidi untuk pengguna yang tidak layak dapat subsidi. Tapi catatan saya, pertama, perbaiki layakan di seluruh daerah. Kedua, bagaimana dengan kondisi di daerah terpencil atau pulau terluar? Apakah sudah sesuai dengan konsep pembangunan listrik berbasis pedesaan? Perhatikan itu!” tukas Datu.
Menurut Datu, dari perjalanannya sebagai anggota dewan, ia kerap mendengar aduan masyarakat di pulau-pulau terluar yang sulit memasang listrik atau pasang dengan harga sangat mahal.
“Ada yang sekitar Rp4 jutaan untuk pasang listrik. Masalah-masalah seperti ini, yang belum tersentuh pemerintah. Pengurangan subsidi sekitar Rp22 triliun, kalau mau, harus benar-benar menyentuh di aspek itu,” katanya.
Di Komisi VII, Datu sendiri dan kawan-kawan hampir selalu mengingatkan, agar pemerintah tidak menaikkan TDL atau bahkan menarik subsidi, sejauh pelayanan tidak diperbaiki. Di daerah, banyak warga yang mengeluh sudah melakukan berbagai cara agar bisa hemat, hingga mereka tidak menggunakan lampu pagar, dan pemanas air hanya dihidupkan 1 jam setiap hari.
“Tetapi dengan penghematan segitu, masyarakat tetap harus membeli voucher listrik Rp1 Juta, masing-masing Rp500 ribu untuk meteran atas dan Rp500 ribu untuk meteran bawah. Tahu tidak, itu hanya tahan sekitar 6 hari. Nah, kondisi ini butuh perhatian pemerintah,” kata Datu.
Menurutnya, kadang masyarakat mengeluh karena seolah-olah menghirup udara saja harus bayar retribusi dan pajak. Tentu, masyarakat harus disadarkan soal penggunaan yang hemat atas apapun, tapi kewajiban disadarkan bahwa Negara butuh itu.
Dan masyarakat sebaiknya menggunakan cara-cara alternatif yang mentradisi untuk melakukan penghematan. Tapi bagaimanapun juga, tetap penting, Negara selalu hadir untuk memberikan pelayanan yang baik agar masyarakat merasakan keadilan.
“Jangan sampai, listrik bayar tapi byar pet, hidup mati, naik turun, dan banyak informasi tidak jelas. Ini perlu diperbaiki,” tukas Datu lagi.