KedaiPena.Com – Pemerintah akan menerapkan pogram pengungkapan sukarela (PPS) alias pengampunan pajak (tax amnesty) terhadap harta yang belum diambil pajaknya mulai 1 Januari 2022. Program ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang baru disahkan oleh DPR.
Adanya program yang diberi nama tax amnesty jilid II ini sendiri membuat tanda tanya bagi sebagian pihak. Pasalnya, UU HPP sendiri diklaim oleh pemerintah sebagai upaya untuk menghadirkan keadilan dan keberpihakan.
Menanggapi hal tersebut, Rektor Perbanas Institute Hermanto Siregar mempertanyakan program dari tax amnesty jilid II tersebut di tengah semangat untuk menghadirkan keadilan dan keberpihakan dalam UU HPP.
Pasalnya, kata Hermanto sapaanya, hal itu lantaran hingga saat ini masih terus ada penyimpangan pajak yang sulit dibuktikan sekalipun sebelumnya pemerintah telah menerapkan program tax amnesty jilid I di tahun 2017.
“Ya jadi itu pada saat komplains terhadap pajak itu susah ditingkatkan, artinya selalu saja ada penyimpangan” yang susah dibuktikan. Itu berarti target pajak termasuk yang diharapkan dari tax amnesty itu tidak pernah terpenuhi, sehingga memang memberikan hal yang sama,” kata Hermanto dalam PHD Corner Episode UU HPP Antara Keadilan atau Karpet Merah untuk Pengemplang Pajak?, Kamis, (14/10/2021).
Dengan kondisi demikian, Hermanto memprediksi, jika hasil yang akan dicapai dalam tax amnesty jilid per tahun 2022 tidak akan jauh berbeda seperti program sebelumya di tahun 2017.
“Pada akhirnya barangkali hasil yang dicapai dari tax amnesty jilid II barangkali tidak jauh berbeda dengan yang pertama.Akhirnya menampilkan atau menimbulkan tanda tanya untuk kita buat apa itu dibuat,” papar Hermanto.
Selanjutnya, kata Hermanto, program tax amnesty jilid II ini juga akan mengusik rasa keadilan dari pada wajib pajak yang selalu patuh selama ini. Hal tersebut, tegas Hermanto, lantaran para pengemplang pajak kerap diberikan kemudahan melalui tax amensty.
“Enak saja dia yang ngemplang pajak, tidak patub pajak kemarin itu diberikan kemudahan melalui adanya tax amnesty. Tujuan pemerintah diantara mereka cuma 28 atau 35 persen, masuk ya tetap ada masuk. Tapi rasa keadilan tadi itu yang membayar dengan patuh,” tegas Hermanto.
Meski demikian, Hermanto memahami, jika disahkanya UU HPP ini untuk membantu pemerintah dalam mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkan selama pandemi. Salah satu dampak yang terasa terutama bagi pemerintah itu defisit fiskal yang semakin melebar.
Hermanto mengatakan, jika penerimaan negara saat situasi normal yang didapat dari pajak cukup tinggi. Seperti diketahui ada sekitar 75-80 persen di era normal yang didapat dari pajak.
“Pajak ini justru di tengah pandemi ini berkurang karena kinerja ekonomi dari perushaan anjlok, para pekerja incomenya turun jadi PPH nya turun.
Oleh karena itu defisit yang melebar pemerintah membutuh revenue yang cukup besar. Jadi segala upaya dilakukan diantara lain membenahi segala peraturan perpajakan itu,” kata Hermanto.
Hermanto mengingatkan, tetap meminta pemerintah untuk berhati-hati lantaran saat sektor perpajakan itu sendiri ditingkatkan akan mengganggu pemulihan ekonomi masyarakat.
“Harus hati-hati sebab apabila perpajakan itu sendiri cenderung ditingkatkan. Yang tadinya mungkin masyarakat akan pulih mungkin terganggu track dari pemulihannya yang terdampak pada sasaran pajak itu sendiri. Bisa- bisa tidak tercapai apabila timing tidak tepat,” tandas Hermanto.
Sekedar informasi, mengacu data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan total wajib pajak yang ikut sebanyak 956.793 saat tax amnesty jilid I. Nilai harta yang diungkap sebesar Rp4.854,63 triliun
Namun, komitmen repatriasi pajak hanya sebesar Rp147 triliun. Jumlah itu setara dengan 14,7 persen dari target yang ditetapkan mencapai Rp1.000 triliun. Sementara, nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp3.676 triliun. Lalu, nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp1.031 triliun.
Selanjutnya, negara hanya menerima uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun. Angka itu setara dengan 69 persen dari target Rp165 triliun.
Dikutip dari CNN Indonesia, untuk uang tebusan terbesar berasal dari wajib pajak orang pribadi non usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai Rp91,1 triliun. Kemudian, uang tebusan dari wajib pajak badan non UMKM sebesar Rp14,6 triliun
Lalu, uang tebusan dari orang pribadi UMKM sebesar Rp7,73 triliun. Sementara, uang tebusan dari badan UMKM sebesar Rp656 miliar.
Laporan: Muhammad Hafidh