Artikel ini ditulis oleh Chris Komari, Activist Demokrasi, Activist Forum Tanah Air (FTA), Salah satu pemohon prinsipal judicial review (JR) Presidential threshold 20% di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di Indonesia harus ada gerakan dan tuntutan untuk mengubah tata cara dan prosedurial persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Harus ada direct interchange (perdebatan langsung) terhadap materi substansi yang digugat atau dipermasalahkan di pengadilan MK antara pemohon prinsipal, lawyers dengan para Hakim MK.
Sehingga permasalahan hukum yang di-judicial review-kan (JR) bisa lebih jelas, bisa digali bersama, bisa benar-benar dipahami lebih dalam oleh publik, dan hakim MK bisa mendatangkan anggota DPR atau mantan anggota DPR yang ikut drafting UU yang di-judicial review-kan itu, supaya terjadi interchange secara sehat dan comprehensive.
Setelah masalah yang di-judicial review-kan itu benar-benar dipahami secara detail dimana permasalahannya, kemudian baru dicarikan ‘remedy‘ atau ‘solusi’ terhadap masalah itu, apakah dengan ruling menolak, menerima atau mengubah sebagian, khusus terhadap pasal, atau ayat yang menjadi masalah!
Keputusan MK (ruling MK) harus adil dan proportional yang berorientasi pada keutuhan jiwa, ruh, spirit, cita-cita, tujuan, scope dan isi dari semua ayat yang ada dalam UUD 1945 dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Tidak seperti sekarang ini, tata cara dan prosedurial persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) itu mirip ‘rel kereta api’ (One Way Street) dan sangat feudalistic.
Lihat saja proses dan prosedurialnya, 1) gugatan diajukan, 2) gugatan dibaca oleh para hakim MK, 3) kemudian hakim MK meminta dokumen tambahan, meminta bukti-bukti, meminta gugatan diperbaiki, meminta contoh dari negara lain yang multi partai dan memakai sistem Presidential, dan meminta contoh keputusan MK sebelumnya, blah, blah, blah, 4) gugatan yang sudah diperbaiki diajukan lagi dan dibacakan dan 5) kemudian hakim MK membaca gugatan perbaikan itu dan mengambil keputusan bersama (ruling).
Enak juga kerjanya hakim MK nggak mau capek-capek cari info sendiri, tapi malah meminta pemohon prinsipal atau lawyers yang mewakilinya, yang harus capek-capek mencari semuanya.
Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki computerized filling semua keputusan-keputusan MK sebelumnya secara sistematis dalam archives?
Kok pemohon prinsipal yg disuruh mencari-cari itu? Enak banget jadi hakim MK!
Sampean itu menjadi hakim MK digaji uang rakyat, Pak Hakim MK! Punya rasa malu dikitlah sama rakyat!
Yang menjadi pertanyaan publik; khususnya dari kami para diaspora Indonesia di luar negeri dan mantan pemohon prinsipal judicial review Presidential threshold 20% di Mahkamah Konstitusi (MK), adalah a) kenapa para hakim MK itu terkesan takut, tidak berani dan selalu menghindar untuk berdebat langsung dengan pemohon prinsipal atau lawyers yang mewakilinya? Selalu tergesa-gesa ingin menutup persidangan cepat-cepat, seolah-olah mau ada gempa bumi, atau ada rondo ucul dari istana yang baru lewat dan tidak ingin ketinggalan melihatnya?
b) Mengapa para hakim MK itu ogah untuk berdebat langsung perihal materi gugatan seperti yang dilakukan di U.S Supreme Court, bisa ditonton oleh publik dan bisa berdebat berhari-hari hingga permasalahan yang digugat itu benar-benar bisa dipahami secara detail dan dalam?
c) Ketika masalah itu diputuskan oleh MK, selesai once and for all! Karena pemohon prinsipal dan lawyers yang mewakilinya sudah diberi kesempatan untuk berdebat langsung membicarakan issue yang ada dengan para hakim MK secara details. Tidak seperti sekarang ini!
Sudah ada ruling MK sebanyak 30x, tetapi permasalahan Presidential threshold 20% ini masih juga tidak selesai, karena publik merasa, 39x keputusan MK itu dianggap tidak sesuai dengan spirit, tujuan, cita-cita dari ayat-ayat yang ada didalam UUD 1945, khususnya yang menyangkut “kedaulatan rakyat” dan demokrasi.
Salah satu penyebabnya adalah karena para hakim MK itu tidak mau atau pada takut untuk berdebat langsung, takut ketahuan gobloknya kali, atau takut kehilangan wibawanya. 😂
Khan mereka itu ‘tuan-tuan yang mulia’? Kalau ketahuan gobloknya, gimana gitu?
Beda khan dengan para justices di U.S Supreme Court?
Mereka malah ‘eager‘ untuk berdebat dengan sesama supreme court justices beradu arguments dalam setiap persidangan dan juga dengan pemohon prinsipal atau lawyers yang mengajukan gugatan!
Sehingga persidangan di U.S Supreme Court itu menarik sekali bagi publik yang melihatnya, khususnya bagi mahasiswa hukum!
Sekarang mahasiswa hukum di Indonesia kalau melihat persidangan di MK malah goblok bin clueless, karena tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari persidangan itu, malah membosankan!
Para hakim MK, jadilah seperti para justices di U.S Supreme Court!
Mereka adalah justices yang gentlemen!
[***]