DALAM sambutannya di pembukaan acara ‘Executive Leadership Program’ bagi para Direksi BUMN di Istana Negara, Rabu (25/1), Jokowi mengatakan bahwa telah menantang Menteri Keuangan Sri Mulyani agar pertumbuhan ekonomi 2017 bisa mencapai 5,3%.
Namun Sri Mulyani mengelak dan hanya sanggup mencapai 5,1 %, walaupun Asia Development Bank meramalkan bisa tumbuh sampai 5,3% dan Bank Dunia meramalkan bisa tumbuh 5,2%.
Tak berhenti di tahun 2017, target presiden Jokowi di 2018 agar pertumbuhan ekonomi mencapai di atas 6% juga kembali dipangkas oleh Sri Mulyani ketika rapat dengan DPR pada 14 Juni 2017 yang lalu.
Ketidaksanggupan  Sri Mulyani ini selain patut dipertanyakan juga menunjukkan bahwa jurus-jurus yang dipunyainya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi sudah habis atau bahkan jangan-jangan Sri Mulyani sendiri masih kurang yakin akan tercapainya target 5,1% tersebut.
Kita tidak bisa hanya selalu berkilah bahwa kondisi ekonomi dunia sedang lesu, tidak tumbuh seperti yang diharapkan dan sebagainya, karena kondisi itu juga dihadapi oleh semua negara diseluruh dunia.
Kita juga tidak bisa hanya menghibur diri dan bicara besar bahwa pada 2045 akan menjadi kekuatan ekonomi dunia ke 5 dengan pendapatan perkapita USD 30 ribu dan kelas menengahnya 82%, karena semuanya itu masih bisa dipertanyakan hitungannya.
Misalnya soal Gross Domestic Product (GDP atau Produk Domestik Bruto -PDB ) itu cara menghitungnya juga memasukkan besarnya produksi barang dan jasa perusahaan asing yang berada di Indonesia.
Misalnya perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia, Â PT Newmont, Â perusahaan-perusahaan minyak dan gas seperti PT Chevron Indonesia (dahulu Caltex), Â Total Indonesia, Arco, Vico dan sebagainya.
Perusahaan-perusahaan ini dan masih banyak lainnya sebagian besar keuntungannya dibawa pulang ke negerinya dan hanya meninggalkan uang pajak, royalti  yang kecil saja di Indonesia. Sehingga besarnya angka GDP/PDB ini bisa menyesatkan bila dipandang dari sudut kesejahteraan rakyat Indonesia. Angka-angkanya masih harus diteliti dan dibongkar lebih jauh.
Demikian juga angka GDP perkapita USD 30 ribu, itu adalah hanya angka GDP total dibagi jumlah penduduk. Sama sekali tidak mencerminkan kemakmuran rakyat, seperti yang diberitakan baru-baru ini bahwa kekayaan 4 orang yang paling kaya sama dengan kekayaan 100 juta rakyat miskin Indonesia.
Kalau hartanya dijumlahkan kemudian dibagi rata dengan 100 juta rakyat ditambah 4 orang terkaya maka itulah yang dinamakan pendapatan perkapita  Jadi 100 juta orang ini adalah orang miskin. Tetapi karena perhitungan pendapatan perkapitanya ditambah dengan harta 4 orang kaya, maka pendapatan perkapitanya seolah-olah naik menjadi 2 kali lipat.
Padahal yang 100 juta orang itu tetap miskin, hanya dalam angka perkapitanya saja seolah-olah pendapatan mereka 2 kali lipat dari kenyataannya. Terus angka perkapita ini dipakai kampanye oleh Menteri-menteri ekonomi seolah-olah pembangunan ekonomi sudah berhasil.
Mengenai kelas menengah yang jumlahnya dikatakan sampai 82% juga patut dipertanyakan. Kalau ukuran Bank Dunia tempat Si Mulyani bekerja sebelum ini yang mengatakan bahwa pendapatan diatas  USD 4 / hari itu adalah kelas menengah, maka kuli panggul di pasar-pasar, porter-porter di bandara dan di stasiun Gambir, pengamen-pengamen yang pendapatannya bisa mencapai Rp 75.000 – 100.000 per hari termasuk kelas menengah.
Sedangkan karyawan-karyawan yang digaji dengan UMR yang Rp3 jutaan itu termasuk kelas menengah atas. Padahal kita tahu persis bahwa hidup mereka sangat repot, bahkan hanya untuk membeli makanan setiap hari yang bergizi saja mereka tidak mampu. Apalagi  harga sayur yang  sekarang sudah mahal. Kembali lagi mereka makan Indomie lagi indomie lagi, makanan yang berbahaya bagi kesehatan.
Karena itu kita harus memakai ukuran-ukuran yang bisa dilihat dalam waktu dekat. Selain GDP juga harus dilihat Gini Ratio ukuran kesenjangan yang trendnya harus mendekati 0.32. Juga harus diperhatikan Index Pembangunan Manusia (HDI) suatu index yang menunjukkan kemajuan pendidikan, kesehatan, harapan hidup dan lain-lain.
Index ini di Indonesia kurang disukai oleh ekonom pemerintah termasuk Darmin Nasution dan Sri Mulyani karena Indonesia selalu ketinggalan akibat menteri-menteri ekonomi tersebut tidak pernah membuat kebijakan yang serius untuk memajukan IPM. Padahal suatu negara bisa maju bila IPM nya tinggi. Indonesia hanya berada diurutan ke 113 dunia dalam IPM nya jauh dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kembali kepada pertumbuhan ekonomi yang rendah dan telah ada pernyataan ketidak sanggupan Sri Mulyani untuk membuat pertumbuhan yang lebih dari 5,1%, maka sebenarnya SMI telah membatasi hak-hak rakyat untuk hidup lebih makmur. Atau dengan kata lain menunda kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa menjadi kapan-kapan, entar besok entar besok, atau tarsok tarsok.
Bukannya sekarang juga kita letakkan dasar-dasarnya, Sri Mulyani selalu berkilah bahwa pertumbuhan kita adalah yang nomor 3 setelah Cina dan India. Hal itu tidak benar karena Filipina 2015 tumbuh 5,9%, 2016 tumbuh 6,8 % dan 2017 diharapkan tumbuh antara 6,5 – 7,5%, Vietnam 2015 tumbuh 6,7%, 2016 tumbuh 6,2% dan 2017 diharapkan tumbuh 6,7%, sedangkan Indonesia 2015 tumbuh 4,79%, 2016 tumbuh 5,02% dan 2017 diharapkan tumbuh 5,1%. Dengan data ini, Indonesia sangat jauh dibawah Filipina dan Vietnam.
Sri Mulyani hanya berani membanding pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara-negara maju di Asia yang lebih rendah pertumbuhan ekonominya. Pembandingan ini tidak fair karena memang merupakan gejala umum diseluruh dunia bahwa negara maju mempunyai pertumbuhan yang lebih kecil.
Misalnya Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan Jepang untuk mengejar pertumbuhan 3-4 % saja sangat sulit. Mereka harus mempunyai inovasi-inovasi teknologi baru seperti robot, mobil hybrid, bioteknologi, solar cell dsb, untuk menciptakan generator pertumbuhan ekonomi yang baru.
Tetapi Indonesia negara berkembang lebih mudah untuk menciptakan generator pertumbuhan ekonomi yang baru seperti pariwisata, industri kreatif, digitalisasi perdagangan, pembangunan infrastruktur, industri perikanan, industri pengolahan, pertanian, peternakan, budidaya dan sebagainya.
Namun hal ini membutuhkan menteri-menteri ekonomi yang kreatif, penuh dengan terobosan, kecakapan dalam koordinasi dan operasional, mempunyai leadership yang tinggi dan sebagainya.
Rakyat berhak untuk hidup makmur. Bangsa Indonesia harus maju menjadi setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Karena itu rakyat membutuhkan menteri-bangsa ekonomi yang cakap yang bisa memajukan bangsa dan memakmurkan rakyat. Menteri-menteri ekonomi yang tidak cakap lebih baik menyingkir demi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.
Oleh Abdulrachim K, Aktivis 77/78, Pengamat Kebijakan Publik