MENTERI Keuangan Sri Mulyani menantang Bank Dunia agar memberi solusi untuk ekonomi Indonesia. Peristiwa itu terjadi di Energy Building Jakarta, dalam acara ‘Indonesia Economic Quaterly, Closing The Gap’. Dalam acara tersebut Bank Dunia menyampaikan hasil studinya tentang pertumbuhan riil konsumsi non pemerintah (‘private consumption’) di Triwulan II 2017 di level 5 persen, sama dengan triwulan sebelumnya. Pelambatan konsumsi tersebut diangap sebagai pemberat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Yang janggal adalah kemudian Sri Mulyani mengatakan bahwa studi Bank Dunia tersebut kurang mendalam. Seharusnya menjelaskan tentang penyebabnya, ‘pattern of consumption’-nya dan bagaimana respon kebijakannya. Lebih jauh lagi SMI bahkan minta contoh-contoh tentang keberhasilan negara-negara yang lebih maju untuk menyelesaikan permasalahan Indonesia ini.
Mengapa pernyataan SMI ini janggal? Karena semua yang dipertanyakan oleh SMI itu seharusnya dapat dijawab sendiri oleh SMI beserta puluhan staf di Kementerian Keuangan yang menengah maupun yang senior yang merupakan lulusan S2 dan S3 dari dalam dan luar negeri, dari sekolah-sekolah yang terbaik dan mempunyai pengalaman cukup.
Yang lebih mengherankan lagi adalah SMI juga mengharapkan Bank Dunia agar memberikan contoh dari negara maju menghadapi persoalan yang dihadapi Indonesia. Bagaimana bisa terjadi, ternyata SMI tidak mampu untuk berpikir sendiri untuk mengatasi masalah Indonesia malahan mohon petunjuk kepada Bank Dunia? Padahal SMI didukung oleh puluhan staf yang berkeahlian, didukung dana dan fasilitas yang melimpah di Kementerian Keuangan.
Kalau sedikit-sedikit menggantungkan pertolongan konsep, studi, pemikiran dari Bank Dunia yang notabene adalah pihak asing yang juga punya kepentingan tertentu terhadap Indonesia, maka justru akan memboroskan keuangan negara. Hal ini membahayakan dan merugikan kepentingan nasional. Bank Dunia tidak bebas dari kepentingan.
Selain itu juga sudah terbukti bahwa tidak selalu pemikiran dan nasehat dari Bank Dunia itu kredibel atau dapat diandalkan. Ini terbukti misalnya pada waktu sesaat sebelum terjadi krisis ekonomi di Indonesia 1997-1998, maka Bank Dunia selalu memuji perekonomian Indonesia saat itu. Hanya ada satu ekonom Indonesia yaitu DR Rizal Ramli yang mengingatkan berbagai pihak bahwa perekonomian Indonesia saat itu tidak sehat. Dan ternyata benar, kemudian terjadi krisis ekonomi.
Di Argentina pernah terjadi krisis ekonomi besar ditahun 1999-2002. Sebelum terjadi krisis tersebut Bank Dunia juga memuji ekonomi Argentina dan ternyata pujiannya itu salah total. Argentina pun jatuh ke dalam krisis ekonomi. Apakah pujian dari Bank Dunia itu tulus atau memang terjadi kekurangprofesionalan di dalam tim kerja Bank Dunia, atau bahkan Bank Dunia sengaja mau menjerumuskan Indonesia dan Argentina? Tetapi pada kenyataannya memang hasil kerja Bank Dunia tidak bisa diterima tanpa dikritisi atau dengan kata lain tidak bisa diandalkan.
Dalam dunia yang sudah sedemikian majunya dengan fasilitas internet yang tersedia, kita dapat mencari informasi apapun dengan mudahnya, baik pelajaran tentang krisis ekonomi, penyebab dan solusinya maupun tentang keberhasilan misalnya negara Asia membawa dirinya menjadi negara maju. Informasinya sangat mudah dicari, dari artikelnya, bukunya, sejarah ekonominya sampai peta jalan kemajuannya. Karena itu sangat tidak perlu untuk meminta-minta petunjuk kepada Bank Dunia.
SMI sebagai Menteri Keuangan RI yang bukan hanya memegang otoritas keuangan tertinggi di negara ini tapi juga mempunyai kewenangan penuh untuk mengarahkan alokasi anggaran negara ke berbagai sektor, maka seharusnya berpikir mandiri, memegang teguh martabat bangsa, memegang teguh erat kepentingan nasional selain berpihak kepada kesejahteraan rakyat sebagai acuan didalam berpikir, bersikap dan bertindak. Apabila sikapnya tergantung apalagi loyal kepada Bank Dunia, IMF atau kepentingan-kepentingan asing lainnya, sungguh tidak layak untuk menduduki jabatan sebagai Menteri Keuangan RI.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik