KedaiPena.com – Tanpa upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah produksi gula secara terintegrasi, agak mustahil permasalahan gula Indonesia dapat diselesaikan.
Pengamat Pangan APEGTI, Nur Jafar Marpaung menjelaskan harga gula konsumsi yang tinggi di Indonesia, intinya adalah karena mekanisme produksi yang tidak efisien.
“Biaya produksi yang dimaksud adalah biaya keseluruhan proses produksi perusahaan. Yakni, bahan baku, overhead pabrik dan biaya tenaga kerja langsung. Tiga komponen ini sangat berpengaruh pada kegiatan produksi,” kata Nur Jafar, Rabu (4/1/2023).
Ia menyebutkan biaya produksi di pabrik penggilingan milik BUMN, jauh lebih mahal dibandingkan milik swasta.
“Untuk menghasilkan gula per kilogram biaya produksi gula pabrik BUMN mencapai biaya Rp10.500 per kilogram. Kalau pemerintah memperhitungkan keuntungan petani sebesar 15 persen atau 30 persen, itu artinya harga gula petani berkisar Rp12.075 hingga Rp13.650,” urainya.
Besarnya ongkos produksi yang sangat mahal pada pabrik gula milik BUMN tersebut, lanjutnya, mencerminkan pengolahannya kurang efisien. Biaya Pokok Produksi (BPP) gula nasional tinggi karena banyak pabrik penggilingan tebu di Indonesia tidak efisien. Mesin dan fasilitas produksinya juga sudah tua.
“Bandingkan dengan biaya produksi Pabrik Gula milik swasta yang hanya separuh biaya prosuksi pabrik gula milik BUMN, yaitu Rp6 ribu per kilogram,” urainya lagi.
Sebagai contoh, perusahaan swasta seperti Sugar Grup, yang memproduksi Gulaku, ILP, SIL dan GPM yang pabriknya di Lampung, hanya perlu ongkos produksi Rp5.509 hingga Rp6 ribu per kilogram.
“Murahnya ongkos produksi dipicu karena pabrik gula milik swasta memiliki sistem yang terintegrasi, dari perkebunan sampai ke pengolahan. Mesin-mesin yang digunakan untuk pengolahan gula juga lebih canggih dan berbanding terbalik dengan milik BUMN, dimana biaya produksi yang mahal akibat pabrik gula milik BUMN sudah tua,” kata Nur Jafar.
Dari segi jumlah produksi pun, Nur Jafar menyebutkan produktivitas sebagian besar pabrik gula di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan Thailand.
“Dari 100 ton tebu, pabrik gula Nasional rata-rata hanya menghasilkan 7 ton gula. Padahal, dengan 100 ton tebu, pabrik gula di Thailand bisa menghasilkan 14 ton gula,” tuturnya.
Berdasar data per tahun 2013, dari 62 unit pabrik gula di Indonesia, 51 unit di antaranya adalah milik BUMN. Namun, pabrik BUMN hanya mampu menyumbang 60,78 persen dari total produksi gula nasional.
“Hal ini disebabkan pabrik gula di Indonesia masih bikinan zaman Belanda dan belum direvitalisasi,” tuturnya lagi.
Nur Jafar menegaskan, sudah seharusnya pemerintah sesegera mungkin menyelesaikan permasalahan gula ini.
“Pemerintah harus segera menghentikan liberalisasi impor gula. Selain itu, perlu pembangunan dan modernisasi pabrik gula nasional. Pada aspek lain, penting juga untuk memaksimalkan perbaikan varietas tebu, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, perbaikan sistem tebang dan pengangkutan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa