Artikel ini ditulis oleh Sugiyanto (SGY) – Emik, Relawan Independen Pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 dan 2024.
Partai Gerindra dan seluruh kadernya, termasuk sayap partai dan simpatisannya, tentu memiliki niat kuat untuk mewujudkan janji-janji Prabowo-Gibran selama masa kampanye, terutama terkait pemberantasan korupsi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, tantangan besar akan dihadapi, karena hal tersebut tidak akan terwujud tanpa dukungan rakyat atau masyarakat luas.
Dukungan rakyat sangat krusial, terutama untuk menjalankan program-program kerja, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Saat ini, hampir separuh kabinet Prabowo-Gibran masih terdiri dari pejabat yang sebelumnya menjabat di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak menteri di era Presiden Jokowi yang masih menduduki posisi penting di kabinet Merah Putih, bahkan ada dugaan kuat bahwa beberapa di antaranya pernah terlibat dalam kasus hukum.
Komposisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana kabinet Prabowo-Gibran mampu membersihkan diri dari pengaruh masa lalu. Dalam situasi ini, publik mungkin menganggap bahwa akan sulit untuk memberantas korupsi, atau bahkan ada kemungkinan muncul upaya yang menghalangi pemberantasan korupsi secara serius.
Selain itu, sejumlah menteri yang menduduki posisi strategis di kabinet Prabowo-Gibran adalah mantan menteri di era Presiden Jokowi. Meski Prabowo memiliki kewenangan penuh sebagai Presiden untuk menentukan siapa yang duduk di pos-pos penting, situasi ini mungkin membuat masyarakat bertanya-tanya tentang konsistensi pemerintahannya dalam menjalankan agenda reformasi dan pemberantasan korupsi.
Tak hanya itu, anggota dan Dewan Pengawas KPK yang ada saat ini juga merupakan hasil seleksi di era Presiden Jokowi, bukan hasil seleksi Presiden Prabowo Subianto. Meskipun hasil ini berdasarkan peraturan dalam UU KPK, namun hal ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama mereka yang berharap ada perubahan signifikan dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.
Di tengah dinamika ini, pemberitaan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) juga melibatkan nama mantan Presiden Jokowi. Meskipun Jokowi telah membantah dan meminta bukti, OCCRP sendiri telah mengklarifikasi bahwa mereka tidak memiliki bukti yang menempatkan Jokowi sebagai salah satu tokoh korup. Namun, isu ini tetap memicu perdebatan di masyarakat, dan laporan serta spekulasi terus beredar tanpa henti.
Peristiwa pagar laut dan munculnya sertifikat di dalam laut dari Kementerian ATR/BPN di era mantan Presiden Jokowi seakan menguatkan dugaan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) terjadi pada era Presiden Jokowi. Dalam konteks ini, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, telah melaporkan kasus pagar laut di wilayah Kabupaten Tangerang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menduga terdapat praktik korupsi dalam penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di wilayah laut Tangerang tersebut.
Dari segi kekuatan politik, Partai Gerindra bukanlah partai pemenang mayoritas dalam Pemilu 2024. Gerindra hanya menempati posisi ketiga setelah PDIP dan Golkar. Sebagian besar pengurus partai juga menduduki posisi dalam kabinet Prabowo-Gibran, yang berarti kekuatan politik dalam kabinet ini tidak sepenuhnya mencerminkan hasil perjuangan Partai Gerindra.
Dengan berbagai dinamika yang ada, tidak ada pilihan lain bagi Prabowo untuk mewujudkan janji-janji kampanyenya kecuali mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Sebagai Presiden, Prabowo harus lebih proaktif turun ke lapangan, berkomunikasi langsung dengan rakyat, dan meminta dukungan mereka untuk program pemberantasan korupsi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tanpa dukungan yang kuat dan luas dari masyarakat, janji-janji kampanye, terutama dalam pemberantasan korupsi dan mensejahterakan rakyat, akan sangat sulit terwujud. Ini adalah saat yang krusial bagi Prabowo untuk mendapatkan dukungan rakyat secara luas. Harus ada satgas atau gerakan rakyat yang mendukung kebijakan Prabowo-Gibran, atau kemungkinan besar rakyat akan kecewa pada akhirnya.
Jakarta, 28 Januari 2025
[***]