KedaiPena.Com – Pada 19 Oktober 2016, secara bulat DPR RI mengesahkan ratifikasi Paris Agreement menjadi UU melalui paripurna yang diajukan oleh pemerintah.Â
Walhi menilai bahwa ratifikasi ini merupakan manifestasi dari tanggung jawab politik negara untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang telah dialami oleh jutaan warga negara, khususnya bagi kelompok rentan seperti nelayan tradisional, petani, masyarakat adat.
Kelompok ini  menggantungkan sumber kehidupannya dari pengelolaan kekayaan alam. Ratifikasi ini juga menjadi penting dan mendesak, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan, karena negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dan juga negara kepulauan dengan jumlah belasan ribu pulau-pulau kecil.
“‎Ratifikasi ini merupakan langkah positif dari negara dan wujud pemenuhan tanggung jawab negara terhadap warga negara sebagaimana amanat konstitusi,” kata ‎Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan ‎Walhi dalam keterangannya kepada Redaksi, Jumat (21/10).‎
Ratifikasi ini sebenarnya jauh lebih penting maknanya ke dalam negeri dibandingkan ke internasional. Ratifikasi ini saja tidak cukup, karena ini juga berarti negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi komitmen tersebut. Â Bagaimana menurunkan emisi 29% di tahun 2030 serta memastikan adanya kebijakan adaptasi yang bisa mencegah terjadinya bencana ekologis.
“‎Namun Pengesahan Paris Agreement menjadi UU harus dibarengi dengan kebijakan nasional yang sejalan dengan komitmen negara menurunkan emisi GRK tersebut,” sambungnya.Â
Negara harus menunjukkan komitmen-komitmen tersebut dengan rencana-rencana pembangunan yang rendah emisi dan berpihak kepada lingkungan hidup dan keselamatan rakyat. Antara lain di sektor energi, dengan menghapuskan secara bertahap penggunaan energi fossil seperti batubara dan beralih ke energi terbarukan dengan prinsip terdesentralisasi, dapat diakses oleh rakyat dan bagi kepentingan rakyat.Â
“Ratifikasi ini juga harus dibarengi dengan penghentian ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit dan hutan tanaman industri yang mengakibatkan deforestasi dan kebakaran hutan, yang kita ketahui menyumbangkan emisi GRK yang sangat tinggi,” ia melanjutkan.‎
‎
Ratifikasi ini harus dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan tata kelola pengelolaan sumber daya alam, yang selama ini berupaya dilakukan melalui moratorium. Sehingga moratorium berbasis capaian dengan mereview perizinan lama dan tidak lagi memberikan izin baru, menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Komitmen Presiden untuk moratorium sawit juga harus segera diputuskan, dan rancangan RUU Perkelapasawitan menjadi tidak layak untuk dilanjutkan.
“‎Ratifikasi ini seharusnya dijadikan sebagai momentum bagi pemerintah untuk mengoreksi model pembangunan yang selama ini mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta berisiko tinggi bagi rakyat dan lingkungan hidup. Seperti proyek reklamasi yang justru akan semakin mengancam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang justru daerah yang rentan terdampak perubahan iklim. Isu ini juga menjadi penting untuk dihighlight, terlebih pemerintah Indonesia akan membawa isu ocean dalam side event di COP 22 Maroko,” pungkas dia.
(Prw)‎