KedaiPena.Com – Skenario pemerintah yang akan minta bantuan negara lain (asing) untuk menanggulangi lonjakan kasus harian Covid-19 apabila angkanya nembus lebih dari 40 ribu. Hal ini dikritik Adhie M Massardi, jubir presiden era Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).
Menurut Adhie, jangan tergesa-gesa mengajak negara lain ikut campur atasi persoalan domestik. Karena hal itu akan mengundang masalah baru yang dampaknya bisa jauh lebih besar dibandingkan persoalan pertama.
Langkah pemerintah yang akan minta bantuan negara lain untuk atasi pandemi Covid-19 akan mengundang bahaya lain yang lebih besar dan yang lebih tak terkendali. Padahal potensi domestik belum dioptimalkan.
“Coba baca lagi sejarah Indonesia zaman raja-raja. Hampir semua raja yang tidak mampu mengatasi persoalan domestiknya minta bantuan Kompeni (Belanda), imbalannya diberikan konsesi penguasaan wilayah dan hak-hak rakyat lainnya,” ungkap Adhie di Jakarta, Jumat (9/7/2021).
“Karena banyak raja yang tidak memiliki kompetensi dan leadership, hanya ingin menikmati kemewahan kekuasaan, maka setiap ada masalah jalan keluarnya hanya satu: minta bantuan asing, yaitu Kompeni Belanda. Inilah cikal-bakal lahirnya kolonialisme di negara kita,” tambahnya.
Introspeksi dan Evaluasi Langkah
Karena itu, koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini mengingatkan Presiden Joko Widodo agar sebelum mengambil langkah ini (minta bantuan asing), lakukan dulu introspeksi, evaluasi langkah pemerintah dalam atasi pandemi.
“Kalau kegagalan atasi pandemi ini karena tidak memiliki skill manajemen krisis yang baik dan benar, akibat ketidakmampuan aparatus negara yang berada dalam kendali presiden, Joko Widodo jangan malu minta bantuan tokoh-tokoh nasional di luar pemerintahan yang memiliki rekam jejak sukses mengatasi krisis,” papar Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.
Adhie melihat, selain pemerintah salah langkah sejak awal, dalam setahun pertama dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, kegagalan ini memang akibat manajemen krisis yang nyaris tanpa pola.
Indikator paling mencolok adalah tidak dioptimalkannya potensi sumber daya (manusia) yang dimiliki bangsa ini yang terkait pandemi. Misalnya, para ahli epidemiologi, kampus-kampus yang memiliki fakultas kedokteran, bahkan organisasi profesi dokter (IDI) tidak menjadi bagian penting dalam menanggulangi pandemi.
Sebaliknya, pemerintahan Joko Widodo justru lebih banyak melibatkan orang-orang dengan latarbelakang sektor ekonomi. Akibatnya, masalah utamanya pada pandemi, tapi fokus penyelesainya pada dampak di sektor ekonominya.
“Ini yang menyebabkan dinding penyangga longsornya pertumbuhan ekonomi yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah itu tak tahan dan tetap jebol, sementara kasus rakyat yang terpapar Covid-19 yang sudah ngalami mutasi dan jadi lebih berbahaya angkanya terus meroket,” kata Adhie.
Di Negara Lain yang Gagal Mundur
Seperti kita ketahui, pernyataan pemerintahan Joko Widodo akan minta bantuan negara lain disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dalam jumpa pers virtual, Selasa (6/7).
“Pemerintah telah menyusun skenario apabila lonjakan kasus harian Covid-19 menembus lebih dari 40 ribu, bahkan mencapai 60-70 ribu, pemerintah berencana meminta bantuan Singapura hingga Cina untuk mengimpor kebutuhan peralatan oksigen hingga prasarana lain yang dibutuhkan,” kata LBP yang oleh Presiden ditunjuk menjadi Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa dan Bali.
Menurut Adhie Massardi, minta bantuan asing ini merupakan langkah pemerintah yang hendak cuci tangan atas kegagalan penanganan pandemi Covid-19.
Seperti raja-raja di masa lalu, jika kita biarkan (minta bantuan asing) ini dilakukan (pemerintah), akan lebih membahayakan negara-bangsa. Sebab jika langkah raja-raja di masa lalu akhirnya mengundang kolonialisme, maka langkah ini dijamin akan mengundang kolonialisme baru (neo-kolonialisme).
Neo-kolonialisme ini yang dulu sangat ditakutkan Soekarno, Presiden RI pertama yang bersama Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945).
“Memang aneh, di negara lain seperti India, pejabat yang merasa gagal tangani Covid-19 beramai-ramai mundur. Di sini pejabat yang gagal minta bantuan asing. Tetap duduk di singgasana uncang-uncang kaki seraya menikmati kemewahan kekuasaan.”
“Sementara setiap hari rakyatnya bertumbangan. Masuk rumah sakit harus antre panjang. Bahkan yang akhirnya meninggal dunia pun harus antre panjang untuk dikuburkan di pemakaman. Ngeri,” pungkas Adhie Massardi.
Laporan: Muhammad Hafidh