Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Para pelaku ekonomi global gelisah disebabkan tanda-tanda resesi dan pelemahan ekonomi muncul ke permukaan.
Hal ini disebabkan karena keputusan Federal Reserve AS (The Fed) pada rabu kemarin 3/5 menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin.
Kenaikan tersebut adalah yang ke-10 kali dalam kurun waktu kurang dari satu tahun terakhir sehingga suku acuan Fed menjadi level 5-5,25 persen yang tertinggi sejak Agustus 2007.
Kenaikan suku bunga oleh bank sentral AS tersebut dituduh menyebabkan ketidakpastian ekonomi tinggi sehingga harga minyak dunia turun 4 persen pada perdagangan terakhir.
Harga Brent turun 4 persen atau US$ 2,99 yaitu menjadi US$72,33 per barel dan termasuk harga terendah sejak Desember 2021.
Setelah Fed menaikan suku bunga, biasa seluruh bank central baik Bank Sentral Eropa, Jepang, Australia dan Bank Indonesia pun akan menyusul menaikan suku bunganya.
Disinilah letak masalahnya. Saat ekonomi diwarnai dengan kenaikan suku bunga bank sentral maka situasi ekonomi menjadi berbiaya tinggi dan memberatkan sektor riil dan pelaku usaha.
Paska Covid19, pelaku usaha sebenarnya belum pulih dan membutuhkan relaksasi dalam pembiayaan aktivitas usaha.
Disaat situasi menjadi buruk bagi pembiayaan usaha, maka pelaku usaha tidak punya kemampuan ekspansi apalagi menambah tenaga kerja.
Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan. Bila sektor pembiayaan menjadi langka maka pelaku usaha kecil dan menengah tidak akan mampu bertahan dan akhirnya mereka akan menuju kebangkrutan.
Resesi yang berkepanjangan seperti ini tidak akan menguntungkan untuk eksistensi institusi ekonomi.
Apa yang dapat dilakukan Indonesia untuk meminimalisir dampak resesi ekonomi.
Indonesia harus segera mengambil langkah tegas untuk mengantisipasi terjadinya resesi diantaranya melalui:
Pertama, Menempatkan prioritas belanja fiskal untuk daya tahan ekonomi bukan untuk ekspansi infrastruktur seperti dalam 8 tahun terakhir.
Kedua, Melakukan realokasi anggaran belanja APBN dan APBD untuk memperbesar ruang fiskal agar APBN dan APBD dapat digunakan untuk memberikan dukungan bansos kepada kelompok rentan dan financing kepada pelaku usaha.
Ketiga, Bank Indonesia perlu memperlambat kenaikan suku bunga acuan domestiknya. Meski langkah tersebut dapat melemahkan nilai tukar dan menggerus cadangan devisa namun dengan mengintensifkan pengumpulan DHE (Devisa Hasil Ekspor) dari penjualan ekspor Kelapa Sawit dan Batubara, masalah tersebut tidak menjadi persoalan besar.
Perlambatan kenaikan suku bunga acuan domestik juga dapat menyebabkan inflasi, untuk menghindari hal tersebut, Bank Indonesia perlu lebih kreatif menekan inflasi bukan melalui kanal moneter melainkan kanal policy mix koordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Keempat, Indonesia perlu membangun kerja sama lebih intens dengan kawasan terdekat terutama dengan kawasan ASEAN dan Asia Selatan dalam tema bagaimana bersama meminimalkan dampak negatif dari resesi dan inflasi. Kerjasama regional akan lebih feasibel karena jarak yang lebih dekat daripada lintas kontinental yang kelihatannya lebih memanas akan di waktu dekat.
Kelima, Indonesia perlu membangun diversifikasi ekonomi dengan mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu seperti sektor energi fosil dan impor sektor pertanian dan ketergantungan sektor keuangan pada perbankan domestik.
Keenam, pemerintah perlu melakukan perubahan struktural dari mengandalkan pajak dalam penerimaan negara menuju kolaborasi ekonomi tanpa menaikan pajak tinggi. Perubahan struktural lain yang dapat dilakukan berupa efisiensi terhadap pengeluaran negara yang boros seperti belanja infrasturktur IKN, Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dan menekan pengeluaran biaya kesehatan nasional (BPJS) yang tidak berkelanjutan.
Singkatnya, seluruh kebijakan antisipasi resesi difokuskan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan pelaku usaha, meningkatkan daya saing dan produktivitas ekonomi untuk memperkuat pertumbuhan jangka panjang dan memperkuat ekonomi domestik dalam menghadapi resesi ekonomi global.
[***]