KEBERADAAN kawasan karst di Indonesia memiliki nilai-nilai yang sangat strategis. Selain luas potensi bentang alam karst Indonesia 154.000 km2 (0,08% dari luas daratan Indonesia), karst memiliki potensi yang bukan saja unik tetapi juga sangat kaya dengan sumberdaya alam baik itu hayati maupun non hayati.Â
Salah satu kawasan karst di Indonesia yang dikenal sebagai Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP) merupakan yang terbesar dan terindah kedua di dunia setelah kawasan karst di Cina Selatan seluas ±40.000 ha.Â
‎
Kawasan Karst Maros Pangkep terkenal secara internasional dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia untuk kawasan tropika. Bentang alam yang unik dan khas dengan menara karst, koridor karst yang panjang, gua-gua dengan ukuran besar dan terpanjang di Asia Tenggara dengan dekorasi terbagus.Â
‎
Kondisi tersebut menjadikan ±20.000 ha KKMP menjadi bagian dari ±43.750 ha kawasan Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung (Babul) dan merupakan satu-satunya taman nasional di Indonesia yang ditunjuk dengan karakteristik bentang alam karst (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.398/Menhut-II/2004).Â
Adapun arah kebijakan pengelolaan TN Bantimurung Bulusaraung periode tahun 2016-2025 dengan visi adalah “Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Menjadi Destinasi Ekowisata Karst Duniaâ€.
Potensi Flora dan Fauna (Keanekaragaman Hayati)
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga terkenal dengan keberadaan kupu-kupu sehingga dijuluki “The Kingdom of Butterflyâ€.Â
Alfred Russel Wallace seorang naturalis, penjelajah, geografer, ahli antropologi dan ahli biologi dari Inggris, selama empat bulan lamanya di Maros (Agustus-November 1857) mengeksplorasi daerah Amasanga dan Kawasan Wisata Bantimurung.Â
Di dua lokasi yang berada di kawasan karst tersebut, dia mengkoleksi 232 jenis kupu-kupu (Lepidoptera), terdiri dari 139 jenis Papilionoidea, 70 jenis Moths dan 23 jenis Skippers.Â
‎
Balai TN Bantimurung Bulusaraung melihat bahwa potensi kupu-kupu tersebut tak hanya di Kawasan Wisata Bantimurung, namun juga banyak dijumpai di lokasi lainnya. Tahun 2011-2015, dilaksanakan lah identifikasi dan monitoring jenis kupu-kupu di beberapa lokasi di TN Bantimurung Bulusaraung meliputi wilayah Kabupaten Maros dan kabupaten Pangkep.Â
Hasilnya adalah ditemukan sedikitnya 247 jenis kupu-kupu (Papilionoidea) di antaranya 240 jenis teridentifikasi sampai tingkat species, 4 jenis teridentifikasi sampai tingkat subfamily dan 3 jenis teridentifikasi sampai tingkat family.Â
‎
Tercatat sedikitnya 730 jenis fauna yaitu 33 jenis mamalia, 154 jenis burung, 17 jenis amphibia, 30 jenis reptil, 23 jenis ikan, 331 jenis serangga, 41 jenis Gastropoda, 6 jenis Oligochaeta dan 95 jenis Arthropoda di TN Bantimurung Bulusaraung.Â
Terdapat 52 jenis penting yang dilindungi undang-undang dan 364 jenis endemik Sulawesi. Beberapa di antaranya menggunakan Kata “Bantimurung” Â dan “Maros” dalam penamaannya, yaitu: Polydictya bantimurung, Marosatherina ladigesi, Lagochilus pachytropis marosianum, Cirolana marosina, Marosina brevirostris, Marosina longirostris, Eukonenia maros, Spermophora maros, Pseudosinella maros dan Idea blanchardii marosiana.
‎
Di TN Bantimurung Bulusaraung juga telah teridentifikasi sedikitnya 709 jenis flora, di antaranya 43 jenis Ficus merupakan key species dan 116 jenis Anggrek alam. Dari jenis flora tersebut 6 jenis yang dilindungi, yaitu ebony (Diospyros celebica), palem (Livistona chinensis, Livistona sp.), anggrek alam (Ascocentrum miniatum, Dendrobium macrophyllum dan Phalaenopsis amboinensis).Â
Potensi Gua
‎
Sedikitnya 257 gua sudah ditemukan di kawasan di TN Bantimurung Bulusaraung yang terdiri dari 216 gua alam dan 41 gua prasejarah. Dalam luasan luasan 50 km2 terdapat 14 gua vertikal yang memiliki kedalaman lebih dari 100 meter, di antaranya Leang Pute dengan pitch tunggal sedalam 263 m.Â
Gua Salukang-Kallang dengan panjang 12.463 m dan mempunyai jumlah spesies terbanyak di kawasan tropis di dunia. Di Festival Karst Maros Pangkep 2015: Ekspedisi Gua Terpanjang dan Gua Terdalam, TN Bantimurung Bulusaraung pun meraih rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) Gua Terpanjang dan Gua Terdalam di Indonesia.
‎
Sistem Gua Salukang-Kallang bersama Gua Tannete mempunyai 28 spesies yang telah teradaptasi di dalam gua meliputi 21 troglobion (biota darat khas gua) dan tujuh stigobion (biota akuatik khas gua).Â
Salah satu fauna yang ditemukan di dalam gua yang sangat terkenal adalah keberadaan ikan buta (Bostrychus sp. dan Bostrychus microphthalmus) yang perlu dijaga keberadaannya karena ikan tersebut hanya bisa berkembang di dalam gua yang memiliki system hidrologi yang baik.
Potensi Jasa Lingkungan
‎
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki potensi wisata dengan jumlah kunjungan wisatawan dalam 5 tahun terakhir (2011-2015) rata-rata 439.716 kunjungan pertahun. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tengah gencar mengembangkan detinasi ekowisata dengan tema “The Seven Wonders” yang diharapkan dapat menjadi magnet dalam industri wisata khususnya ekowisata dengan kategori “Wisata Minat Khususâ€.
Tujuh destinasi wisata pada zona pemanfaatan TN Bantimurung Bulusaraung yang prioritas untuk pengembangan pengelolaan pariwisata alam adalah Kawasan Wisata Bantimurung, Kawasan Wisata Pattunuang Asue, Kawasan Pengamatan Satwa Karaenta, Kawasan Gua Vertikal Leang Pute, Kawasan Situs Prasejarah Leang-leang, Kawasan Pegunungan Bulusaraung dan Kawasan Permandian Alam Leang Londrong.
‎
Kajian Nilai Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air di TN Bantimurung Bulusaraung dengan total nilai ekonomi air sejumlah Rp. 79.430.984.640,- per tahun. Sedangkan biomassa dan cadangan karbon pada tipe ekosistem hutan TN Bantimurung Bulusaraung memiliki kisaran biomasssa sebesar 87,15−483,54 ton/ha dan cadangan karbon sebesar 74,29−244,82 ton/ha.
Pemberdayaan Masyarakat
‎
Di sekitar TN Bantimurung Bulusaraung terdapat 45 desa/kelurahan, 10 kecamatan, 3 kabupaten (Maros-Pangkep-Bone). Upaya pemberdayaan masyarakat harus dilakukan untuk mencegah dan mengurangi tekanan terhadap TN Bantimurung Bulusaraung.Â
Peningkatan peran serta dan keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan TN Bantimurung Bulusaraung di antaranya dilakukan dengan pembentukan Desa Binaan dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Beberapa desa binaan adalah desa Pattanyamang, desa Labuaja dan desa Tompobulu, dan desa Samaenre.Â
‎‎
Di tahun ‎2008, di ‎Tompobulu dilakukan ‎pelatihan lebah madu. Sementara pada ‎2009‎ di Pattanyamang diberikan ‎bantuan bibit.‎
‎
‎Pada 2010‎ di Tompobulu dilakukan ‎pembentukan kelompok pengelola ekowisata “Dentongâ€, ‎
pelatihan interpreter dan pemandu wisata, p‎emerintah desa dan karang taruna.‎
Lalu di tahun 2011‎, di Pattanyamang dilakukan ‎pembinaan MDK (Model Desa Konservasi), pembuatan energi alternatif, pengelolaan tanaman bambu, dan pelatihan peningkatan produksi padi.‎
Nah, pada 2012 di ‎Pattanyamang dan ‎Labuaja dilakukan‎ pendampingan p‎engelolaan zona tradisional: survei, analisis, dan pembentukan kelompok hutan kemitraan.‎
Kemudian di tahun 2013, di ‎Labuaja dan‎ Tompobulu dilakukan ‎olaborasi pengelolaan hutan eks-Hkm desa mandiri konservasi, ‎identifikasi desa, program desa, sosialisasi desa mandiri dan penetapan desa mandiri.‎
Sementara pada 2014 di L‎abuaja dilakukan pe‎nyusunan rencana kerja. Terakhir di ‎2015, di ‎Pattanyamang, ‎Labuaja dan ‎Tompobulu dilakukan berbagai hal.
‎
Di antaranya, pengembangan usaha ekonomi, pelatihan lebah madu, p‎engembangan usaha ekonomi, pengelolaan pakan ternak, p‎engembangan usaha ekonomi dan budidaya pohon aren‎.
‎
Oleh ‎Ir. Sahdin Zunaidi, M.Si, Kepala Balai TN. Bantimurung Bulusaraung‎
‎