Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Kenapa oposisi seperti Petisi 50 di masa Orde Baru disegani ?
Karena mereka punya legitimasi.
Banyak di antara mereka adalah pejuang dan pendiri Republik. Sehingga memberikan keyakinan kepada rakyat bahwa yang mereka lakukan adalah untuk mewujudkan demokrasi dan cita-cita kemerdekaan.
Legitimasi dan integritas moral penting, sehingga oposisi dapat dimaknai sebagai pejuang terhormat.
Suatu hari kepada tabloid Detik, edisi Juli 1993, Ali Sadikin menceritakan tekanan yang dialami oleh para anggota Petisi 50, di antaranya Pak Nas (A.H Nasution), Hoegeng Iman Santoso, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Burhanudin Harahap, dan sejumlah tokoh lainnya.
Mereka dicekal berpergian ke luar negeri, tak boleh dapat kredit bank, diisolasi pers, hingga dilarang memberikan ceramah di tempat umum.
Ali Sadikin juga mengungkapkan skenario penangkapan dirinya dan Pak Nas, yang direncanakan oleh Pangkopkamtib Soedomo, petinggi intel Yoga Sugama, dan Ali Said.
“Diputuskan supaya saya ditangkap. Bahkan konon, disediakan pesawat untuk menerbangkan saya ke Pulau Buru. Ini jahat sekali. Saudara bisa bayangkan Pak Nas diputuskan untuk dikirim ke Pulau Buru,” kata Ali Sadikin.
Ini adalah contoh dari cara-cara Soeharto dalam melumpuhkan lawan-lawan politiknya tanpa ampun. Bukan hanya sanksi fisik yang diberikan, tetapi juga diusahakan untuk dimiskinkan, dan tidak diberikan jabatan dengan diolok-olok sebagai barisan sakit hati.
“Soeharto otoriter fisik, semua lawan-lawan politiknya ditangkap dan ditindak secara fisik. Beda dengan Jokowi. Terhadap potensi oposisi, Jokowi menaklukkannya dengan cara melakukan kooptasi dalam bentuk jabatan dan uang, sehingga merusak sistem dan karakter bangsa.” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli, di akun twitter-nya belum lama ini.
Perbedaan lainnya, menurut tokoh pergerakan mahasiswa ITB 1978 yang pernah dipenjarakan oleh Soeharto ini, walaupun oposisi di masa Orde Baru dibikin susah tapi di hati Soeharto masih ada rakyat.
“Uang dari migas, rezeki dari hasil minyak bumi dan gas, sama Pak Harto dibikinin SD Inpres, dibikinin Puskesmas, dibikinin buku gratis, dibikinin pasar Inpres. Hatinya masih ada buat rakyat,” kata Rizal Ramli.
Berbeda dengan Jokowi yang sembilan tahun terakhir ini berkuasa.
“Di hati Jokowi tidak ada rakyat, tampangnya sangat merakyat, kita ketipu dengan tampangnya. Tetapi hatinya oligarki, dia kepingin jadi oligarki, dia bantuin oligarki yang membayari segala macam kegiatan politiknya.” tegas Rizal Ramli lagi.
Lebih jauh Rizal Ramli menyebut model otoriter Jokowi sebagai OvU alias Otoriter via Uang. Sejak sembilan tahun terakhir Jokowi berkuasa tidak sedikit oposisi atau mereka yang berseberangan mengubah haluan, dengan mendekat kepada kekuasaan untuk menjadi corong akibat pendekatan uang dan jabatan.
Karakter mereka dirusak oleh financial capital yang tatkala mendapatkan jabatan ikut pula menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
[***]