KedaiPena.Com – Kepala BP2MI Benny Rhamdani diharapkan tidak hanya menindak dan menggerebek tempat penampungan pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal namun juga harus membereskan sumber masalahnya.
“Sejak ada perubahan regulasi penempatan PMI di luar negeri akhirnya terjadi penumpukan karena ribuan orang setiap bulan yang berusaha untuk menginginkan bekerja di luar negeri karena persoalan yuridis yang dihadapi PMI di luar negeri,” kata Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy (OIDP) Satyo Purwanto, Jumat, (28/8/2020).
Persoalan yuridis tersebut, kata Komeng begitu ia disapa, antara lain ialah tidak adanya kepastian hukum dalam penerapan UU No 39 Tahun 2004. Padahal ada beberapa ketentuan dalam UU tersebut yang subjek hukumnya tidak jelas.
“80% permasalahan PMI disebabkan ketidakberesan manajemen di dalam negeri yang dimulai dari proses penempatan, perekrutan, pelatihan hingga penempatan tanpa pengawasan dari Kantor Perwakilan RI, dan perlindungan selama penempatan,” tegas Komeng.
Tidak hanya itu, lanjut Aktivis 98 ini,
satu hal lagi soal kontradiksi aturan PMI yang membingungkan adalah terbitnya PerMen Ketenagakerjaan Republik Indonesia nomor 22 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan PMI di Luar Negeri.
“Yang menggantikan Permenakertrans no Per.14 tahun 2010. Permenaker no 22 2014 ini yang menghapus KTKLN, dan itu kemudian dijadikan argumen hukum bahwa KTKLN sudah dibatalkan padahal belum pernah ada perubahan UU no 39 thn 2004,” papar Komeng.
Komeng menambahkan, kesemrawutan regulasi ini harus mampu dibereskan oleh Benny Rhamdani atau Brani sebagai Kepala BP2MI.
“Permenaker nomor 22 juga menyebut kan pembiayaan pelatihan PMI diberikan oleh pemerintah akan tetapi faktanya “omdo” tidak pernah ada biaya pelatihan diberikan oleh pemerintah,” tandas Komeng.
Laporan: Muhammad Lutfi