BEBERAPA hari terakhir ini Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mendadak jadi sorotan lantaran mengaku “buta†atau tidak paham sama sekali tentang revolusi mental yang telah ditancapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal masa pemerintahannya.
Menurut Darmin, sampai saat ini dirinya masih selalu berpikir karena memang belum memahami apa itu Revolusi Mental.
Darmin bahkan mengaku sangat kebingungan disebabkan belum adanya rumusan, tolok ukur dan kegiatan yang ingin dilaksanakan dalam menjalankan revolusi mental tersebut.
“Terus terang saya kadang mikir, Revolusi Mental itu seperti apa, bagaimana itu mau dijalankan, karena belum ada yang merumuskan,†lontar Darmin di Jakarta, Rabu (5/4).
Lontaran atau pernyataan Darmin tersebut sudah pasti adalah ungkapan yang keluar dari lubuk hatinya, sebab ia mengucapkannya dengan kalimat “terus terangâ€.
Dari situ, berbagai pertanyaan dan tanggapan pun bermunculan menyoroti keterus-terangan Darmin tersebut.
Misalnya, bagaimana mungkin seorang sekelas menko bisa kebingungan dan tidak paham dengan sesuatu (revolusi mental) yang boleh dikata telah menjadi tekad “dasar†dari Presiden Jokowi?
Ini sama saja ibarat seorang pembantu yang sedang berusaha melaksanakan tugasnya, tetapi di saat bersamaan mengaku kebingungan dengan maksud dan tujuan seperti apa yang dikehendaki oleh majikannya. Itu yang pertama.
Yang kedua, bagaimana mungkin Darmin bisa “lolos diterima†masuk ke dalam Kabinet Kerja, sementara ia tidak tahu-menahu tentang revolusi mental yang ingin diwujudkan oleh Presiden Jokowi?
Ini sama saja seseorang yang tiba-tiba diterima sebagai prajurit di kemiliteran untuk berperang, namun ia tidak tahu-menahu ke mana senapan ingin diarahkan? Bagaimana mengarahkankannya? Dan untuk apa diarahkan?
Yang ketiga, adalah sebuah kesimpulan, bahwa jika demikian “kondisi†pemikiran dari seorang sekelas Menko Perekonomian, maka dapat dipastikan akan sangat sulit memang pertumbuhan ekonomi di negeri ini bisa meroket ke tempat tujuan yang dikehendaki, sebab revolusi mental sebagai tujuan dasarnya saja tak diketahui di mana posisi atau letaknya.
Dan ini sama saja ibarat seseorang yang dinilai “pandai berjalanâ€, namun ternyata tak tahu ia sekarang sedang berada di mana dan bahkan buta di mana letak tujuan yang ingin dikunjunginya (dicapai). Dan kondisi seperti inilah yang sedang terjadi pada diri Damin, kebingungan!
Ini kemudian sekaligus bisa dengan mudah digambarkan, tentang bagaimana sesungguhnya “model kualitas†dari seorang Menko yang “buta†terhadap harapan seperti apa yang diinginkan dari seorang Presiden. Sehingga kiranya, pantaslah apabila ekonomi rakyat kita saat ini juga masih berada di level yang sangat membingungkan.
Padahal, dari laman kominfo.go.id, sangat jelas dikemukakan mengenai Revolusi Mental ala Presiden Jokowi.
Di sana disebutkan, bahwa dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang BERINTEGRITAS, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong.
Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Dan hal itu adalah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956.
Revolusi di zaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, perang melawan penjajah dan sekutunya, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini, setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum, dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda. Bukan lagi mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa.
Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dan inilah ide dasar yang digaungkannya kembali melalui gerakan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan.
Darmin dan seluruh pejabat di negeri ini seharusnya mengetahui, bahwa gerakan revolusi mental ini ditancapkan kembali sebab Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi tiga problem pokok bangsa yaitu:
1. Merosotnya wibawa negara,
2. Merebaknya intoleransi, dan
3. Melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional.
Betapa besarnya keinginan Presiden Jokowi untuk mewujudkan Revolusi Mental ini, sampai-sampai ia menekankan kepada para pemimpin dan aparat negara untuk jadi pelopor dalam menggerakkan revolusi mental tersebut, dimulai dari masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L).
Sebagai pelopor gerakan revolusi mental, Presiden Jokowi menegaskan, hendaknya para aparat lewat K/L harus melakukan tiga hal utama yaitu: 1). Bersinergi, 2). Membangun manajemen isu, dan 3). Penguatan kapasitas aparat negara.
Olehnya itu, sekali lagi, jika sekelas Menteri Koordinator (Menko) saja sudah mengaku terus terang tidak tahu-menahu dan tak paham dengan revolusi mental, maka bagaimana dengan rakyat?
Dan memang rasa-rasanya, dengan munculnya secara spontan pengakuan ketidakpahaman Darmin tentang Revolusi Mental tersebut, maka hampir bisa dipastikan rakyat (publik) makin yakin memandang Darmin sebagai sosok yang benar-benar tidak layak lagi dipercaya sebagai Menko Perekonomian.
Dari sisi track-record Darmin di masa lalu juga boleh dikata tak ada satupun yang dapat dinilai istimewa, bahkan bisa dibilang Darmin tak punya terobosan mendasar yang bisa disebut sebagai sebuah kinerja atau prestasi yang gemilang.
Padahal sekitar 16 tahun lalu sebagai Dirjen di Kementerian Keuangan, Darmin harusnya pada saat ini telah mampu menampilkan kinerja yang baik.
Sebab, pada 16 tahun silam tersebut, Rizal Ramli adalah Menko Perekonomian/Menteri Keuangan yang membawahi Darmin. Di mana pada saat seperti itu, Rizal Ramli tentunya banyak menampilkan “jurus†ekonom yang bisa diterapkan oleh Darmin untuk saat ini.
Sayangnya, meski jauh lebih tua dari Rizal Ramli, namun cara kerja dan cara berpikir Darmin sebagai ekonom hingga saat ini sepertinya masih bagai anak SMP (Sangat Miskin Prestasi) dan SMA (Senang Mister Asing/Amerika).
Bahkan, perjalanan karir Darmin di dalam pemerintahan sebagai seorang ekonom di masa silam, cenderung dinilai lebih banyak membuka kesempatan pihak-pihak tertentu agar dapat leluasa melakukan penyelewengan. Dan hal itu kemudian membuat nama Darmin tak jarang ikut diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi.
Tak sedikit kalangan bahkan terang-terangan menyebut Darmin diduga kuat terlibat dalam kasus pajak Haliburton, perusahaan milik mantan Wakil Presiden AS, Dick Cheney. Juga dengan kasus pajak Paulus Tumewu, kasus pajak Hindarto Gunawan selaku Dirut PT.Surya Alam Tunggal (SAT), serta lain sebagainya.
Olehnya itu satu hal yang patut dicermati, bahwa dari ungkapan “kejujuran†yang spontan disuarakan Darmin Nasution baru-baru ini, adalah boleh jadi itu selain sebagai sebuah “kode atau tanda†ketidakmampuannya sebagai Menko Perekonomian, juga bisa saja sewaktu-waktu dijadikan alasan oleh Darmin untuk tak ingin disalahkan bila kemudian nantinya ia benar-benar dinilai gagal. Sebab, bukankah memang ia pernah mengaku terus terang tidak tahu-menahu dengan revolusi mental?
Nah, jika “kejujuran†seperti itu sudah diutarakan langsung oleh Darmin di hadapan publik, namun Jokowi selaku presiden ternyata masih tetap juga mempertahankan posisinya sebagai Menko, maka tentu ini akan menimbulkan pertanyaan baru: “Darmin atau Jokowi yang ‘buta’ revolusi mental?
Entahlah! Yang jelas rakyat saat ini tidak ‘buta’ melihat situasi ekonomi yang masih berantakan di sana-sini. Dan Darmin Nasution tak patut disalahkan, sebab bukankah ia sudah mengaku terus terang bahwa dirinya tak paham dengan Revolusi Mental ala Presiden Jokowi?
Oleh Abdul Muis Syam, pengamat politik dan aktivis kedaulatan rakyat