KedaiPena.com – Isu kenaikan harga gula mentah (raw sugar) sebesar 19,61 sen Dollar Amerika per pon dan diperkirakan bisa mencapai 21,22 sen Dollar Amerika, berpotensi meningkatkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Gula Konsumsi. Pemerintah seyogianya mampu mengambil langkah strategis untuk mencegahnya, agar tak terjadi kericuhan seperti kasus minyak goreng.
Pengamat Pangan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu (APEGTI) Nur Jafar Marpaung menyatakan pemerintah belum serius menangani masalah Gula Indonesia.
“Permasalahan sembako semua sama, revitalisasi produksi dan ketersediaan bahan baku. Padahal untuk investasi bidang gula nilainya sama dengan pembangunan refineri. Lebih mahal bangun Jalan Tol Layang yang menelan biaya sampai Rp40 milyar per km. Cuma kalau dibangun pabrik gula oligarki kehilangan rente, bunga dan lintah darat,” kata Nur Jafar saat dihubungi, Senin (6/6/2022).
Ia menjelaskan kebutuhan gula nasional sesuai dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta jiwa adalah 3.993.600 ton pertahun. Sementara cadangan gula nasional adalah 10 persen dari kebutuhan gula nasional. Jadi total kebutuhan gula nasional pertahun adalah sebesar 4.392.960 ton per tahun atau kebutuhan gula nasional per bulan adalah 332.800 ton.
“Sementara total kemampuan produksi Industri Gula Nasional (IGN) dari Pabrik Gula (PG) milik pemerintah dan swasta adalah 2.800.000 ton per tahun. Melihat perbandingan produksi Pabrik Gula yang ada di Indonesia dengan kebutuhan gula nasional tejadi defisit sebesar 1.592.960 ton per tahun,” paparnya.
Untuk menutupi kebutuhan gula nasional, pemerintah melakukan impor gula melalui perusahaan BUMN seperti PTPN, PPI, RNI, BULOG dan lain-lain serta melalui perusahaan Swasta pemilik API-P atau API-U (PERMENDAG RI Nomor 14 Tahun 2020, Tentang Ketentuan Impor Gula).
Pabrik Gula (PG) milik pemerintah yang ada saat ini adalah peninggalan Belanda. Jumlah Pabrik Gula (PG) milik BUMN sekitar 79 buah yang tersebar di daerah Provinsi Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Lampung, Sumsel, Sumut, dan Sulsel.
“Dari jumlah diatas yang berproduksi hanya 15 persen. Selebihnya tidak berproduksi lagi dan ada yang sudah ditutup, karena kekurangan bahan baku yaitu Tebu,” ucapnya.
Nur Jafar menyampaikan biaya produksi gula di pabrik penggilingan milik BUMN selama ini jauh lebih mahal daripada swasta.Untuk menghasilkan gula per kilogram, biaya produksi gula pabrik BUMN mencapai biaya Rp10.500, yang meliputi bahan baku, overhead pabrik, dan biaya tenaga kerja langsung (direct labor). Berarti biaya ongkos produksi gula petani sebesar Rp10.500 per kilogram.
“Kalau pemerintah memperhitungkan keuntungan petani sebesar 15 persen atau 30 persen, artinya harga gula petani berkisar Rp12.075 hingga Rp13.650,” ucapnya lagi.
Besarnya ongkos produksi yang sangat mahal pada pabrik gula milik BUMN tersebut, menurut Nur Jafar, mencerminkan Tata Kelola yang kurang efisien.
“Biaya Pokok Produksi (BPP) gula nasional tinggi karena banyak pabrik penggilingan tebu di Indonesia tidak efisien. Mesin dan fasilitas produksinya juga sudah tua dan tidak pernah dimodernisasi. Memang ada yang sudah direvitalisasi, tetapi tetap tidak efisien untuk meningkatkan rendemen gula, sehingga petani tebu tetap merugi. Rendemen Pabrik Gula (PG) BUMN adalah rata-rata tujuh persen,” urainya.
Faktor rendemen inilah yang menjadi penyebab banyak petani tebu gulung tikar atau merugi, sehingga mereka beralih tidak menanam tebu lagi dan berganti menanam tanaman semusim (palawija). Akibatnya Pabrik Gula kekurangan bahan baku dari tanaman tebu.
“Untuk menjaga kestabilan ketersediaan gula di dalam negeri pemerintah harus impor gula mentah (raw sugar) dari luar negeri. Seperti dari Thailand yang merupakan negara importir bahan baku Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR),” ujarnya lagi.
Dengan adanya isu kenaikan harga gula mentah (raw sugar) sebesar 19,61 sen Dollar Amerika per pon dan pada kuartal ini kenaikannya diperkirakan bisa mencapai 21,22 sen Dollar Amerika, terutama dalam 12 bulan mendatang, Nur Jafar menyebutkan pemerintah harus segera bertindak cepat. Sehingga Pabrik Gula (PG) tidak sepenuhnya bergantung kepada pasokan gula mentah (raw sugar) untuk memproduksi Gula Kristal Putih (GKP) yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia setelah beras.
“Kalau pemerintah sekarang berdiam diri dan tidak mengambil langkah-langkah strategis, bisa berakibat pada kenaikan harga Gula Kosumsi diatas Harga Eceran Tetap (HET) yang telah ditetapkan pemerintah yaitu Rp13.500 per kg,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa