SELALU terlambat. Minusnya perekonomian kita 5,3%, jauh dari prediksi BI, Menkeu, IMF dan World Bank yang memprediksi sekitar minus 3.0% sampai minus 4.3%.
Prediksi yang meleset dan tidak akurat. Terlambat antisipasi sejak munculnya pagebluk Covid-19. Padahal sebelum Covid benar-benar datang, para ekonom dari Indef sudah mengingatkan ekonomi Indonesia dalam kondisi bahaya.
Bahkan Dr. Rizal Ramli, begawan ekonomi yang sudah punya ‘track record’ menyelamatkan ekonomi setelah krisis moneter 1998, setahun sebelumnya sudah mengingatkan ekonomi Indonesia sudah lampu kuning.
Enam bulan menjelang Covid-19, RR, sapaannya, juga mengingatkan ekonomi Indonesia sudah hampir memasuki lampu merah, dengan indikator multi defisit dan perusahaan zombie yang gagal bayar.
Saya sependapat dengan Eko Listiyanto peneliti dari Indef. Tanpa adanya Covid-19 sebetulnya ekonomi sudah melambat. Covid-19 ini hanya mengonfirmasi atau mempercepat memang struktur ekonomi Indonesia rapuh, kemandirian yang tidak dibangun, dan berbagai macam persoalan-persoalan yang ada di dalam perekonomian akhirnya terkuak.
Selain telat antisipasi, juga strategi penanggulangan pagebluk Covid-19 tidak jelas. Dari awal terlambat dan tarik ulur serta oper-operan antara pusat dan daerah.
Begitu juga dengan strategi penanggulangan ekonomi, pemerintah cuma cari aman, membentuk UU 2/2020 yang melanggar konsitusi, hak ‘budgeting’ dan hak pengawasan dicuri dari lembaga legislatif dan yudikatif.
Lucunya kedua lembaga tidak merasa dicuri bahkan menyodorkan. Malah memberi kekebalan hukum bagi eksekutif, tidak bisa dipidana. Aneh pemerintah atau lebih tepat “dungu” untuk sosialisasi digunakan ‘buzzer’, ‘influencer’ dan para artis yang tidak tahu menahu tentang substansi. Presiden Jokowi cuma mengeluh dan marah. Marah dan marah lagi.
Empat bulan berlangsung Covid-19. Dana Kesehatan dan Bansos cuma terserap kurang 20% padahal sudah diberi ilmu kekebalan. Dan baru empat bulan pada akhir Juli, Presiden Jokowi membentuk Tim Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Corona, secara berlapis sangat birokratis. Telat lagi.
Dan Jokowi juga “tidak berani” mengambil komando secara langsung, dan diberikan kepada Ketum Golkar yang juga Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto. Empat bulan selama Covid yang terus naik kurvanya.
Sepertinya sebentar. Tetapi bagi ekonomi rakyat sangat lama penderitaannya dengan realisasi dana stimulus Corona yang sangat sedikit. Padahal penyerapan stimulus yang cepat menjadi kunci bagi Indonesia keluar dari kondisi ekonomi yang berat.
Percepatan penyerapan stimulus ini sekaligus akan memicu pertumbuhan ekonomi, nyatanya yang terjadi menetes dan telat alias terlambat.
Nasi sudah jadi bubur. Telat dan telat. Strategi tambal sulam. Dari awal program unggulan pilpres berupa Kartu Pra Kerja, ditarik langsung menjadi program Corona. Karena memang tidak direncanakan untuk Corona sekadar tambal sulam. Akhirnya mandeg dan dihentikan, karena memang berbahaya dikemudian hari.
Lalu setelah lobang dalam pertumbuhan ekonomi anjlog minus 5,3% baru muncul dadakan stimulus bagi-bagi uang Rp600.000 untuk PNS dan pekerja swasta dengan penghasilan dibawah Rp5 juta (pengangguran yang mencapai 15 juta tidak kebagian, gimana nasib mereka).
Sementara gaji PNS ke-13 yang ditahan, baru rencana akan diberikan pada bulan ini. Kemudian rencana stimulus untuk usaha menengah kecil Rp2,8 Juta per usaha, belum diketahui apa kriterianya. Pasti tidak akan semua kebagian karena menurut BPS tahun 2019, usahawan di sektor informal, sebanyak 55,7% atau 70,5 juta. Wow, jumlahnya banyak lho,negara tidak akan sanggup.
Pertanyaannya kenapa kebijakan stimulus tersebut tidak dari awal dilakukan. Katakanlah bulan kedua setelah pagebluk Covid-19 muncul di Indonesia. Sehingga pertumbuhan tidak nyungsep lebih dalam seperti sekarang minus 5,3%.
Lalu seberapa efektifkah kebijakan tambal sulam dan terlambat tersebut mampu membangkitkan perekonomian Indonesia pada kuartal lanjut.
Karena sudah terlambat stimulus tersebut yang diharapkan bisa berputar, paling mampu menambal sedikit utang dari para penerima stimulus yang selama empat bulan mereka sudah kekurangan, tidak lagi dipakai untuk belanja, meningkatkan daya beli.
Begitu juga PNS dan para pekerja swasta, selama empat bulan dirumah, biaya hidup mereka bukan berkurang tapi bertambah termasuk membantu anak dan saudara yang menganggur dan di-PHK.
Sungguh sangat memprihatinkan ketika Presiden Jokowi dan Menko Airlangga Hartarto serentak membanggakan minus 5,3% lebih baik daripada negara lain yang lebih dalam seperti Singapura dan USA, saya kira ini pernyataan pembodohan atau pun membuat reaksi dungu.
Bagaimanapun kondisi dan kemampuan ekonomi rakyat jauh berbeda, sesulit sulitnya warga Singapura dan Amerika Serikat, mereka masih punya kemampuan kekayaan untuk bertahan dan warganya rata-rata jauh lebih kaya.
Posisi awal warga Indonesia yang kaya dan secara finansial mampu bertahan dalam situasi resesi paling 20%, selebihnya sekitar 200 juta rakyat hidup pas-pasan, dan akan jatuh lebih miskin jika resesi ekonomi berlangsung lama.
Berapa lama resesi Ekonomi akan terjadi, bila pagebluk Covid-19 tidak teratasi, tidak akan melandai dan setelah itu akan ada gelombang kedua, contoh Vietnam yang tadinya sudah selesai kembali terjangkit.
Jika mengamati cara Indonesia mengatasi, pagebluk Covid-19 akan berlangsung satu tahun lagi. Mungkin lebih. Sementara vaksin baru akan bisa digunakan satu tahun kedepan. Setelah pengujian dan diterima WHO. Berbeda dengan resesi ekonomi 98, tidak semua negara yang terkena.
Diperparah perang dagang antara Cina dan AS tidak mereda malah terancam perang militer secara fisik. Sehingga resesi ekonomi bagi Indonesia berpotensi meruntuhkan sistem keuangan. Negara bisa bangkrut. Tanpa ada yang bisa menolong.
Dari pengamatan kesulitan ekonomi Indonesia tidak hanya akan terjadi tahun 2020. Tahun 2021 juga jauh lebih sulit, karena stimulus tidak mungkin dilakukan terus menerus dalam situasi keuangan negara, masa berlaku keringanan banyak fasilitas keuangan akan diakhiri.
Kredit rakyat kembali harus dicicil. Awal Januari 2021 BPJS naik dua kali lipat bagi kelas tiga, yang banyak di ikuti oleh rakyat. Tahun 2021 adalah kesulitan yang sebenarnya. Pertanyaan berikutnya. Bagaimana jalan keluarnya.
Kondisi inilah yang dikuatirkan oleh purnawirawan Mayjen Deddy S Budiman, militer tua, akan terjadi kesulitan dan akan menimbukan amuk, sehingga dengan hatinya yang paling dalam memohon kepada Presiden Jokowi untuk mundur.
Sejujurnya Pemerintah Jokowi telah gagal. Walaupun dengan marah-marahnya Presiden maupun ‘reshuffle’ kabinet. Maaf tidak akan menolong. Nasi telah jadi bubur. Memang harus ada perubahan. Untuk menyelamatkan Indonesia.
Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78