KedaiPena.Com – Sumatera Utara (Sumut) patut dijadikan laboratorium pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diproyeksikan serentak tahun 2024. Kompleksitas persoalan Pilkada di Sumut dapat menjadi bahan bagi pembuat kebijakan untuk menyempurnakan aturan penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Ketua Bawaslu Sumut Syafrida R Rasahan didampingi Anggota Bawaslu Sumut Aulia Andri dan Hardi Munte belum lama ini mengatakan, pelaksanaan Pilkada serentak tahap I yang diselenggarakan 23 kabupaten/kota di Sumut menyisakan Pilkada susulan di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, karena sengketa pencalonan
KPU Simalungun membatalkan kepesertaan JR Saragih dan Amran Sinaga pada 6 Desember 2015, karena status Amran sebagai terpidana sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 194 K/pid.sus/2012. PTTUN Medan menerbitkan penetapan penundaan pemungutan suara di Simalungun tanggal 8 Desember 2016.
Di Pematangsiantar, pasangan Surfenov Sirait dan Parlindungan Sinaga ditetapkan melalui rekomendasi Panwas Pematangsiantar. Keputusan Panwas Pematangsiantar dilaporkan ke DKPP. Kepesertaan Surfvenov Sirait dan Parlindungan Sinaga dianulir, pasca Keputusan DKPP.
Sengketa pencalonan yang diajukan Surfvenov Sirait dan Parlindungan Sinaga bergulir di Peradilan Tata Usaha Negara, mulai tingkat pertama, banding hingga kasasi. Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 30 September 2016 menjadi dasar melanjutkan tahapan Pilkada Pematangsiantar yang tertunda.
“Penundaan ini berakibat juga pada kedudukan penyelenggara. Sebab, masa tugas diatur undang-undang tak lagi sama dengan aturan keuangan daerah yang diatur dalam Permendagri No 51 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pilkada. Kami menghentikan sementara seluruh jajaran penyelenggara pengawas di Kota Pematangsiantar, hingga ada keputusan lanjutan tahapan,” kata Syafrida.
Masa penundaan, Bawaslu Sumut intens berkomunkasi dengan Pemko Pematangsiantar, Bawaslu RI, Kementerian terkait persiapan pemungutan suara lanjutan. “Kami berpendapat, persiapan dari sisi anggaran, aturan harus dipersiapkan lebih awal sebelum ada Putusan berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Pilkada Pematangsiantar semakin “unik” karena pelaksanaanya diatur oleh UU 8/2015 yang diubah menjadi UU 10/2016. Ada aturan dan kewenangan baru, yakni sanksi politik uang terstruktur masif dan sistematis (TMS) dan kewenangan Bawaslu menyelesaikan sengketanuya.
“Bawaslu Sumut menjadi penyelenggara pertama yang menerapkan kewenangan penyelesaian TMS,” katanya dan mengatakan, Keputusan Bawaslu Sumut menyatakan TSM tidak terbukti.
Di tahun 2016, Bawaslu Sumut menyiapkan Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Kota Tebingtinggi untuk Pilkada serentak tahun 2017. Mulai dari penyusunan anggaran bersama pemerintah daerah, juga membentuk Panwas setempat. “Persoalan anggaran masih menjadi kendala,” katanya.
Pemkab Tapteng hanya memberikan Rp 2 miliar di tahun 2016. Dengan alasan, dana dipakai untuk pembangunan infrastruktur. Padahal, dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sudah dana disiapkan Rp 8,9 miliar, dengan rincian tahun anggaran 2016 sebesar Rp 5 miliar dan selebihnya tahun anggaran 2017. “Jika hingga tanggal 10 Januari 2017 dana tidak terpenuhi, dikhawatirkan akan mengganggu pengawasan tahapan dan menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Ini hal yang krusial,” katanya.
Dengan kondisi calon tunggal di Kota Tebingtinggi dinilai bakal berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih. Sedangkan calon yang merupakan mantan petahana juga akan mempengaruhi psikologi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota Tebingtinggi.
Terkait berbagai catatan penting akhir tahun 2015 dan sepanjang tahun 2016, Bawaslu Sumut merasa perlunya peran semua pihak turut serta menyukseskan Pilkada 2017 yang ada di Sumut.
Laporan: Dom