PENYAPUAN (sweeping) terhadap buku-buku kiri/marxis kembali terjadi. Setelah sebelumnya di Kediri, Jawa Timur, tindakan serupa dilakukan oleh tim gabungan TNI dan kejaksaan di Padang, Sumatera Barat (Selasa, 08/01/2019). Beberapa buku diambil oleh tim gabungan, dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme. Padahal, konten dari sejumlah buku tersebut berisikan kronik sejarah perjalanan bangsa ini, yang menjadi hak publik untuk mengetahui.
Tindakan penyapuan dan pelarangan didasarkan pada TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU No. 27/1999, tentang larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme/leninisme. Meski aturan tersebut, secara konstitusional dapat dikatakan tidak lagi sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyebarkannya dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri dalam putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, berpendapat bahwa pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum (rule of law). Tindakan itu, sama juga dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang, yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap hak milik.
Dikatakan pula oleh MK, tindakan pelarangan atau pembatasan terhadap suatu kebebasan, termasuk buku sebagai pengetahuan dan informasi, tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki adanya due process of law. Ditegaskan MK, tindakan pembatasan yang demikian, bertentangan dengan kaidah pembatasan yang diatur oleh Pasal 28J UUD 1945. Dengan pertimbangan tersebut, MK kemudian membatalkan UU No. 4/PNPS/1963, yang secara otomatis pula membubarkan tim pelarangan buku (clearing house) yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung.
Dengan demikian, segala tindakan penyapuan dan pelarangan terhadap buku-buku “kiri”, sesungguhnya telah kehilangan legitimasi dan dasar hukum, serta menyalahi prinsip-prinsip due process of law. Putusan MK di atas menghendaki setiap tindakan pelarangan, haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui suatu proses peradilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
Tegasnya, setiap tindakan pelarangan harus melalui suatu proses penegakan hukum, untuk menentukan ada tidaknya unsur pelanggaran hukum di dalamnya. Artinya, tindakan penyapuan dengan alasan pengamanan, yang dilakukan oleh aparat militer, dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang melampau wewenang (abuse of power). Sebab, mengacu pada UU No. 34/2004 tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum.
Dengan sandaran pertimbangan di atas, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menolak secara keras semua bentuk penyapauan/pengamanan buku, yang dilakukan secara sewenang-wenang. Tindakan tersebut telah mengingkari prinsip-prinsip perlindungan kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi, selain juga tak-sejalan dengan prinsip due process of law. Oleh karana itu, ELSAM hendak mengingatkan kembali perihal pentingnya proses pengungkapan kebenaran dan penyelesaian tuntas atas berbagai dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Publik memiliki hak untuk tahu (right to know), atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, sehingga mendapatkan narasi sejarah bangsa yang lebih berimbang. Situasi hari ini memperlihatkan, kita masih terbelenggu dengan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, khususnya dalam konteks komunisme/marxisme, yang kerap digunakan sebagai instrumen politik elektoral, yang imbasnya justru menciderai jaminan kebebasan warga negara.
Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, harus secara konsisten menjalankan mandat konstitusi dan undang-undang, termasuk dalam melakukan tindakan perampasan terhadap kebebasan, yang terlebih dahulu harus melalui sistem peradilan (due process of law).
Lanjutkan proses reformasi militer, untuk membangun institusi dan personel militer yang profesional, sebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR No. 7/MPR/2000, Pasal 30 UUD 1945, maupun UU TNI sendiri. Termasuk memperkuat kontrol sipil demokratis terhadap militer, sebagai aplikasi dari prinsip supremasi sipil dan demokrasi.
Oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman