Artikel ini ditulis oleh, Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik.
Cita-cita besar Presiden Prabowo sekaligus merupakan cita cita yang paling berat untuk dapat direalisasikan adalah swasembada energi yang antara lain bertujuan menekan impor Bahan Bakar Minyak.
Karena impor BBM kita sudah luar biasa besarnya. Bukan hanya minyak mentah yang diimpor, namun juga produk jadi yakni BBM dan Produk Petrochemical juga yang bisa dihasilkan dari Kilang dalam negeri.
Menurut data BPS ,10 komoditas impor terbesar Indonesia, 3 barang impor paling besar adalah impor bahan bakar Refined Petroleum: 23,2 miliar Dolar AS, Crude Petroleum: 10,1 miliar Dolar AS dan Petroleum Gas: 4,92 miliar Dolar AS atau mencapai Rp 620 triliun-Rp 650 triliun.
Pahitnya lagi impor produk BBM adalah bagian besar dari impor minyak Indonesia, yakni 66,6 persen dari total impor minyak Indonesia. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat usaha paling besar yang dilakukan dalam satu dekade terakhir adalah untuk membangun refinery dan peremajan refinery yang ada untuk pengolahan minyak mentah.
Lalu mengapa impor BBM yang paling besar? Bukan impor crude oil atau minyak mentah? Ini adalah sebuah pertanyaan besar bagi Kementerian ESDM dan Pertamina.
Karena ekspansi pembangunan kilang yang dilakukan Pertamina melalui sub holding Pertamina yaitu PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah mematok belanja modal sangat sebesar sejumlah USD24 miliar pada tahun 2024-2030 untuk meningkatkan kapasitas pengilangan menjadi 1,4 juta barel setara minyak per hari (mmboed) (2023: 1,05 mmboed) dan kapasitas petrokimia sebesar 4,5x menjadi 7,5 juta ton per tahun (mtpa).
Usaha mencari pinjaman telah menghasilkan belanja modal lebih dari USD12 miliar, dan tidak termasuk Grassroot Tuban (GRR Tuban; proyek USD25 miliar).
Sekitar 50% belanja modal KPI dianggarkan untuk proyek GRR Tuban, yang berencana memproduksi 216,000boed produk bahan bakar dan 4mtpa produk petrokimia.
PT. KPI memegang 55% saham GRR Tuban dan sisanya dimiliki oleh anak perusahaan Rosneft Oil Company di Singapura. KPI menargetkan keputusan investasi akhir (FID) untuk proyek tersebut pada tahun 2024 dan konstruksi selesai pada tahun 2028.
Namun ketidakpastian terkait kontribusi modal pemegang saham dan konfigurasi proyek karena percepatan rencana transisi energi berpotensi mengakibatkan penundaan pada proyek tersebut.
Walaupun tertunda namun utang jalan terus. Berbagai pinjaman telah diperoleh KPI dalam proyek terbesar Tuban yang tertunda. KPI telah memperoleh pinjaman pemegang saham sebesar USD3,6 miliar.
Tahun lalu juga KPI memperoleh utang luar negeri pertamanya sebesar USD 3,1 miliar dalam bentuk pinjaman pembiayaan proyek pada tahun 2023, dengan jangka waktu 14 tahun dan amortisasi yang dimulai pada pertengahan tahun 2025, untuk proyek RDMP Balikpapan yang mengalami kemunduran penyelesaian.
Sub holding PT. KPI telah membuat perusahaan berhutang lebih dari 100 triliun dalam waktu singkat.
Adapun arus kas operasi PT KPI tidak akan cukup untuk menutupi rencana belanja modal yang besar, dan PT KPI harus bergantung pada pinjaman baru lagi.
Alasan Likuiditas yang lemah membuat PT. KPI terus mengejar pinjaman bank. PT KPI telah menandatangani fasilitas bank untuk menarik pinjaman baru sebesar lebih dari USD1 miliar yang jatuh tempo lebih dari satu tahun dan USD2,3 miliar dalam jumlah yang belum digunakan berdasarkan fasilitas pinjaman pemegang saham, pada akhir tahun 2023.
Dilaporkan juga bahwa PT. KPI memiliki akses terhadap fasilitas notional pooling di tingkat grup Pertamina, yang mencapai USD1,3 miliar pada akhir tahun 2023. PT KPI lebih sibuk mengambil utang, membuat proyek, dibandingkan mengejar produksi dan laba.
Pahit memang kenyataan belanja modal Pertamina PT. KPI yang sangat besar, tapi hasilnya tidak ada alias rencana mengurangi impor BBM mangkrak atau tidak berjalan.
Demikian juga utang besar yang dibuat Pertamina KPI ternyata membuat Kilang Tuban terancam mangkrak. Padahal menteri ESDM beberapa lembaga negara terkait telah turun tangan langsung dalam proyek ini sejak awal.
Presiden Prabowo tentu sangat bersedih mendengar ini. Karena Swasembada energi akan menjadi kunci apakah Indonesia bisa tahan atas gejolak internasional, dan kondisi geopolitik terkait pertarungan dalam isue energi.
Karena beliau sudah mengatakan tekadnya untuk swasembada maka semua pihak kementerian dan lembaga hendaklah fokus pada tujuan tersebut, jangan membuat rencana kilang berantakan hanya karena senang impor BBM yang menghasilkan kenikmatan bagi orang orang tertentu.
[***]