Oleh Calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo
KEMBALI lagi saya berhadapan dengan realita yang ada di Indonesia, bahwa masih banyak orang yang belum mengerti apa arti pelecehan seksual. Sebelumnya, karena tidak ada foto dan tidak menyebutkan nama, maka dengan mudah yang bersangkutan menyatakan tidak ditujukan kepada satu orang secara spesifik.
Oke. Kita fokus pada Visi, Misi, Program. Persoalan yang kita hadapi di Tangerang Selatan masih banyak dan kita tidak perlu habiskan tenaga di persoalan itu, saat apa yang dialami perempuan-perempuan di seluruh Indonesia jauh lebih parah.
Kali ini, kawan saya men-tag saya di twitter dan menunjukkan adanya lagi upaya tindakan seorang laki-laki mendiskreditkan saya dengan cara mengobjektifikasi saya sebagai seorang perempuan dengan mengunduh foto saya yang dia screencapturekan dari akun instagram saya.
Foto ini bukan sembarang foto, karena foto ini menunjukkan momen yang sangat berharga bagi saya (dan banyak perempuan lain). Foto ini juga bukan foto yang mudah didapatkan.
Saya jelaskan. Foto yang beliau tampilkan adalah foto yang diambil oleh suami saya saat saya hamil anak saya yang PERTAMA, lebih dari 5 tahun lalu. Kenapa tidak mudah didapatkan? Karena memang foto tersebut saya unggah saat foto itu diabadikan, yaitu, sekali lagi, lebih dari 5 tahun lalu.
Nah. Foto hanya sekedar foto. Tapi, yang bersangkutan, sang pengunggah, menulis “Yang mau coblos udelnya silahkan..”
Foto “Maternity” yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan dan kebanggaan, sebagai ungkapan syukur kami sebagai calon orang tua saat itu atas berkat yang Tuhan berikan kepada kami, dijadikan alat serangan yang mempertanyakan kelayakan saya sebagai seorang pemimpin.
Kehamilan adalah kodrat perempuan, berkat yang belum tentu semua perempuan bisa rasakan. Kehamilan adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada manusia untuk meneruskan kehidupan di dunia ini. Tanpa perempuan bisa hamil, tidak ada anak, maupun keturunan.
Jika berkat ini bisa digunakan untuk melecehkan seorang perempuan, ibu, dan calon pemimpin daerah, maka apakah contoh ini yang kita berikan kepada generasi berikutnya? Apakah beliau yang memuat itu nyaman jika ibundanya diperlakukan demikian oleh siapa pun?
Terlepas keyakinan pribadi masing-masing dan cara pandang kita tentang cara berbusana yang layak, kata-kata yang digunakan jelas bentuk pelecehan dan ini tidak bisa ditolerir sama sekali.
Ya, awalnya saya sedih. Sedih karena perjuangan perempuan untuk bisa berjuang tanpa dikaitkan dengan urusan pribadinya masih jauh. Lebih sedih lagi karena masih saja ada tokoh yang menjustifikasi kelakuan sang pengunggah.
“Wajar… ketika dalam politik, menjadi tokoh publik, urusan pribadi jadi santapan… netizen…” Jangan lebay juga… apalagi dipasang dimedsos berarti memang diumbar untuk publik… bukan begitu?” Itu biasa terjadi pada orang-orang yang menjadi tokoh publik.. kenapa marah?” ‘Ya, dulu jangan posting di medsos kalo ga mau jadi sasaran netizen… kalo mau jadi tokoh publik… segera hapus dulu semua hal hal yang bisa dijadikan omongan publik… Walaupun itu kejadian 100 tahun lalu… jadi ga juga main ‘being victim’ karena ulah sendiri… smart sedikit lah”
“Jangan jangan settingan kayak artis artis naikin popularitas..”
Hmmm…, walau awalnya saya tidak mau menanggapi, akhirnya saya jawab demikian: “Maaf pak saya ga ngerti dan ga suka yang namanya pencitraan… hapus menghapus hanya demi terpilih. Saya konsisten 1 hal.. jika sudah bicara pelecehan seksual saya akan tegas. Kalau kemarin tidak menggunggah foto dan tidak menyebut nama.
Kali ini ada nama dan ada foto.. apalagi moment kehamilan dari 5 tahun lalu. Berarti foto itu memang dicari. Dan betul dari 100 tahun lalu pun bisa digunakan. Saya ga masalah. Tapi kalau sudah dengan bahasa yang melecehkan tubuh seorang ibu, saya berani tegas melawan.
Dan tenang pak ini ga menguras tenaga. Ini justru memberikan saya kepastian bahwa masih banyak orang yang punya pemikiran dangkal dan memaksakan cara pandangnya pada orang lain. Kalaupun saya kehilangan pendukung untuk prinsip yang saya yakini saya rela.”
Tapi, selain rasa sedih, ada juga rasa bersyukur. Karena walaupun ada pihak-pihak yang masih saja membenarkan apa yang dilakukan sang pelaku pelecehan seksual, ada juga perempuan-perempuan yang siap berdiri di samping saya memberikan dukungan moril dan suara.
Menantang kekuatan status quo yang melazimkan pelecehan seksual di ruang publik, bahkan saat empatinya direndahkan dengan disuruh “hamil dulu” oleh tokoh yang ditantangnya.
Bahkan lebih dari itu, hadir juga sosok-sosok laki-laki yang menyuarakan keadilan. Ada yang mengatakan: “Yang lebay itu yang posting dan membenarkan tindakan itu… gimana kalau hal tersebut terjadi pada istri atau saudara kita..”
Ada juga yang menyuarakan: “Nggak usah salahin org mau upload apa di medsos. Yg salah itu kepoin dan mengatakan settingan dan merekayasa. apalagi moment politik begini.”
Bapak-bapak ini menunjukkan semangat #HeForShe yang disuarakan oleh PBB dan negara-negara G7. #HeForShe adalah gerakan yang diharapkan dapat disuarakan oleh para pemimpin terutama para pemimpin laki-laki dari seluruh dunia untuk lebih banyaknya lagi laki-laki yang siap memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender di komunitasnya masing-masing.
Laki-laki #HeForShe mengingat bahwa mereka dilahirkan dari rahim seorang ibu. Laki-laki #HeForShe sadar bahwa perempuan adalah ciptaan Tuhan yang hadir di dunia ini sebagai manusia yang sama derajatnya dan haknya seperti mereka.
Dan lebih lagi, laki-laki #HeForShe juga mengerti bahwa ibu yang tangguh dan cerdas, pasti akan membesarkan generasi yang berkualitas.
Sudah saatnya kita menyatakan cukup terhadap upaya mengobjektifikasi perempuan dan pemaksaan pandangan pada orang lain dengan cara pelecehan seksual.