BISMILLAH. Bang Rizal yang kami hormati. Kalau Bang Rizal saja sudah merasa malu, apalagi kami adik-adikmu yang sudah lebih dari 20 (dua puluh) tahun mengabdi sebagai dosen di ITB.
Masalah menurunnya capaian peringkat universitas salah satunya adalah asbab kinerja riset dosen ITB. Abang cobalah membayangkan ketika 5 (lima) tahun yang lalu umumnya dana riset yang diberikan kepada dosen di Malaysia dan Thailand adalah berada pada kisaran angka 500 (lima ratus) juta per judul.
Sementara itu dosen di Indonesia pada umumnya mendapat sekitar 50 (lima puluh) hingga 100 (seratus) juta saja per-judul. Betapa jauh nian bedanya resources yang diberikan negara kepada dosen-dosen di Indonesia.
Di sisi lain kalau pun belum berhasil mendapatkan dana riset, kami tetap berusaha meneliti dengan biaya sendiri. Bahkan beberapa mahasiswa tugas akhir pun kami bantu biayai, karena tidak semua memiliki dana sendiri dalam menjalankan riset untuk Tugas Akhir.
Kendati demikian, dedikasi semacam ini pun belumlah memadai karena tuntutan terhadap kinerja Dosen ITB adalah juga meliputi publikasi nasional dan internasional setiap semesternya. Jika tidak terpenuhi dapat berdampak langsung kepada tunjangan kinerja yang bersangkutan.
Manakala Bang Rizal malu atas kelakuan para alumni, buat kami itu urusan oknum alumnus atau alumni itu sendiri. Mereka bebas berkata apa saja mengenai kampusnya. Mau memfitnah atau menjelek jelekan Majelis Wali Amanah terpilih pun, adalah tanggung jawab mereka sendiri.
Terlebih berkenaan dengan mencuatnya pemberitaan tentang kritik yang berulang terhadap salah satu anggota MWA (yang notabene merupakan undangan menjadi anggota MWA, karena beliau memiliki reputasi mumpuni secara nasional mau pun internasional). Beliau dituduh dengan nada keki sebagai sosok yang radikal.
Walau pun begitu keadaan ini menjadikan kami tergelitik dan tergerak untuk bersegera mengamati aturan yang berlaku untuk MWA.
Problem Utama: Aturan MWA
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lembaga MWA memiliki tugas dan tanggung jawab serta peraturan untuk menjalankan organisasinya. Tercantum pada Peraturan Majelis Wali Amanat no 001/P/I1/-MWA/2014, tentang Tata Tertib Majelis Wali Amanah.
Sayangnya tata tertib ini tidak mencantumkan sanksi jika pimpinan MWA dan anggotanya melakukan tindakan yang bertentangan nilai nilai dan kode etik ITB.
Mungkin pada waktu membuat peraturan, sebagian besar pinisepuh ITB berkeyakinan bahwa orang yang terpilih di MWA adalah orang yang bijak dan mengerti betul tugas dan tanggung jawabnya.
Artinya mereka dianggap sudah layaknya dewa, tidak boleh dipersalahkan, tidak perlu diancam dengan hukuman jika menyimpang dari tugas dan kewajibannya. Mereka sudah dianggap dewa sa.
Aturan MWA ini hanya mencantumkan anggota MWA dapat diberhentikan salah satunya oleh permintaan institusi atau unsur yang memilihnya. Tapi tidak ada klausul bahwa jika mereka melanggar tugas dan kewajibannya akan diberi sangsi.
Semestinya tidak boleh ada ruang sedikit pun yang memungkinkan seseorang pada level anggota MWA masih bermain kotor atau tidak objektif. Karena jika itu sampai terjadi, maka mukanya sendiri lah yang akan tercoreng.
Namun Bang Rizal, anggapan positif semacam itu ternyata tidak selalu benar karena pada kenyataannya ada saja anggota MWA yang tidak mengerti akan posisinya yang mengemban nilai-nilai luhur itu.
Problem Kedua: Tindakan MWA Mencoret 10 Calon Rektor Tanpa Sebab
Mengenai wewenang MWA melakukan seleksi atas bakal calon rektor ITB ternyata berakhir pada pertanyaan besar yang sampai saat ini belum terjawab.
Kasus pencoretan 10 (sepuluh)-an lebih calon rektor dengan alasan bahwa mereka teridentifikasi radikal oleh Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi isu yang hangat waktu itu. Namun akhirnya MWA sebagai lembaga tertinggi di ITB gagal menunjukkan surat pernyataan dari BIN tersebut.
Kesalahan justifikasi ini juga tidak serta merta diperbaiki. Bahkan MWA merasa tidak bersalah dan meneruskan pemilihan rektor tanpa penjelasan yang memuaskan.
Sejumlah pernyataan protes sudah masuk ke kantor senat, namun entah bagaimana kasus serius ini tidak pernah ada kelanjutannya.
Sementara banyak sivitas akademika ITB hanya plonga plongo tidak punya kuasa mengubah apapun.
Jikalau kasus ini tidak diselesaikan dengan diikuti langkah perbaikan aturan Majelis Wali Amanah ITB tentang tata tertib, maka niscaya akan tetap tercatat sebagai sejarah kelam ITB di era demokrasi.
Aturan pemilihan rektor yang memberi wewenang terlalu besar kepada Menteri Pendidikan dalam menentukan seorang rektor di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) juga menjadi indikasi jelas bahkan tendensius bahwa sejak dulu pemilihan rektor akan banyak ditentukan preferensi politik ketimbang pertimbangan rasional kompetensi dan popularitas calon dikampus.
Persoalan Ketiga: Harmonisasi Suara Oknum Alumni dengan Ketua MWA
Hal paling krusial adalah butir inti permintaan mundurnya Prof. Dr. Din Syamsuddin oleh sekelompok oknum alumni ITB karena dinilai radikal.
Bagi kami, ketika menilai tokoh sekelas beliau di tuduh radikal, hal itu sama saja dengan melecehkan eksistensi Senat Akademik ITB sebagai lembaga yang secara hukum diberi wewenang memilih anggota MWA ITB.
Prof. Dr. Din Syamsuddin diundang menjadi anggota MWA tentu setelah melalui pertimbangan matang dari Senat Akademik ITB atas dasar prestasi dan kredibilitas beliau sebagai tokoh nasional yang bereputasi internasional.
Tulisan Dr. Rizal Ramli mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan RI serta Dr. Syahganda Nainggolan, yang juga keduanya adalah alumni ITB alih-alih memberikan kritik serupa dengan kelompok alumni di atas, malahan menyampaikan apresiasi atas reputasi Prof. Din Syamsuddin.
Sangat berlawanan dengan imbauan oknum alumni ITB yang menamakan dirinya sebagai Kelompok Alumni ITB Anti Radikalisme.
Hal yang menarik untuk dicermati adalah, entah mengapa tiba-tiba beberapa waktu lalu Ketua MWA mengumumkan bahwa Prof. Din Syamsuddin berencana mengundurkan diri. Disusul kemudian munculnya kembali tuntutan turunnya Prof. Din Syamsuddin dari MWA ITB oleh kelompok kecil oknum alumni ITB tersebut.
Tercium aroma harmonisasi antara oknum alumni ITB dengan suara Ketua MWA tersebut. Sejauh pengetahuan kami tidak pernah terjadi sebelumnya orang yang diundang menjadi anggota MWA oleh senat akademik ITB mengundurkan diri.
Akan banyak dari warga ITB tentu bertanya tanya, ada apalagi dengan MWA ITB?
Masalah kinerja MWA yang buruk ini semestinya menjadi introspeksi bagi Ketua MWA dan organisasinya untuk mentransformasi diri dan memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi. Atau lebih baik mengundurkan diri secara terhormat.
Bang Rizal, kami sejatinya ya malu hati juga menuliskan aib rekan-rekan sendiri. Namun apa boleh buat daripada kami menjadi lebih malu lagi jika gagal menyampaikan pada masyarakat bahwa ini hanya ulah sekelompok kecil dan teramat ‘mungil‘ dari warga ITB yang sudah tidak ada di dalam kampus lagi.
Bahkan sebagian besar alumni yang lain juga tidak suka dengan gerakan yang seolah-olah melawan radikalisme tapi dengan cara-cara radikal.
Jika keadaan ini abai untuk diperbaiki, maka mengandung makna bahwa ITB sekarang hanya sekadar menjalankan fungsi administratif semata tanpa ada lagi nilai-nilai luhur yang diperjuangkan.
Oleh Sonny Suhandono, Ph.D, Staf Pengajar ITB