SURAT KEBANGSAAN AKTIVIS 98
TENTANG PILKADA DKI JAKARTA 2017
Jakarta, Senin 29 Agustus 2016
Kepada Yang Tercinta
Ibu Bangsa Megawati Soekarnoputeri
di tempat
Assalamualaikum Wr.Wb.
Apa kabar Ibu? Semoga Ibu dalam keadaan sehat wal afiat selalu, berkecukupan dalam usia panjang anugerah Illahi, dan semakin matang dalam kebijaksanaan untuk bisa terus memandu arah gerak perjalanan bangsa ini, agar sesuai cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Amiiiin.
Ibu, sebelum kita masuk pada inti surat ini, ada satu-dua pengantar dan perspektif yang ingin kami sampaikan. Begini ibu, sesungguhnya diantara kita, diantara ibu dan kami, punya sebuah slot memori milik bersama yang tersimpan indah. Semoga saja, sebagaimana kami menyimpannya dengan rapi, ibu pun juga masih menyimpan memori itu, di sebuah laci merah-putih, di gudang memori sejarah kehidupan ibu. Slot memori yang kami maksud adalah momen-momen ketika hampir dua dekade yang lalu, tepatnya saat Gerakan Reformasi 98 bergemuruh dan bergulir, kami menemui ibu di kediaman ibu, yang kemudian berujung pada Deklarasi Ciganjur 1998.
Selain itu diantara kami, yang membawa surat ini ke hadapan ibu, jauh sebelum Deklarasi Ciganjur 1998 itu bergulir, sebenarnya berada di garis perjuangan yang sama bersama ibu, ketika ibu dan kita semua menghadapi refresifitas yang kuat dari pemerintahan orde baru yang berujung pada Peristiwa 27 Juli 1996. Dengan begitu sesungguhnya di antara kita, diantara ibu dan kami, meskipun mungkin jauh di mata, namun sesungguhnya dekat di hati, karena memang terdapat memori-memori kecil yang sama diantara kita tentang sebuah momen.
Oh ya ibu, meskipun secara fisik tidak terlihat, karena kami membawanya di dalam hati kami, sesungguhnya masing-masing kami yang mendatangi ibu dan membawa surat ini, juga membawa sekuntum bunga beraneka warna, beraneka rupa, dan beraneka nama dari seluruh pelosok negeri untuk dipersembahkan kepada ibu. Tiap-tiap kami, di dalam hatinya, ada yang membawa bunga anggrek hitam, bunga ros merah yang sedang menguncup, anggrek bulan, si putih-suci melati dengan harumnya yang segar itu, si raksasa raflesia arnoldi dari Bengkulu, bunga dahlia, flamboyan, bunga matahari, bunga kamboja yang tumbuh di kuburan dekat rumah teman kami, bunga bakung, dan beragam bunga liar dari pelosok negeri yang melambangkan sebuah daya hidup nan estetik. Semoga ibu bisa menerima bunga-bunga yang kami bawa di dalam hati kami ini untuk Ibu Megawati tercinta.
Mengapa selain mengantar surat kebangsaan ini, kami pun membawa bunga di dalam hati kami untuk dipersembahkan kepada ibu? Karena kami yakin, bunga adalah perlambang spiritualitas. Dan inti dari spiritualitas adalah cinta. Ya, cinta yang berasal dari Sang Maha Cinta. Sebagaimana sempat disinggung oleh Ibu bangsa pertama kita, yang telah lama meninggalkan kita, RA Kartini. Lewat suratnya tertanggal 15 Agustus 1902 kepada seorang Belanda, Abendanon, yang memiliki kepedulian pada nasib Indonesia yang dijajah bangsa Belanda, ibu bangsa pertama kita itu menyingung sosok ibunya, Ngasirah, yang memberinya begitu banyak bertangkai –tangkai bunga di hati:
“Ada seorang perempuan tua di sini dari mana saya memperoleh bertangkai-tangkai kembang di hati. Ia telah memberi begitu banyak, dan masih banyak lagi yang tersedia untuk diberikan, dan yang kuinginkan pun bertambah. Ibu itu bersedia, tapi aku harus memperoleh khazanahnya dengan ikhtiar, aku harus membeli kembangnya—kenapa? Kenapa aku harus membayar?
Dengan khidmat kata-kata berbunyi dari bibirnya: Berpuasalah sehari dan semalam, dan lewatkan waktu itu dengan bangun dan bersendiriâ€
Ibu Megawati yang kami hormati, sekarang kita masuk pada pembicaraan tentang DKI Jakarta. Sebagai Ibukota, sejatinya DKI Jakarta tak sekedar wajah terdepan atau halaman muka keindonesiaan di mata negara-negara lain di dunia. Namun berbicara DKI Jakarta juga harus berbicara pada hal-hal yang bersifat “kedalamanâ€, pada mana proyek ideologis untuk terus “mengindonesia†secara berkualitas, sesuai amanat cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, diujicobakan, dipraktekkan dan dipertaruhkan lewat proses-proses politik di tubuh Ibu Kota.
Ibarat buku bermutu, ibu, DKI Jakarta seharusnya bukan semata cover buku yang menawan. Namun juga isi dari jilid buku yang harus selalu menggairahkan dan menginspirasi untuk dibaca, tentang perjuangan sejati warganya untuk terus-menerus mengindonesia. Lebih dari pada itu, ibu, sebenarnya tak cuma harus menggairahkan untuk dibaca, melainkan menggairahkan pula untuk ditulis revisinya oleh rakyat Jakarta sendiri, jika memang harus direvisi. Agar bisa dipastikan tidak bergerak ke arah yang melenceng, melainkan tetap bergerak progresif menjadi kota yang majemuk, beradab, berkeadilan sosial, berkesejahteraan, dan tentunya modern, dengan tetap berakar pada nilai-nilai luhur milik bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
Dan ibarat tubuh, DKI Jakarta sesungguhnya merupakan tempat dimana jantung kekuasaan Indonesia berada. Tempat dimana darah bernama keadilan sosial harus dipastikan dipompa ke sekujur tubuh secara merata. Tak boleh ada satu pun sudut-sudut tubuh yang tak kebagian darah justru di saat sudut-sudut tubuh yang lain malah kelebihan aliran darah.
Tentu ibu paham, bahwa seperti halnya kota-kota lain di Indonesia maupun di dunia, yang memiliki cerita dan sejarahnya sendiri. Demikian juga Jakarta, dengan sejarah khasnya nan panjang, yang membentang nun jauh sebelum kolonialisme bercokol di bumi Nusantara, sejak masa-masa pra-Batavia, terus merembet ke jaman pergerakan nasional, jelang dan pasca proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dwi tunggal Sukarno-Hatta, sampai di masa kini jelang dua dekade terakhir pasca era Gerakan Reformasi 98.
Sebagai kota romantik, Jakarta terus bergerak menjadi kota besar yang dinamik dalam lintasan lini masa, harus menerima takdirnya sejak sebermula sebagai kota yang menjadi melting pot dari kemajemukan manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Seperti halnya yang ibu juga mengetahui, bahwa ketika Indonesia merdeka, para pendiri bangsa, terutama Bung Karno, menunjukkan komitmennya yang sangat kuat pada Jakarta. Di masa Bung Karno, terhadap kota Jakarta dilakukanlah dekonstruksi besar-besaran atas watak dan anasir-anasir kolonial yang masih melekat di masa itu.
Perlahan tapi pasti, di masa Bung Karno itu, dimulailah penataan dan pembangunan kota Jakarta menjadi kota yang modern dan reseptif, dimana tetap mempertahankan bangunan-bangunan peninggalan jaman kolonial, namun anasir-anasir dan perspektif sejarah dan mentalitas kolonial yang melekat pada kota Jakarta sebelumnya, dipreteli satu demi satu, digantikan dengan yang lebih berperspektif nasional keindonesiaan.
Pada masa itu berlangsunglah gemuruh revolusi mental yang sejati untuk beranjak dari mentalitas kolonial menuju mentalitas nasional, menuju kepribadian Indonesia yang sejati, yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa kita. Ya, gemuruh revolusi mental sejati pasca proklamasi sesungguhnya bermula dari Jakarta, di Ibu Kota Negara, di masa Bung Karno!
Bukankah dahulunya di era Batavia, nama jalan kediaman ibu saat ini bernama Jalan van Heutzs, yang kemudian lewat semangat dekonstruksi ala Bung Karno dan Bapak Pendiri Bangsa yang lain, dirubah menjadi kawasan yang bernama Jalan Teuku Umar dan Jalan Cut Meutia, sebagai figur pahlawan nasional yang dengan gagah berani berhadap-hadapan langsung dalam Perang Aceh dengan tokoh kolonial Belanda yang menjabat sebagai Gubernur Militer di Aceh, Johannes Benedictus van Heutzs?
Bukankah dahulu di era Batavia, nama jalan tempat kantor pusat partai yang ibu pimpin, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bernama Jalan Orange Boulevard, yang kemudian diganti dengan nama seorang pahlawan, yang tercatat telah membuat ketar-ketir penjajah Belanda, dimana perlawanan yang diberikannya kepada para penjajah itu menguras begitu dalamnya kocek anggaran perang pemerintahan kolonial, yakni Jalan Diponegoro? Begitu juga nama Jalan Jan Pieterzoon Coen yang diganti dengan nama musuh abadinya, seorang pahlawan di pihak bangsa kita, menjadi jalan Sultan Agung.
Pasti terngiang dalam ingatan ibu, tentang bagaimana Bung Karno mendirikan bangunan-bangunan, tugu-tugu, dan patung-patung di Kota Jakarta. Seperti Hotel Indonesia, Gedung Sarinah, kawasan air mancur, Stadion Senayan, Jembatan Semanggi, Monumen Nasional (Monas), Gedung Perintis Kemerdekaan, Masjid Istiqlal, dan lain-lain. Tak terkecuali menggagas pendirian gedung DPR, yang awal pembangunannya sebenarnya mengiringi gagasan besar Bung Karno sebagai tempat pertemuan penyelenggaraan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces).
Ornamen-ornamen kota penuh makna berupa tugu-tugu, dan patung-patung yang didirikan di Jakarta oleh Bung Karno, Bukan hanya untuk menambah kesan keindahan kota belaka. Melainkan juga sebagai penanda-penanda berkarakter yang mampu bercerita tentang Kota Jakarta dengan segenap spirit yang diusungnya. Misalnya, Tugu Selamat Datang di kawasan Bundaran HI, Tugu Tani, Tugu Pancoran, Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Patung Pemuda dan lain-lain.
Ibu, rasa-rasanya menurut kami belum ada yang secemerlang Bung Karno mengidealisasikan kota Jakarta sebagai role model dari pagelaran praktik nilai-nilai keindonesia sejati pada level sebuah kota. Terpatri dalam kesadaran sejarah kami, ketika di suatu waktu Bung Karno menyeru kepada seluruh rakyat Jakarta bahwa: “Ibukota harus tahu dan turut tanggung jawab bahwa kotanya harus selalu merupakan simbol dari negara dan bangsanya yang besar, bahwa kotapraja oleh karenanya harus menjadi kota Indoktrinasi, kota Teladan, dan kota Cita-Cita.â€.
Ibu, menurut kami pun belum ada yang semolek visi pembelaan Bung Karno pada rakyat kecil Jakarta. Di pikiran Bung Karno, rakyat kecil di Jakarta harus dipastikan memiliki hak yang sama dalam menikmati proses dan hasil pembangunan kota tercintanya. Mari ibu, kita bersama-sama meresapi kembali ekspresi nostalgik yang mengharu-biru, berkadar hakekat nilai kemanusiaan tak terbantahkan dan bakal diamini seluruh pendamba keadilan negeri ini, ketika Bung Karno di tahun 1962 berpidato pada momentum perayaan ulang tahun Jakarta ke-435:
“Marilah saudara-saudara, hai saudara-saudara dari Jakarta, kita bangun kota Jakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil, megah bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit, megah bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya yang indah, megah bukan saja ia punya monumen-monumen indah, megah di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada Marhaen di kota Jakarta harus ada rasa kemegahan.â€
Setahun sebelumnya, ibu pun pasti tahu, bahwa pada ulang tahun Jakarta ke 434 di Lapangan Ikada, Bung Karno berpidato mengingatkan kepada Gubernur Jakarta saat itu, dengan seruan visioner berperspektif gerak dinamik maju depan, dan tentu ditujukan pula kepada siapapun Gubernur DKI Jakarta di era-era kemudian:
“Kau Gubernur Jakarta kenalilah sejarah Sunda Kelapa, Jayakarta sehingga bisa kau ambil buah faedahnya untuk kita bangun kota kemenangan sempurna. Itulah arti Jayakarta. Kota yang bermanfaat bagi semua. Seperti pohon kelapa pada Sunda Kelapa berguna bagi semua. Jangan kau contoh Batavia kota yang hanya megah bagi kaum uangnya, tidak bagi rakyat banyak, bahkan mereka dicurigai. Kota kemenangan sempurna megah dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada marhaen di kota Jakarta harus ada kemegahan.â€
Dan ibu, bagi kami pun belum ada yang segemilang Bung Karno, yang dengan keyakinan ideologisnya yang inspiratif, hendak menjadikan Jakarta sebagai sentral kota perjuangan terhadap kekuatan kolonialisme dan imperialisme. “Bahkan Jakartaâ€, tegas Bung Karno, “harus jadi mercusuar daripada perjuangan melawan kolonialisme seluruh umat manusia.â€. Yakni dengan membangun aliansi bersama bekas negara-negara terjajah yang antiimperialisme dan antikolonialisme, lewat proyek NEFO (New Emerging Forces).
NEFO itulah yang akan menghadapi sekaligus menjinakkan kekuatan rakus imperialisme dan kolonialisme dalam beragam bentuknya, yang disebut sebagai OLDEFO (Old Establish Force) sampai membeku. Dan ketika imperialisme dan kolonialisme mampu kita buat membeku, kemudian bersama-sama dengan warga dunia lainnya, kita akan meletakkan kolonialisme dan imperialisme itu di sudut-sudut museum sejarah kemanusiaan abadi, dengan mengenangnya sebagai sistim dan praktik antikemanusiaan massal yang tak boleh terulang, kapanpun dan dimanapun.
Ibu Megawati Soekarnoputeri yang kami sayangi. Sekarang kita masuk pada inti kedatangan surat kami ini yang berisi permohonan berperspektif kebangsaan dan kerakyatan, yang kami banyak serap dari mendiang Bung Karno dan para Bapak Pendiri Bangsa lainnya.
Begini ibu, kami Aktivis 98, yang punya untaian kenangan berjuang bersama ibu sebagaimana kami sebutkan di awal, amatlah peduli pada arah masa depan bangsa agar sesuai cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945, dan amat concern pada agenda Pilkada DKI Jakarta 2017. Terkait itu kami telah menginisiasi terbentuknya aliansi rakyat majemuk dan bersifat terbuka, bernama GERAK’S INDONESIA (Gerakan Rebut Jakarta Selamatkan Indonesia).
Diantara yang terhimpun dalam GERAK’S INDONESIA ini adalah para aktivis mahasiswa, komunitas-komunitas warga Jakarta korban penggusuran, para intelektual, tokoh masyarakat tingkat RT/RW, komunitas nelayan, aktivis kepemudaan, aktivis perempuan, kaum profesional, penggiat koperasi dan UMKM, aktivis buruh, praktisi hukum, seniman jalanan, para korban kebijakan sesat dan arogan Gubernur DKI Jakarta, dan lain-lain.
Dan terkait perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017, kami telah melakukan kajian mendalam atas arah, kebijakan, dan sepak terjang Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta pengganti Jokowi, sekaligus bacagub petahana, dalam memimpin Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Dalam kajian mendalam kami itu, kami sampai pada sebuah kesimpulan bulat, bahwa pada diri Ahok melekat problem serius yang tak bisa ditolerir lagi, alias harus dicukupkan sampai di sini. Sebab dalam perjalanannya memimpin Pemprov DKI Jakarta, Ahok telah menelikung prinsip-prinsip dan substansi cita-cita Bung Karno, yang juga sang peletak dasar arah pembangunan Kota Jakarta, sebagaimana sudah kita singgung di atas sebelumnya.
Setidaknya ada tujuh masalah serius yang berpilin-kelindan yang melekat pada diri Ahok, yang semua itu pun menjadi alasan kuat kami untuk menyimpulkan, bahwa Ahok benar-benar tidak layak untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Yakni:
1. Ahok anti wong cilik dan kaum marhaen.
2. Ahok membangun oligarki kekuasaan yang berbahaya bagi masa depan rakyat Jakarta ke depan.
3. Ahok terseret kasus-kasus korupsi berskala besar.
4. Ahok pemimpin yang inkonsisten sekaligus plin-plan.
5. Ahok tidak menjadikan kepentingan nasional (nasional interest) sebagai agenda utama.
6. Ahok berpotensi menyulut konflik sosial pribumi dan nonpribumi
7. Ahok rajin menggunakan kekuasaannya untuk melanggar ketentuan hukum yang ada.
Kami akan uraikan satu-persatu problem yang melekat pada diri Ahok itu kepada Ibu, meski secara singkat-singkat saja, sebab jika terperinci akan semakin menambah panjang surat ini.
Pertama, Ahok anti wong cilik dan kaum marhaen itu adalah fakta. Sejak Ahok menggantikan Jokowi sebagai Gubernur, penggusuran membabi-buta dan tak berperikemanusiaan yang menyasar wong cilik dan kaum marhaen terus dilakukan oleh “gubernur isi ulang†Ahok. Dan ibu bisa langsung mengkonfirmasi derita para korban penggusuran sang gubernur isi ulang itu, karena bersama kami pun berjajar deretan panjang nama-nama para korban penggusuran Ahok yang menuntut keadilan serta muak pada kebijakan sang gubernur isi ulang itu.
Kedua, Ahok membangun oligarki kekuasaan yang berbahaya bagi masa depan rakyat Jakarta. Dalam konteks ini, kebijakan-kebijakan yang dibuat Ahok selama ini didominasi oleh agenda-agenda para penguasa modal raksasa yang cuma peduli pada keuntungan sebesar-besarnya dan pada akumulasi modal seakumulatif-akumulatifnya, namun tak menganggap penting keberadaan rakyat kecil. Lihat saja, teman-teman strategis di lingkaran Ahok di kantornya, di Balai Kota, adalah orang-orang yang menjadi titipan para taipan yang rakus pada penguasaan aset dan kapital di tengah samudera kemiskinan, lewat kamuflase seakan-akan orang-orang titipan itu adalah “para pekerja magangâ€, sebagaimana terungkap pada kasus Sunni.
Di sini Ahoklah yang telah melapangkan jalan bagi terbentuknya oligarki kekuasaan kaum modal para taipan itu di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Mereka bukan saja merangsek masuk, namun juga menempel langsung di jantung pengambil keputusan di Balai Kota, dalam rangka mendorong dan mempengaruhi secara dominan perwujudan gagasan-gagasan dan orientasi-orientasi keuntungan sepihak dari kaum modal terkait masa depan Kota Jakarta, agar sesuai dengan keinginan, selera, hasrat, ukuran, dan gaya hidup kaum modal dan orang-orang kaya saja.
Ibu Megawati yang bijaksana, bukankah sangat berbahaya ketika arah panduan pembangunan Jakarta terus-menerus berasal dari hasrat-hasrat dan selera-selera dari orang-orang kaya yang hendak mencari keuntungan semata. Sementara keinginan-keinginan dan harapan-harapan wong cilik dan kaum marhaen terhadap kota Jakarta tidak didengar, bahkan disingkirkan.
Ketiga, Ahok terseret kasus-kasus korupsi berskala besar. Diantaranya, kasus korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, kasus reklamasi, dan kasus pembelian tanah di daerah Jakarta Barat oleh Pemprov DKI Jakarta. Meski Ahok belum tersangka, namun dari fakta-fakta yang ada dan mencuat sebenarnya mengindikasikan keterlibatan kuat Ahok pada pusaran kasus-kasus korupsi itu. Dan jika pun Ahok belum jadi tersangka, publik Jakarta merasakan kesan adanya perlindungan politik yang luar biasa dari kekuatan tertentu terhadap Ahok.
Keempat, Ahok pemimpin yang inkonsisten sekaligus plin-plan. Contoh faktual, simak saja rencana pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok awalnya bilang mau maju lagi sebagai gubernur tidak melalui parpol, melainkan lewat jalur perseorangan, sambil ia mengembangkan wacana deparpolisasi dan menjelek-jelekkan parpol. Eh, tidak tahunya, ia telah menjilat ludahnya sendiri dengan maju lewat jalur parpol.
Dia sesumbar relawan yang mendukungnya adalah orang-orang tulus dan tidak dibayar. Eh, tidak tahunya relawannya adalah karyawan bayaran yang bertindak sebagai event organizer bagi pencalonannya. Bandingkan juga tuntutan Ahok beberapa tahun lalu dan saat sekarang ini soal cuti-tidak cutinya seorang gubernur petahana, yang menunjukkan inkonsistensi dirinya. Dan banyak lagi deretan panjang inkonsistensi dan keplin-planan seorang Ahok. Jadi ibu, jika ada yang menyebut Ahok sebagai pemimpin tegas, itu keliru besar. Yang tepat adalah Ahok pemimpin inkonsisten dan plin-plan dalam balutan watak congkaknya yang menjijikan!
Kelima, Ahok tidak menjadikan kepentingan nasional (nasional interest) sebagai agenda utama dalam menjalankan roda Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Dalam konteks ini bisa dipastikan Ahok berada di luar arus utama pemikiran yang dirintis oleh Bung Karno dan para Bapak pendiri Bangsa lainnya. Ahok tampaknya rabun tentang apa itu kepentingan nasional, dan apa yang harus diperbuat oleh Pemprov DKI Jakarta dalam konteks agenda-agenda kepentingan nasional itu.
Ahok agaknya lebih paham tentang apa itu kepentingan kaum modal dan apa yang harus dilakukan untuk mengamankannya. Buktinya, dia lebih suka main gusur semena-mena terhadap rakyat kecil, yang mana hal itu menunjukkan seiramanya Ahok dengan keinginan kaum modal. Buktinya, Ahok seenaknya saja memberikan ijin reklamasi yang merugikan para nelayan, cuma menguntungkan para kaum modal besar, serta sangat merusak lingkungan.
Keenam, Ahok berpotensi menyulut konflik sosial pribumi dan nonpribumi. Kekhawatiran ini ternyata bukan saja disuarakan oleh kelompok pribumi nasionalis atas sikap Ahok yang notabene menyandang double minority namun selalu menunjukkan sikapnya yang arogan. Tokoh budayawan Indonesia keturunan Tionghoa, Jaya Suprana, juga sudah lama mengingatkan, agar Ahok menghentikan sikapnya mempertontonkan kearoganan dirinya, yang mampu menyulut api dalam sekam, dalam bentuk kerusuhan anti masyarakat Tionghoa, sebagaimana yang pernah terjadi dalam beberapa episode sejarah kelam Indonesia.
Ketujuh, Ahok rajin menggunakan kekuasaannya melanggar ketentuan hukum yang ada. Kasus-kasus korupsi besar yang menyeret-nyeret nama Ahok, sesungguhnya tak bisa dilepaskan dengan penggunaan kekuasaan yang dimiliki Ahok dalam menabrak aturan main yang berlaku. Seperti yang kental dalam kasus reklamasi, RSSW, rotasi dan penggeseran banyak pejabat birokrasi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, dan lain-lain.
Dari hasil kajian mendalam dan panjang kami itu, yang menjadi alasan bahwa Ahok memang tidak layak lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022, baik lewat tinjauan ilmiah maupun tinjauan ideologis kerakyatan, maka dengan penuh hormat kami memohon kepada ibu untuk:
– Menolak Ahok menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pilkada 2017
Demikianlah ibu, surat kebangsaan dari kami yang ditulis dengan segenap cinta. Surat yang mewakili kerinduan kami pada memori-memori kecil yang pernah ibu dan kami, Aktivis 98, torehkan bersama di masa-masa silam. Juga berisi permohonan kami kepada Ibu terkait sikap yang harus ibu putuskan pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Semoga di lain waktu kita bisa berkomunikasi lagi, ibu, dengan seakrab-akrabnya dan seceria-cerianya, setidaknya meminjam istilah Sutan Takdir Alisyabana, “bertukar tangkap dengan lepasâ€. Dan yakinlah ibu, bahwa kami sesungguhnya adalah bagian dari para pendamba, penghayat, dan pengamal jalan menuju cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagaimana digariskan oleh Bung Karno dan Bapak Pendiri Bangsa lainnya.
Wabillahi taufik wal hidayah. Wassalamualaikum Wr.Wb.
Merdeka!
Merdeka!!
Merdeka Buat Selama-lamanya!!!
Hormat Kami
(Aktivis 98)
Didukung oleh:
KIAT 98, PEMUDA & MAHASISWA JAYAKARTA, KALIJODO BERGERAK, PAGUYUBAN EMPANG BERSATU KAPUK MUARA, IKATAN REMAJA AKUARIUM, FORUM WARGA BUKIT DURI, KOALISI NELAYAN TRADISIONAL, BARISAN RT/ RW (BARET) JEMBATAN BESI, MANGGARAI BERSATU, GERAKAN PERJUANGAN MAHASISWA JAKARTA (GPMJ), BRN (BADAN RELAWAN NUSANTARA), Paguyuban Nelayan dan Pengolah Ikan Asin Muara Angke, Komite Masyarakat Jakarta Utara (KOM-JU), Forum RT/RW, CNDS, dan lain-lain.