APA yang anda bayangkan ketika melihat panorama sungai yang dipenuhi sampah dan limbah cair yang disinyalir limbah berbahaya? Sikap dan perilaku buruk yang merusak Kali Mati Kali Cisadane di Tanjung Burung Teluk Naga Tangerang sungguh memprihatinkan. Tidak ada kepedulian terhadap keindahan dan kelestarian lingkungan? Bahkan, mereka secara terang-terangan mencemari dan merusak Kali Cisadane!?
Kita ini hidup di zaman modern, istilahnya 4.0, suatu kemajuan dengan budaya dan peradaban sangat tinggi. Zaman di mana membawa peradaban semakin intelek (scientific), cerdas, canggih dan sangat cinta terhadap kebersihan, keindahan dan lingkungan yang sejuk dan lestari.
Inilah konteks “Clean and Green”. Kota-kota maju di dunia mengusung konsep ‘clean and green’, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan dan negara-negara Eropa. Mereka sangat peduli terhadap kebersihan dan keindahan kali. Kenapa berbeda dengan kita, sebagian dari saudara kita tidak peduli terdapak kali dan kelestariannya?
Mereka telah merusak ciptaan Allah SWT? Berarti mereka tidak bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan manusia. Padahal nenek moyang mereka telah ratusan tahun merawatnya dengan penuh ibadah demi kelangsungan umat manusia.
Ada apa dengan hantu belang “Kali Mati” Cisadane Teluk Naga? Siapa yang berbuat kejam terhadap Kali Cisadane? Sepanjang lebih kurang 12-15 km kiri kanan DAS Kali Cisadane dipenuhi aktivitas perlapakan sampah. Ratusan pelapak dan pemulung mengorek dan memilah sampah di DAS Kali Cisadane. Mereka secara terang-terangan membuang sisa-sisa sampahnya beberapa ton ke badan kali setiap hari.
Menurut informasi, sampah-sampah itu berasal dari mall, super market, apartemen, kantor, dan lain-lain. Seperti dari mall, proses pengelolaan sampah ditenderkan, kemudian pemenang tender menyerahkan pada makelar atau biong, selanjutnya biong menjual pada pelapak-pelapak sekitar Rp 300.000/truk.
Lalu para pelapak memperkerjakan beberapa pemulung untuk mengais dan memilah sampah. Pendapatan pemulung sekitar Rp 35.000-50.000/hari. Sedang penghasilan pelapak berkisar Rp 500.000-750.000/hari, mungkin ada yang lebih besar.
Persoalan utama dan serius adalah para pelapak tidak bertanggungjawab pada sisa-sisa sampahnya yang dianggap tak bernilai, sebagian besar membuangnya ke Kali Cisadane. Dan sebagian dibakar secara massif.
Setiap hari, pagi hingga malam hari terjadi kegiatan pembuangan sampah ke kali, mayoritas sampah plastik, karet, kain, popok, pampers, busa/kasur, kayu dan pembakaran sampah.
Aktivitas melanggar hukum ini telah diketahui pemerintah setempat, tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan tingkat pusat. Bahkan berbagai media mengekspos secara besar-besaran.
Tetapi mereka cuek! Sungguh nyali mereka semakin kukuh dalam mencemari dan merusak lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat! Mereka sudah kebal dan urat malunya sudah hilang?! Masa bodoh teing. Kali penuh runtah, jorok, bau. Mereka juga sudah lupa, bahwa agamanya sangat mencintai keindahan dan kebersihan. Kebersihan bagian dari iman?! Berarti kebersihan dan keindahan mempunyai tempat atau maqom yang tinggi dalam ajaran agama.
Mestinya para pelapak bersama pemasok sampah tersebut menyediakan teknologi pemusnah sampah/limbah. Merupakan solusi terbaik saat ini. Mereka tidak bisa hanya mengandalkan motif ekonomi, alasannya untuk mencari makan, menciptakan lapakan kerja, atau dengan alasan lain yang dicari-cari, jika usaha sampah ini ditutup oleh pemerintah agar dicarikan penggantinya?
Semua warga negara berhak mencari nafkah untuk kelangsungan hidup, tetapi tidak boleh melanggar hukum, HAM orang lain, merusak fungsi-fungsi lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat!?!
Semua harus ingat dalam konteks peraturan perundangan adanya prinsip pencemar membayar (‘polluter pay principles’). Semakin besar sampah/limbahnya semakin besar tanggungjawabnya, ‘extended producer responsibility’ (EPR), yang harus dibedakan dengan prinsip, substansi dan konteks CSR.
‘Corporate’ yang punya sampah, limbah cair dan punya andil mengotori, mencemari DAS Kali Cisadane harus ikut bertanggungjawab penuh. Tanggung jawab ini tidak bisa dilimpahkan pada pihak lain, seperti melimpahkan kesalahan pada pelapak-pelapak kecil dan pemulung di DAS Kali Cisadane itu?!
Belum lagi, ditambah kebiasaan warga sekitar membuang sampah ke sini. Lokasi yang terparah sebagai pembuangan sampah liar itu dikenal sebagai Kali Mati. “Hantu Belang Kali Mati Cisadane”. Tanah-tanah DAS kali Cisadane itu seperti tanah tak bertuan!?
Pertumbuhan penduduk (mortalitas dan migrasi) berimplikasi semakin banyak pertumbuhan pemukiman, real estate, rumah kontrakan, pasar, mall, kantor, apartemen, dan pelayanan jasa modern. Juga ditambah gaya hidup konsumtif, serba pakai plastik konvensional, tidak mudah terurai secara alami. Akibatnya bertambahnya volume timbunan sampah. Di mana sebagian besar dibuang ke saluran air, dan DAS Kali Cisadane.
Kali Cisadane menuju muara laut Teluk Naga itu menjadi tong sampah raksasa? Kondisinya semakin memprihatikan, kualitas air kali semakin buruk karena semakin massifnya pabrik-pabrik, seperti pabrik tekstil dan lainnya di Tangerang membuang limbah cairnya ke Kali Cisadane. Secara kasat mata, airnya keruh, kehitaman, sangat baru, dan sejumlah biota air mati. Ikan sapu-sapu pun ikut mati, padahal merupakan ikan yang palin tahan.
Menurut informasi tokoh masyarakat Tanjung Burung, pada tahun 1980-an dan 1990-an air Kali Cisadane masih bening, jernih, segar dan berbagai ikan hidup dan berkembangbiak. Warga sekitar memanfaatkan air kali untuk keperluan sehari, seperti mandi, cuci, untuk ternak, pertanian, tambak, dan lainnya.
Pun dimanfaatkan Kali Cisadane sebagai sarana transportasi. Kondisinya berubah draktis pada tahun 2000-an, bahkan semakin kemari semakin parah berbarengan dengan tumbuhnya pabrik-pabrik semakin massif, terutama di kanan kiri sepanjang Kali Cisadane. Semakin banyak pabrik membuang limbahnya ke kali. Semakin banyak juga penjahat lingkungan?!!
Lebih lanjut tokoh itu mengatakan, pada tahun 2019 ini menjelang musim kemarau panjang, warga di sini semakin sedih, bingung dan harus mengadu pada siapa? Sebagai ketua kelompok tani tak bisa berbuat apa-apa.
Karena air Kali Cisadane tak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian (sawah) dan pertambakan. Akibat menggunakan air Kali Cisadane padi petani seluas 40 hektar mengganas dan mati pada tahun ini.
Demikian juga udang dan ikan bandeng yang mereka budidayakan mati akibat terpapar air kali tercampur limbah pabrik.
Kerugian nelayan, petambak dan warga sekitar Kali Cisadane tak terkira!? Hampir tiap tahun mengalami kerugian. Kali Cisadane tinggalah nama, sampah dan limbah cair berbahaya terus memenuhi DAS dan badan kali itu. Hal ini diperparah derasnya tingkat sedimentasi. Kedalaman paling tengah tinggal sekitar 8 meteran, samping kanan dan kiri sekitar 4-6 meteran.
Lalu, siapa yang bertanggungjawab atas kelangsungan DAS Kali Cisadan? Siapa yang bertanggungjawab terhadap sampah dan limbah cair yang berada di DAS dan badan Kali Cisadane? Juga siapa yang bertanggungjawab atas sampah dan limbah cair dari Cisadane hingga ke laut?
Secara kasat mata sangat jelas terjadi pelanggaran secara besar-besaran, seperti UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan peraturan perundangan terkait. Lalu siapa yang harus melakukan pengawasan secara ketat dan rutin, juga penegakkan hukum secara keras tanpa pandang bulu?!!
Jika Pemerintah daerah dan Pusat tidak respon cepat dan mengambil tindakan tegas, maka malapetaka Kali Mati Cisadane akan meluas. Dan menciptakan image buruk di tingkat nasional, regional dan internasional!
Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Dewan Pembina Koalisi KAWALI Indonesia Lestari