KedaiPena.Com – Tantangan dalam menyajikan pesan pemerintah yang berbasis data lapangan, berhasil dijawab oleh film Sun on the Lake yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Walaupun masih terdapat beberapa kekurangan dalam dialog, tapi susunan cerita dan penangkapan layar atas keindahan Danau Sentarum, berhasil menyedot atensi penonton.
Penulis Buku Novel, Sun on the Lake, Kirana Kejora mengungkapkan baru saat melakukan riset buku ini, ia menemukan suatu tempat yang setiap titiknya berbicara dan bercerita dan membuatnya mati kata. Dan tak hanya itu, pembuatan novel ini bersamaan dengan pembuatan filmnya.
“Novel saya yang lain pun juga berbasis pada suatu kejadian atau true story. Tapi dalam penulisan Buku Sun on the Lake ini, bisa dikatakan penuh dengan data primer yang kuat dan memenuhi 75 persen dari isi novel. Dan untuk menghidupkan narasi data itu agar tidak membosankan maka dibangunlah rangkaian perjalanan Dara, si tokoh utama dalam mencari kunci kotak peninggalan neneknya,” kata Kirana dalam pemutaran film Sun on the Lake di Shangri La Jakarta, Sabtu (9/10/2021).
Belum lagi, perhitungan akurat pada setiap perjalanan dan benar-benar memanfaatkan waktu secara disiplin agar terhindar dari fenomena alam.
“Dalam riset itu, saya mencoba membangun suatu cerita untuk memperkenalkan keindahan, budaya hingga cerita dari Danau Sentarum kepada generasi Z atau milenial pada umumnya, yang saya sendiri juga baru melihatnya. Sementara, perjalanan itu benar-benar harus diperhitungkan agar tak terkena badai atau tak tertahan di satu titik,” tuturnya.
Ia menyebutkan Sun on the Lake ini merupakan novel pertamanya yang tak hanya berisi novel semata tapi menghadirkan puisi, prosa dan 18 foto, yang membimbingnya untuk menyusun alur cerita.
“Kesulitannya adalah membangun program pemerintah dalam bentuk dokumenter tapi tidak boleh membosankan. Harus ada cerita disitu, yang mampu menarik orang untuk membaca,” tuturnya lebih lanjut.
Kirana menyatakan proses riset untuk pembuatan buku dan teaser Sun on the Lake ini meninggalkan begitu banyak pengetahuan pada dirinya.
“Misalnya, melalui perjalanan ini akhirnya saya bisa melihat Anggrek Hitam. Yang kalau mendengar namanya, kita akan membayangkan anggrek warnanya hitam. Faktanya, anggreknya berwarna hijau dan hanya ada satu titik hitam di titik pusat bunga. Atau, saya bisa melihat Kantong Semar secara langsung,” ungkapnya.
Dan ia juga mengakui, jalinan cerita yang ia hadirkan dalam buku Sun on the Lake itu belumlah mengungkap semua potensi dari Danau Sentarum.
“Data dan pesona Danau Sentarum itu masih bisa dijadikan serial buku, karena banyak sekali datanya. Buku ini merupakan tantangan rumit buat saya. Bagaimana membuat suatu perjalanan yang berbasis data nyata menjadi menarik,” ungkapnya lagi.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Sensor Film, Abu Hanifah menyebutkan tantangan film dokumenter adalah bagaimana pengemasan film tersebut sehingga menarik orang untuk melihatnya.
“Sebuah film dokumenter itu harus berdasarkan data dan memiliki kaidah sinematografi. Tapi harus menarik, sehingga tujuan pembuatan film dokumenter itu dapat tercapai. Inilah tantangannya. Bagaimana fungsi film sebagai media komunikasi dapat tercapai,”kata Hanifah.
Sun on the Lake, lanjutnya, mampu menampilkan hal itu dan berhasilkan menitipkan suatu pesan moral di akhir film.
“Di mana pesan yang disampaikan adalah bagaimana kita melestarikan lingkungan dari diri kita sendiri. Karena jika tak dimulai dari diri kita sendiri maka siapa lagi yang akan melestarikannya,” pungkasnya.
Laporan: Natasha