Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Jauh sebelum Sumpah Pemuda, 1928, menyepakati bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan minat dan apresiasi para ilmuwan Barat terhadap bahasa Melayu ternyata sudah sedemikian tinggi.
Dalam buku Panggung Sejarah untuk mengenang sejarawan dan antropolog terkemuka Perancis, Prof Dr Denys Lombard, disebutkan, kuliah bahasa Melayu untuk umum yang pertama di Eropa terbuka pada tahun 1841 di Paris, Perancis.
Studi ini berbeda dengan Belanda yang membuka Institut Javanologi di kota Solo, pasca Tanam Paksa, 1830, untuk tujuan kolonisasi.
Ilmu Javanologi sendiri adalah ilmu tentang bahasa, budaya, dan sejarah Jawa.
Ilmu ini muncul karena pemerintah kolonial Belanda saat itu mengeluarkan kebijakan baru yang mengharuskan para pegawai Belanda yang bekerja di Hindia Belanda memiliki kecakapan berkomunikasi dalam bahasa Jawa, agar lebih dekat dengan para pegawai bumiputera.
Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan di Tanah Jawa selama 40 tahun (1830-1870) sangat membutuhkan peran Institut Javanologi.
Dengan riset dan biaya besar pemerintah Belanda kemudian mencetak para ahli budaya dan ahli sejarah Jawa berkebangsaan Belanda yang mahir berbahasa Jawa dan memahami berbagai hal tentang Jawa.
Instituut Vor Het Javaansche Taal atau Institut Javanologi ini menurut sejarawan Takashi Shiraishi, pada dekade 1840 digantikan oleh Royal Academy yang didirikan di Delft, Belanda. Lalu Universitas Leiden mengembangkannya menjadi studi tentang Jawa yang disebut Javanologi.
Para Javanolog Belanda inilah yang kemudian mempelajari kesusastraan, bahasa, dan sejarah Jawa Kuno secara mendalam, yang sebelumnya pengetahuan-pengetahuan ini telah lama menghilang di kalangan orang Jawa.
Para Javanolog Belanda ini mengembalikan tradisi Jawa Kuno, dan karena studi bahasa Jawa terpusat di kota Surakarta (Solo) Kesunanan Solo kala itu memperoleh pengakuan dari Belanda sebagai pemangku tradisi Jawa.
Padahal budaya dan karakter manusia Jawa sangat heterogen. Mencakup dialek, logat, watak, kesenian, dan sebagainya. Secara demografis-sosiologis karakternya juga berbeda antara masyarakat Jawa pesisir dan Jawa pedalaman.
Lalu bagaimana pantun Melayu memberikan sumbangsih kepada sastra Perancis dan sastra Eropa?
Menurut ilmuwan Perancis yang merupakan ahli kesusasteraan Indonesia terkemuka, Henri Chambert-Loir, sebuah buku berjudul A Grammar of the Malayan Language, yang terbit di London pada 1812 mempunyai andil yang sangat besar dalam proses pengetahuan orang-orang Perancis dan Eropa tentang Indonesia.
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Perancis pada 1824 oleh C.P.J Elout, seorang pensiunan perwira tinggi Belanda yang pernah berdinas di Hindia Belanda, dan diterbitkan di kota Haarlem, Belanda.
Dalam buku tentang tata bahasa tersebut dikutip beberapa karangan sastra Melayu karya penyair pantun Melayu, antara lain sebuah pantun berkait empat bait:
“Kupu-kupu terbang melintang
Terbang di laut di ujung karang
Hati di dalam menaruh bimbang
Dari dahulu sampai sekarang”.
Ternyata, menurut Henri Chambert-Loir, pantun ini telah menarik perhatian dan menginspirasi banyak penyair Perancis kala itu yang kemudian terdorong untuk mempelajarinya sehingga mencetuskan genre baru dalam sastra Perancis.
Versi Perancis-nya pantun itu kemudian dikutip dalam kumpulan puisi Orientales oleh Victor Hugo pada 1829.
Pantun ini merupakan contoh pertama jenis puisi pantun Melayu yang ternyata digemari oleh para penyair Perancis, sehingga pengaruh pantun ini dapat ditemukan dalam beberapa sajak karya penyair Perancis terkenal pada masa itu, seperti Theophile Gautier (1838), Charles Asselineau (1850), Charles Baudelaire (1857), Theodore de Banville (1875), Lecomte de Lisle (1884), dan Rene Ghil yang pada 1902 menerbitkan Pantoun des Pantouns, sepanjang lebih dari seribu baris.
Karena Perancis merupakan salah satu kiblat seni dan sastra dunia sastra genre ini kemudian menarik perhatian para penyair Eropa lainnya yang juga ikut terpengaruh oleh genre ini.
[***]