PUBLIK sudah kadung menganggap ada perseteruan amat serius antara ekonom senior Rizal Ramli dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI).
Maklum, ‘perang’ pernyataan keduanya di ranah publik, baik secara langsung maupun tidak, terbilang seru.
Menkeu kekeuh dengan berbagai program dan kebijakannya yang sarat dengan neoliberalisme. Di pihak lain, Rizal Ramli tak henti-hentinya menyuarakan penolakan terhadap mazhab ekonomi yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat di banyak negara.
Perseteruan keduanya seakan mencapai ‘puncaknya’ saat Presiden Jokowi mempersilakan pihak-pihak yang mengritik utang luar negeri Indonesia adu data.
Publik langsung membaca pernyataan Jokowi itu sebagai ‘tantangan berdebat’. Dan, orang pertama yang menyambut tantangan tersebut adalah Rizal Ramli.
Sayangnya, hingga berbulan-bulan sejak tantangan Jokowi dilontarkan, debat RR vs Sri tak kunjung terselenggara. Padahal banyak pihak yang sangat berharap debat bisa terjadi. Bahkan sejumlah kalangan dan televisi swasta menyatakan siap memfasilitasi debat sekaligus menjadi penyelenggara.
Berkaca pada hal ini, tak urung banyak kalangan dibuat terkejut atas keakraban keduanya di peringatan Hari Oeang ke-70 di Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin (30/10).
Tanpa diduga, pada kesempatan itu Menkeu era Gus Dur tersebut bahkan memuji Sri sebagai sosok yang punya nyali lebih hebat dibandingkan dirinya sendiri.
“Walaupun saya orang berani, sudah putus urat takutnya, tetapi tidak punya nyali sehebat ibu SMI yang berani memakai sneaker yang warnanya supergreen,” ujar Rizal Ramli yang diundang dalam kapasitas sebagai eks Menkeu, saat memberi sambutan di acara tersebut.
Perseteruan selesai?
Pernyataan lelaki yang sudah dikenal ‘badung’ sejak mahasiswa itu jelas hanya guyon belaka. Itu sebabnya ledakan tawa segera memenuhi ruangan tempat peringatan Hari Oeang diselenggarakan. Hadirin terpingkal-pingkal mendengar celetukan spontan Rizal Ramli tadi.
Orang pun menganggap perseteruan Rizal Ramli-Sri telah selesai. Alasannya, ya itu tadi. Keduanya sudah bisa bergurau dengan ringan dan akrab. Apalagi, saat mempersilakan RR memberi sambutan, Menkeu (secara guyon) mengatakan ini bukan arena untuk debat, yang disambut tertawa lepas audien.
RR, begitu dia biasa disapa, terbukti sama sekali tidak menyinggung soal debat. Di awal sambutannya dia menyampaikan turut berduka cita atas musibah pesawat Lion Air yang menyebabkan tewasnya sejumlah pegawai Kemenkeu.
Pada bagian lain, RR justru banyak bercanda saat mengomentari video yang memperlihatkan Menkeu Sri Mulyani dan pejabat Kemenkeu lainnya bergoyang ala kelompok Super Junior (Suju) dari Korsel yang jadi idola anak milenial zaman now.
Rizal Ramli juga menyatakan senang melihat spontanitas di video tersebut. Dia tidak menyangka para pejabat eseleon satu Kemenkeu yang biasanya serius ternyata bisa juga bercanda.
Tapi, benarkah rencana debat keduanya soal utang luar negeri sudah tutup buku? Saya termasuk yang berpendapat begitu. Ada beberapa alasan. Pertama, Sri memang tidak berminat, lebih tepatnya, tidak berani menyambut permintaan RR untuk debat terbuka soal utang luar negeri.
Untuk itu dia dan para pembantunya telah menyiapkan seabrek alasan agar debat tidak perlu terjadi.
Kedua, RR sendiri tampaknya juga sudah ‘tidak berminat’ lagi untuk debat. Ini bukan berarti karena dia sudah melupakan substansi persoalan yang teramat penting bagi negara dan rakyat Indonesia itu.
Melainkan karena sepertinya dia sudah menduga debat memang tidak akan pernah terlaksana. Bukankah ‘bola’ ada di tangan Sri? Kalau perempuan yang kadung dianggap hebat sebagai buah kolaborasi media mainstream dan kepentingan asing itu, pada dasarnya memang emoh, sampai kuda bertanduk pun debat tidak bakal terjadi.
Ada yang salah
Sampai di sini saya menilai memang ada yang salah dari Menkeu yang satu ini. Dia tetap ngotot dan ngeyel dengan berbagai kebijakan ekonominya yang neolib berat.
Sri tidak peduli fakta menunjukkan ekonomi tak beringsut dari 5%, utang menumpuk hingga ribuan triliun, defisit menganga di mana-mana, harga-harga terus melambung, pendapatan rakyat stagnan bahkan cenderung turun karena PHK terjadi di mana-mana, lapangan kerja sulit dan amat terbatas, dan seterusnya dan lainnya.
Ketika ekonomi mandeg dan rupiah kian terkulai terhadap dolar, Sri dan para menteri ekonomi sibuk menyalahkan faktor-faktor eksternal. Krisis di Argentina dan Yunani, perang dagang Amerika Vs China, dan kebijakan The Fed yang cenderung mengerek suku bunga adalah deretan kambing hitam yang dicuatkan ke permukaan.
Padahal, ibarat tubuh, kalau stamina kuat dan sehat berbagai bakteri dan virus bertebaran pun badan tidak jadi sakit. Sebaliknya, jika stamina loyo tetangga sebelah bersin saja sudah ikut kena flu. Intinya, perkuat ekonomi nasional. Perbaiki defisit transaksi berjalan, defisit transaksi perdagangan, defisit neraca pembayaran, dan defisit APBN.
Caranya, genjot ekspor nonmigas, tekan impor khususnya barang konsumsi, buka lapangan kerja lebar-lebar untuk anak bangsa, tekan utang luar negeri, dan undang investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Karena problem sudah kadung rumit, penyelesaiannya tidak bisa lagi denganc cara-cara biasa.
Harus ada kebijakan-kebijakan terobosan, out of the box. Cepat, tepat, efektif, dan massif. Kalau jurus-jurus ini ditempuh, maka ‘tubuh Indonesia’ dipastikan bakal kuat dan kebal terhadap berbagai penyakit global. Jika pun ada pengaruh, itu cuma ‘senggolan kecil’ belaka.
Sayangnya, Sri dan jajaran menteri ekonomi kita tidak begitu. Bisa jadi, mereka sebetulnya paham bahwa langkah-langkah itulah yang harus dilakukan. Namun karena kapasitas dan kapabelitas yang di bawah banderol, maka jurus-jurus pamungkas tadi cuma jadi wacana yang menggantung di awang-awang.
Kondisi tersebut masih ditambah lagi dengan pakem neolib yang mereka anut cenderung melakukan pengetatan saat krisis menerjang. Menaikkan pajak, mengurangi belanja sosial (subsidi), menaikkan harga jual barang kebutuhan dasar adalah obat generik ala neolib.
Maka jadilah kontraksi ekonomi semakin mempersulit Indonesia keluar dari kubangan krisis. Ekonomi mati suri. Akibatnya, kehidupan rakyat makin termehek-mehek digencet kian beratnya beban hidup.
Jadi, debat soal utang luar negeri dipastikan tidak bakal terjadi. Solusi bagi ekonomi yang mandeg pun tak kunjung ditemui. Yang bisa rakyat lakukan, hanyalah menunggu sampai 2019, saat pergantian Presiden terjadi.
Setelah itu, mudah-mudahan kendali ekonomi negeri tidak lagi di tangan para hamba dan pejuang neolib.
Kendali ekonomi harus berada di tangan orang yang benar-benar punya nyali. Bukan sekadar berani memakai sepatu sneaker warna supergreen yang ngejreng, tapi tunduk dan takzim di hadapan kepentingan asing.
Kita perlu orang yang berani berdiri sama tegak dengan kepentingan global dan siap bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Aamiin.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies