SAMPAH plastik laut menjadi ancaman nyata di negara yang memiliki mayoritas laut, termasuk Indonesia yang telah diakui sebagai ‘archipelagic state’ atau negara kepulauan.
Pada setiap tanggal 13 Desember, segenap masyarakat kelautan Indonesia mengenal dan memperingati Hari Nusantara sebagai Hari Raya Nasional yang ditetapkan berdasarkan Keppres No. 126 tahun 2001, ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sejarah panjang hari kelautan Indonesia ini berawal sejak Kabinet Karya yang dipimpin oleh Perdana Menteri, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja mengumumkan “Deklarasi Djoeanda“ pada 13 Desember 1957.
Deklarasi tersebut dapat dijadikan tonggak ke-3 dalam perjalanan berdirinya Republik Indonesia ini, setelah yang pertama yaitu Sumpah Pemuda 1928 yang merupakan deklarasi jiwa kesatuan para pemuda dan pemudi Indonesia dalam menegakkan semangat kebangsaan Indonesia.
Lalu tonggak ke-2 yakni Proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 yang merupakan penetapan secara ‘de jure’ berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia.
Tonggak ke-3 yakni Deklarasi Djoeanda yang merupakan deklarasi kewilayahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berdasarkan deklarasi ini, wilayah laut RI bertambah sampai dengan 70 persen dari seluruh wilayah NKRI.
Perkembangan selanjutnya, Deklarasi Djoeanda tersebut, dibawa dan diakui dalam Sidang PBB, United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea), ke-3 (UNCLOS III) yang ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica.
Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.
Konvensi UNCLOS pada tahun 1982 ini, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958, UNCLOS mulai diberlakukan pada 16 November 1994.
Pengakuan Indonesia sebagai ‘archipelagic state’ telah diberikan oleh dunia, namun sebagai tanggung jawab kita bersama yakni sebagai masyarakat Indonesia kepada pengelolaan keberlanjutan laut dunia apakah sudah berjalan?.
Pada poin 4, tujuan Konvensi UNCLOS adalah pencemaran lingkungan laut yang diakibatkan oleh manusia dan terkait lingkungan laut juga diatur dalam Pasal 56 Konvensi.
Dalam upaya pencegahan pencemaran laut serta pengelolaan sumber daya alam laut telah menjadi perhatian pemerintah RI, organisasi masyarakat non pemerintah dan segenap masyarakat kelautan Indonesia, dimana pengelolaan lingkungan laut yang bertanggung jawab sangat membutuhkan peran aktif kita bersama sebagai bagian dari masyarakat kelautan dunia.
Langkah kecil yang bisa kita lakukan dengan meminimalisir penggunaan plastik pada kehidupan keseharian, dimana peran plastik tersebut dapat digantikan dengan peralatan yang ‘re-usable’ ataupun dapat di daur ulang.
Fakta nyata di depan mata, penggunaan plastik pada kehidupan keseharian, ternyata telah menghasilkan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan laut kita, dan mengancam kehidupan keseharian kita.
Sebagaimana fakta yang terjadi ditemukannya Paus Sperma (Physeter macrocephalus) yang mati terdampar di Pulau Kapota, Wakatobi, Minggu (18/11/2018). Kematian Paus tersebut disebabkan oleh limbah plastik dimana ditemukan sampah plastik sebesar 5,9 kg dalam perut paus.
Kejadian ini bukan yang pertama, di tahun 2018 ini ditemukan juga seekor paus sperma jantan muda yang terdampar dan mati di pantai Murcian, Spanyol selatan (10/4/2018). Peneliti lokal menemukan 29 kg sampah plastik di perutnya.
Mengantisipasi hal yang lebih buruk lagi Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 18 tentang penanganan sampah laut dengan target percepatan penanganan 8 tahun (2018-2025).
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dalam konferensi pers yang diselenggarakan di KKP, Rabu (21/11/2018) menyerukan kepada masyarakat terkait dampak sampah plastik terhadap lingkungan laut.
“Kita semua harus mengurangi penggunaan sampah dan buangnya sembarangan. Ini harus mulai dicegah”.
Hal lain yang menambah kekhawatiran kita, yakni hasil penelitian Pusat Oceanografi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), pada kegiatan penelitian yang mengambil sampel dari tambak garam di wilayah pantai Utara Jawa, ditemukan 10-20 partikel plastik mikro per kilogram garam.
Bahaya plastik ini bagi manusia bersifat karsiogenik, artinya senyawa ini dapat merusak sistem biologis manusia, sehinga timbul kerusakan gen yang dapat berakhir menjadi tumor maupun kanker.
Melihat perkembangan tersebut, sudah waktunya kita bersama men-deklarasikan diri kita untuk mengambil peran dalam memerangi sampah plastik ini bagi pencemaran laut kita dan laut dunia.
Gejala yang terjadi saat ini dan dapat kita simpulkan, alam akan mengembalikan apa yang manusia berikan, sebagaimana laut akan mengembalikan sampah dan limbah plastik ke daratan setelah berputar di tengah lautan.
Oleh Shahandra Hanitiyo, PNS Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia