SEJAK menjabat menjadi Sekjen Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI) tiga tahun lalu, bahkan hingga beberapa hari yang lewat, saya selalu mendapat curhatan mengenai pasar outbound yang dirasa sudah sangat tidak sehat.
Semua provider outbound berlomba-lomba banting-membanting harga memberikan harga paling murah untuk menjaring minat klien.
Saya sebenarnya bingung kenapa polemik ini masih saja muncul hingga saat ini bahkan setelah hampir 12 tahun AELI berdiri.
Iya, sejak tahun 2007 AELI berdiri, polemik banting-bantingan harga sudah ada. Bahkan bocorannya, salah satu alasan AELI berdiri ya soal perang harga ini.
Ada kekhawatiran dari para pendiri dan pendukung berdirinya AELI, jualan outbound murah akan mengenyampingkan standar keilmuan dan keselamatan sehingga akan merugikan peserta dan atau klien.
Sebenarnya sudah sejak lama saya memiliki hipotesa kenapa hal ini terjadi. Tapi agak kurang berani menyampaikannya secara terbuka krn pasti akan memicu polemik di jagat per-outbound-an nusantara.
Tapi akhirnya saya mencoba memberanikan diri menulis pendapat saya ini. Toh kebebasan berpendapat dilindungi oleh Undang-undang. Bahkan oleh Undang-Undang Dasar kita pasal 28 tepatnya.
Saya memiliki hipotesa bahwa seharusnya outbound itu dijual dengan murah. Iya betul, seharusnya outbound itu murah. Dan seharusnya polemik ini sudah tidak terjadi lagi karena sudah seperti itulah kenyataannya.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan justifikasi (baca: pembenaran) atas hipotesa saya di atas. Biar lebih fair mari kita uji hipotesa dengan bbrp parameter yang terukur biar tulisan ini seolah-olah ilmiah.
Untuk mendukung ke-sok-ilmiahan saya, mari kita telaah fenomena ini dengan beberapa tools analisa yang biasanya saya pakai untuk membantu klien saya dalam merancang, menganalisa dan mengembangkan tim, organisasi dan bisnis mereka.
Saya berencana menggunakan teori pembentukan harga pasar, ‘Porter’s Five Forces Model dan Product Life Cycle’ untuk mendukung hipotesa saya soal outbound itu seharusnya murah. Tapi jika saya gunakan semua tools itu sepertinya tulisan ini akan (ke)terlalu(an) panjang(nya). Jadi kita pake salah satu saja yah (ngeles padahal males).
Ya sudah, cukup prolognya. Kita masuk ke menu utama kenapa saya berani bilang outbound itu harusnya murah. Tapi sebelum masuk ke kesimpulan dan setelah saya sampaikan latar belakang tulisan, maka yang harus dilakukan agar tulisan ini seolah-olah ilmiah adalah menentukan definisi dari hal yang dibahas dalam tulisan ini. Biasanya dalam pembuatan skripsi tahap ini masuk di bab II yaitu landasan teori.
Ada dua hal yang kita bahas yaitu outbound dan nurah. Maka mari kita telaah dulu definisi masing-masing kata itu sebelum masuk ke pembahasan dan kesimpulan.
Jujur saya kesulitan untuk menemukan dasar teori yang tepat untuk mendefinisikan Outbound. Kalau kata murah relatif lebih mudah dicari definisinya, cari di KBBI langsung dapat. Murah adalah harga yang dianggap lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Syukurlah satu tugas untuk cari definisi sudah selesai. Yuk kita lanjut lagi cari definisi outbound yang susah tadi. Semoga bisa ketemu dengan bantuan sang mesin pencari.
Baiklah, gantian saya yang curhat ya pemirsa. Sejujurnya saya makin pusing setelah mencoba mencari tahu definisi outbound. Banyak sekali perbedaan definisi outbound yg disampaikan oleh berbagai macam dan jenis provider outbound seantero Indonesia. Saya anjurkan bagi Anda yang tidak ingin rusak mood-nya, jangan pernah sekali-kali mencoba mencari tahu dan merumuskan definisi outbound, saya jamin Anda sakit kepala.
Setelah saya telaah, ketidakjelasan definisi outbound inilah biang kerok perkara outbound murah dan jenuhnya industri per-outbound-an.
Dari sekian banyak laman yang saya telusuri untuk mencari tahu definisi outbound, ditemukan banyak sekali perbedaan dalam menerangkan apa itu outbound. Dan belum ada rujukan ilmiah yang saya dapat tentang definisi outbound. Adanya definisi yang disampaikan oleh para penyedia jasa outbound tadi.
Selain rujukan ilmiah, cara lain yang bisa digunakan untuk menentukan definisi adalah dengan menjelaskan langsung aktivitas atau bentuk riil dari definisi yang dimaksud. Nah, parahnya lagi, dari sekian banyak laman yang mengklaim diri sebagai penyedia jasa outbound, bentuk turunan kegiatan dari outbound ini juga beragam.
Makin pusinglah saya. Tolong diingat anjuran saya tadi ya jangan coba-coba mendefinisikan istilah kutbound. Dijamin sakit kepala dan merusak mood. Dan tolong jangan tanyakan juga kenapa saya tetap melakukan ini padahal jelas berdampak buruk bagi saya.
Kegiatan anak sekolah bercocok tanam dibilang outbound, main flying fox dan aktivitas highrope lain juga dibilang outbound, panahan dibilang outbound, maen offroad katanya outbound juga, gathering karyawan perusahaan dibilang outbound, jalan-jalan ke luar kota dibilang outbound juga, latihan jungle survival dibilang outbound.
Dan ada juga training di luar ruang dengan games-games dibilang outbound bahkan wahana permainan ATV, inflatabel giant air ball dan segala macam wahana permainan lain juga dibanderol dengan istilah outbound. Lengkaplah sudah sakit kepala saya.
Perbedaan bentuk kegiatan itu juga memunculkan beragam jenis istilah outbound. Ada outbound training, outbound bercocok tanam, outbound offroad, outbound archery, outbound rafting, outbound gathering, outbound survival, dan outbound-outbound lainnya.
Kalau semua hal yg saya sebutkan itu dan mungkin beberapa bentuk kegiatan outbound lain yang belum saya sebutkan semuanya dinamakan outbound maka wajar saja kalau akhirnya harga outbound jadi nurah.
Masih ingat definisi murah tadi? Murah adalah harga yang dianggap lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Persepsi harga pasar outbound training dengan outbound gathering pasti berbeda. Begitu juga outbound rafting dengan outbound offroad. Dan semua outbound-outboung yang lain. Jadi wajar saja jika masing-masing outbound itu akan merasa bahwa outbound yang lain banting harga dan menjual outbound murah. Yang dijual beda tapi namanya sama, ya wajar aja jadi ada mispersepsi harga murah tadi.
Ini kita belum bahas kebingungan dari sisi klien lho ya. Bayangkan bila ada klien yang memiliki persepsi bahwa outbound adalah yang begini-begini sehingga harganya harusnya segini, ternyata dapetnya outbound yang begitu-begitu dengan harga segitu.
Menurut saya sudah jelaslah biang kerok kenapa terjadi polemik banting-bantingan harga kutbound Murah. Jadi sudah cukup ya bahas polemik banting-bantingan harga murah di industri outbound.
Eh tapi meskipun sudah tercerahkan kenapa terjadi polemik mispersepsi harga murah tadi, sampai di sini memang belum menjelaskan hipotesa saya soal outbound seharusnya memang murah.
Jadi mari kita lanjut sejenak, mungkin bisa disambi dengan minum kopi biar ga ikut sakit kepala kaya saya karena baca tulisan saya yang (ke)terlalu(an) panjang(nya) ini.
Untuk menetapkan kesimpulan dari hipotesa saya mengenai seharusnya Outbound itu murah, maka saya harus beranikan diri untuk mendefinisikan sendiri apa itu outbound.
Saya tidak sepakat kalau ada yg bilang outbound itu metode. Kalaupun ada yang ngotot outbound itu adalah metode karena asal katanya dari program outward bound maka menurut saya juga tidak tepat bila dibilang metode karena outward bound itu nama yayasan bukan nama metode.
Bila ada yang bilang outbound itu adalah serangkaian program yang berbeda dan menembus batasan alias out of boundaries terus disingkat outbound juga saya rasa tidak tepat karena tidak semua kegiatannya menembus batasan dari diri peserta.
Saya juga tidak sepakat bila ada yang bilang outbound itu adalah rangkaian kegiatan yang memiliki tujuan pengembangan karakter, kepemimpinan dan lain lain karena kenyataannya juga tidak demikian. Banyak yang jual outbound tidak menawarkan dan memberikan hasil berupa pengembangan diri pesertanya.
Bila kita mau rendah hati secara jujur mengakui, dari sekian banyak definisi yang menjelaskan dan menjual layanan dengan nama outbound sejatinya hanya merujuk pada aktivitas yang ditawarkan. Outbound itu hanya aktivitas. Iya hanya aktivitasnya saja. Bukan metode apalagi rangkaian kegiatan pengembangan diri.
Outbound anak sekolah dengan menangkap ikan dan bercocok tanam ya jelas menjelaskan aktivitasnya adalah menangkap ikan dan bercocok tanam. Outbound offroad ya menawarkan aktivitas offroad. Outbound gathering hanya menawarkan aktivitas games-games untuk mengisi acara gathering perusahaan.
Dan dari berbagai macam jenis outbound yang beredar di pasaran, mulai dari outbound training sampai outbound gathering, saya menemukan satu ciri yang sama yaitu adanya aktivitas permainan-permainan baik berupa ice breaking games, problem solving games, team building games, dan games-games simulasi lain di semua bentuk turunan segala jenis outbound tadi.
Maka dengan ini saya memberanikan diri menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan outbound adalah rangkaian aktivitas permainan yang dapat digabungkan dalam berbagai jenis kegiatan lain.
Bentuk outbound ini bisa berupa ice breaking games, problem solving games, team building games, dan games-games lain. Saya sederhanakan yang dimaksud outbound adalah serangkaian kegiatan permainan yang menyenangkan alias games outbound.
Dengan definisi tersebut mari kita telaah kenapa seharusnya outbound itu murah. Untuk melaksanakan serangkaian kegiatan Outbound itu dibutuhkan sumber daya yang menjadi dasar terbentuknya harga pokok produksi. Saya rasa tidak tepat juga untuk membuka rahasia dapur di sini, maka saya hanya akan membuat perbandingan saja dengan beberapa aktivitas yang serupa.
Mari kita lihat rafting alias Arung Jeram. Dengan banyaknya peralatan pendukung dan resiko kegiatan yang cukup besar, pasaran harga rafting berkisar di angka 200-ribuan, bahkan ada yang di bawah itu. Kita juga dapat membandingkan dengan paintball yang membutuhkan peralatan yang juga tidak sedikit dan juga tidak murah dijual dengan harga hanya 75rb hingga 100rb.
Untuk menghitung biaya produksi dan harga jual outbound itu bisa kita bandingkan dengan rafting dan paintball. Kegiatannya membutuhkan peralatan yang serupa. Bahkan bisa dibilang rafting dan paintball butuh alat yang relatif lebih mahal dari games-games outbound. Penggunaan tenaga sumber daya manusia pun bisa dibilang lebih banyak rafting dan paintball dibandingkan jumlah orang yang diperkukan untuk mengadakan kegiatan games outbound. Maka seharusnya harga games outbound bisa lebih murah dari rafting dan paintball. Berapa nominalnya, saya rasa kita dapat simpulkan sendiri.
Setelah berpanjang lebar menjelaskan hal ini, saya tegaskan sekali lagi bahwa seharusnya outbound itu murah. Dan jelas klien selaku pembeli selalu mengharapkan harga yang paling murah. Jadi janganlah lagi berpolemik kenapa outbound itu murah. Yang harusnya sekarang dilakukan adalah berkreasi, berinovasi dan melakukan efisiensi agar biaya pokok produksi outbound semakin kecil jadi kita mampu menjual dengan harga yang semakin murah.
Popularitas outbound sudah sangat tinggi sekarang ini. Kalau merujuk ke product life cycle, outbound bisa dikategorikan ke dalam fase maturity. Tidak perlu lagi effort besar untuk memasarkan outbound karena pasar sudah sangat mengenal dan percaya. Fase maturity ini adalah saatnya farming alias masa panen menuai hasil dari upaya bertahun-tahun mempopulerkan outbound. Jadi silahkan beramai-ramai memanfaatkan momentum yang sangat berharga ini.
Jangan lupa kejayaan outbound di fase maturity ini ada akhirnya. Karena pasar sudah saturated. Akan ada masanya outbound masuk ke fase decline dimana permintaan akan turun. Sebelum itu terjadi marilah manfaatkan momennya dan sekaligus tetap berinovasi membuat produk baru pengganti outbound bila masa jenuh klien sudah datang.
Oiya satu lagi, bila ditelaah dengan porter five forces, industri outbound ini sudah tidak menarik maka wajar bila harganya murah. Sebuah industri atau usaha dapat dikatakan menarik atau tidak dapat ditelaah dari lima faktor menurut Michael Porter berikut ini.
Pertama “threats of new entry” alias ancaman dari pemain baru yang masuk sangat tinggi. Semua bisa dengan mudah menjual outbound dengan harga yang lebih murah dari pasaran yang ada.
Kedua “competitive rivalry” alias kompetisi pasar yang sangat tinggi. Semua dituntut untuk semakin memurahkan harga karena semua berkompetisi untuk memberikan harga paling murah.
Ketiga “Buyer Power” alias kekuatan atau posisi tawar dari pembeli sangat tinggi. Mereka bisa dengan mudah menekan harga, kalau tidak dikasih murah dengan mudah bilang akan cari provider yang lainnya.
Keempat “threat of subtitution” alias alternatif pengganti dari outbound yang sangat banyak. Bisa ganti dengan paintball, rafting, archery, offroad, tour museum, organ tunggal, senam aerobik dan lain sebagainya.
Kelima “supplier lower” alias posisi tawar dari vendor penyedia peralatan outbound. Hanya faktor ini saja yang bisa dibilang dapat dikontrol oleh industri outbound. Kalau supplier tidak mau jual harga rendah, provider bisa bikin sendiri alat-alatnya. Hanya di poin inilah industri outbound bisa berinovasi dan melakukan efisiensi untuk membuat outbound menjadi semakin murah.
Jadi semakin jelaslah kesimpulan saya kenapa outbound seharusnya nurah. Tapi jelas juga pasarnya masih sangat besar dan terbuka. Jadi marilah sudahi polemik outbound murah ini dan mulai melakukan efisiensi biar bisa jual dengan lebih murah atau melakukan inovasi produk baru menggantikan jualan outbound yang seperti sekarang ini.
Oleh Gigih Gesang, Sekjen DPP Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI) 2016-2019