HARI ini, 2018 sudah sampai di penghujung. Besok sudah tahun baru 2019. In sya Allah. Ingat 2019, jadi ingat tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden. Sampai Oktober silam, tagar yang selanjutnya jadi gerakan ini begitu gegap-gempita.
Deklarasinya di banyak daerah dibanjiri rakyat yang dengan wajah sumringah datang berbondong-bondong. Maklum, rakyat sudah emoh terhadap rezim yang kini berkuasa. Ada banyak alasan rakyat ingin presiden baru.
Antara lain, ekonomi jeblok, harga-harga melambung bak hendak terbang menjangkau awan, daya beli anjlok, pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana, dan lapangan kerja supersulit.
Sayangnya, begitu deklarasinya meluas di banyak daerah, Penguasa jadi panik luar biasa. Dengan mengerahkan aparat dan juga kelompok massa tertentu, banyak kegiatan deklarasi #2019GantiPresiden mengalami persekusi dan intimidasi.
Dalam banyak kasus, bahkan rakyat yang bepergian memakai kaus dengan tagar #2019GantiPresiden pun dipersekusi. Di bawah ancaman kekerasan, mereka dipaksa melepaskan kausnya.
Polisi yang hadir di tempat kejadian perkara (TKP) tidak berbuat apa-apa, kecuali membantu para persekutor yang memaksa rakyat melepas pakaian bertagar tersebut.
Semua ini diawali dengan sikap polisi yang tidak mau ‘memberi izin’ kegiatan deklarasi. Meski pun, UU menyebut sama sekali tidak diperlukan izin dari Kepolisian untuk menggelar aksi menyatakan pendapat di muka umum.
Penyelenggara hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada polisi selambatnya H-3.
Sejatinya, kalau sebagian besar rakyat menghendaki pergantian Presiden, itu adalah bagian dari demokrasi. Tidak ada sebiji pun pasal dari Undang Undang atau peraturan di bawahnya yang dilabrak.
Justru pelanggaran berat terjadi oleh aparat dan kelompok-kelompok tertentu yang melakukan persekusi.
Tapi begitulah kekuasaan. Jika penguasa tidak menghendaki, dengan gampang dicari seribu dalih untuk membenarkan tindakannya.
Walau untuk itu penguasa harus menabrak UU dan peraturan yang mereka buat sendiri. Banyak contohnya. Salah satunya, ya soal deklarasi #2019GantiPresiden itu.
Solusi gampangan
Kembali ke soal kian beratnya beban hidup, rakyat merasakan benar dalam tiap denyut nadinya. So, jangan minta rakyat menyodorkan angka dan data. Rakyat tidak paham data dan angka.
Perkara angka dan data, itu domain para peneliti dan ekonom. Jangan pula minta rakyat berhenti mengeluh, karena itu memang yang mereka rasakan.
Penguasa juga jangan asal njeplak dengan solusi-solusi gampangan. Daging mahal, makan bekicot; cabe mahal, tanam sendiri; beras mahal, silakan diet.
Dan, yang paling penting, jangan pernah berkata kepada rakyat, “kalau mengritik harus beri solusi.” Rakyat sudah terlampau sibuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Waktu, tenaga, pikiran, dan segala sumber daya yang ada sudah habis untuk menyiasati agar bisa besok tetap bernafas di tengah himpitan beban hidup yang kian menggencet. Mereka tidak punya waktu lagi untuk memikirkan solusi-solusi.
Lagi pula, yang jadi penguasa kan bukan rakyat. Yang mendapat gaji dan fasilitas berlimpah kan pejabat. Yang bergelar profesor doktor kan para birokrat. Nah, mestinya, gunakanlah semua itu untuk berpikir cerdas dan bekerja ekstra keras guna mensejahterakan rakyat.
Para pendukung (dan penjilat) Presiden selalu menyodorkan gegap-gempita pembangunan infrastruktur sebagai prestasi Jokowi.
Pembuatan jalan tol, pelabuhan, dan bandara adalah nyanyian yang yang terus-menerus diulang-ulang. Mereka tidak peduli bagaimana dan dari mana dana yang digunakan untuk membangun itu semua diperoleh.
Padahal, kalau soal membangun jalan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-1811) Herman Willem Daendels terbukti sukses membangun jalan Anyer-Panarukan yang panjangnya mencapai seribu kilometer.
Membangun pelabuhan pun dilakukan Belanda. Warisannya di antaranya pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, pelabuhan Tanjung Mas di Semarang, dan pelabuuhan Belawan di Sumatera Utara. Kalau bandara, Belanda meninggalkan Kemayoran dan Halim Perdanakusuma.
Gerombolan ini juga tidak peduli dengan utang yang menggelembung luar biasa hanya dalam tempo amat singkat. Mereka seperti membuta-tulikan mata-telinganya atas utang pemerintah dan swasta melonjak lebih dari Rp7.000 triliun hanya dalam tempo kurang dari empat tahun.
Bahkan para menteri ekonomi yang konon orang-orang jempolan, pun tidak peduli bahwa utang pemerintah bertambah sekitar Rp1.600 triliun. Padahal, mereka tahu persis, angka ini jauh melampaui kenaikan pendapatan pajak dan pertumbuhan PDB.
Orang-orang ‘terhormat’ itu bagai menggadaikan nalar dan nurani ketika dihadapkan kenyataan, bahwa utang ribuan triliun tadi menjadi beban rakyat hari ini dan anak cucunya di masa depan.
Kemiskinan kian parah
Di luar infrastruktur bermasalah yang digembar-gemborkan sebagai keberhasilan tadi, kita bisa memajang deretan fakta kegagalan Jokowi. Dari sisi kesejahteraan, misalnya. Bagaimana Jokowi dan tim ekonominya menjelaskan, saat Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sekitar 100 juta penduduk Indonesia miskin dan dan rentan miskin?
Pada 2017, kemiskinan semakin dalam. Indikatornya adalah kian jauhnya pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan yang Rp401.220/orang per bulan. Padahal, kita sudah merdeka lebih dari 73 tahun.
Bandingkan dengan negara-negara ASEAN lain yang merdeka belakangan, rakyatnya sudah jauh lebih sejahtera ketimbang kita. Bahkan melawan Vietnam yang ‘anak bawang’ di ASEAN pun, Indonesia kedodoran.
Bagaimana Jokowi dan para pendukungnya harus bekelit, manakala data menunjukkan Indonesia berada di peringkat empat negara dengan ketimpangan tertinggi? 1% penduduk terkaya menguasai 49,3% kekayaan negara.
Bahkan harta empat orang terkaya di negeri ini, setara dengan kekayaan 100 juta penduduk. Bukti ketimpangan lainnya, Data World Bank menyebutkan, 74% luas tanah dikuasai 0,2% penduduk.
Bagaimana pula Jokowi dan fans-nya menjelaskan, bahwa Indonesia termasuk salah satu negara paling oligarkis. Jeffrey Winters (2017) dan Arif Budimanta (2018) menyebut, setiap1 dari 40 orang terkaya memiliki aset 584.478 kali lipat dari rata-rata pendapatan per orang.
Para oligark bukan cuma memonopoli penguasaan aset ekonomi, tapi mereka juga merambah struktur politik di pelbagai tingkat, baik di eksekutif maupun legislatif.
Akibatnya, korupsi merajalela dan ketimpangan semakin parah.
Dengan ketimpangan kesejahteran yang luar biasa tersebut, tidak heran bila United Nation Sustainable Development melaporkan tingkat kebahagian masyarakat turun drastis dalam tiga tahun terakhir. Peringkat Indonesia melorot dari 74 menjadi 96 pada 2017 di antara 156 negara.
Tidak bisa tidak, Jokowi dan rezimnya harus mengakui, bahwa rapor pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia jelas-jelas kebakaran. Angka-angkanya bertabur dengan warna merah.
UNDP bahkan mengganjar Indonesia sebagai negara yang indeks pembangunan manusia (IPM)-nya lebih lamban ketimbang negara lain. Pada 2014, IPM kita berada di posisi 133, melorot ke peringkat 113 di antara 188 negara.
Hayo, masih ngotot mau dua periode? Pertanyaannya, masih punya malu? #2019GantiPresiden sudah benar itu!
Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior