Ditulis oleh: Inas N Zubir Pengamat Energi
APAKAH harga pertalite sudah sesuai dengan harga pasar? MOPS price RON 92 di market adalah USD. 107 dengan freigt USD. 2 per barrel. Dan rate dollar adalah Rp 15.000. Jadi Harga Index Pasar (HIP) Pertamax (RON 92) adalah ((107+2)x15.000)/159)= Rp. 10.283,- per liter, sedangkan HIP pertalite adalag 99.21% harga HIP Mogas 92 rata-rata 3 bulan, yakni Rp. 10.201,-
Berdasarkan Permen ESDM No. 62/2020, badan usaha dapat memungut biaya pengadaan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi untuk Pertalite sejumlah Rp. 1.800,- dan margin 10%, sehingga harga Pertalite sebelum pajak adalah Rp. 12.001,- per liter.
Pajak terdiri dari PPN 11%, PPH 3% dan PBBKB 5%. Seharus harga Pertalite setelah pajak adalah Rp. 14.281,- sedangkan harga jual Pertalite adalah Rp. 7.650. Jadi, sebenarnya pemerintah masih memberikan subsidi untuk pertalite sebesar Rp. 6.631,- per liter.
Padahal didalam APBN tidak ada subsidi Pertalite sehingga selisih Rp. 6.731,- tersebut ditanggung oleh Pertamina sebagai kompensasi yang akan diperhitungkan oleh pemerintah tanpa jangka waktu jatuh tempo pembayaran-nya. Dimana kondisi ini sangat membebani Pertamina.
Kondisi tersebut diatas sangat tidak sehat bagi suatu perusahaan, walaupun perusahaan tersebut adalah perusahaan negara, maka dibutuhkan suatu kebijakan pemerintah yang hitam putih, yakni subsidi yang dianggarkan didalam APBN dan bukan dalam bentuk kompensasi yang seolah-olah bukan subsidi.
Kebijakan pemerintah melalui kementrian ESDM yang menghapuskan subsidi premium dan hanya menetapkan subsidi solar Rp. 1000,- per liter adalah kebijakan yang blunder, dimana akibat-nya berdampak pada hari ini.
Kemudian kebijakan ini berubah dan bahkan semakin blunder, yakni subsidi tidak langsung dalam bentuk hutang kepada Pertamina ketika harga jual dibawah harga kekinian yang justru menyebabkan Pertamina berkali-kali harus akrobat agar keuangan-nya tidak bleeding.
Sayang-nya pemerintah bergeming dan tetap dengan kebijakan-nya hingga sekarang, maka secara tidak langsung malahan menjadi bumerang karena hutang pemerintah kepada Pertamina semakin bengkak, dimana hari ini sudah mencapai lebih dari Rp 200 triliun.
(***)