KedaiPena.com – Pemberian subsidi tiket KCJB yang dia anakan pemerintah dinilai kental nuansa politisnya terkait program keberlanjutan. Publik harus mengawasi kemana arah kebijakan pemerintah dalam hal ini, karena akan membebani APBN.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengingatkan kepada publik untuk mengawasi kebijakan terkait subsidi tiket KCJB agar jangan sampai kebijakan ini dijadikan alat politik untuk melegitimasi keberlanjutan yang terkait Pemilu 2024.
“Komitmen politik sering kali diharapkan akan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, janji-janji tersebut sering kali menghadapi tantangan nyata. Rencana subsidi tiket Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) oleh Presiden Joko Widodo adalah kebijakan yang membebani APBN lebih dalam,” kata Achmad Nur, Selasa (15/8/2023).
Dalam kasus ini, lanjutnya, janji Jokowi untuk menghindari keterlibatan APBN seakan melenceng dari semangat transparansi dan akuntabilitas yang ia sampaikan sebelumnya.
“Proyek KCJB yang semula dijanjikan dengan biaya investasi sekitar 5,5 miliar dollar Amerika, kini membengkak menjadi 7,27 miliar dollar Amerika. Terlepas dari alasan-alasan teknis yang mungkin mendasari pembengkakan biaya ini, penggunaan dana APBN dalam proyek ini seolah menjadi alternatif mudah daripada mencari solusi yang lebih terukur,” paparnya.
Dari proses pembiayaan bermasalah yang menyebabkan pembengkakkan yang membebani APBN, menunjukkan perencanaan dan proses pembuatan kerjasama yang tidak matang dan teliti.
“Jadi, ada beberapa alasan Beleid subsidi tiket KCJB menjadi tidak tepat. Pertama, Presiden Jokowi telah menggarisbawahi pentingnya subsidi dalam sektor transportasi untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, rencana subsidi tiket KCJB, yang semestinya mengikuti komitmen ini, terasa bertentangan. Proyek KCJB awalnya diharapkan tidak melibatkan APBN, tetapi kini melibatkan APBN, bahkan dengan kehadiran subsidi tiket KCJB tambah membebani neraca keuangan negara, ini menunjukkan ketidaksesuaian dalam komitmen dan tindakan. Janji politik adalah fondasi hubungan antara pemimpin dan rakyat,” paparnya lagi.
Ia menyatakan keputusan untuk melibatkan APBN dalam subsidi KCJB merusak integritas janji-janji politik. Konsistensi dalam komitmen dan tindakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam kepemimpinan.
“Kedua, keterlibatan APBN dalam subsidi ini menambah beban negara lebih dalam sehingga akan mengganggu program-program pemerintah yang lainnya,” kata Achmad Nur.
Ketiga, jika dilihat dari harga yang ditetapkan tanpa subsidi diproyeksikan kemampuan pengembalian modal bisa mencapai 80 tahun. Ini pun rentan dengan tingkat kemampuan manajemen KCJB dalam membiayai pemeliharaan yang tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Jika aspek ini terganggu tentunya selain mendatangkan ancaman bagi keselamatan tapi juga menjadi ancaman bagi sustainability operasional KCJB. Karena perjalanan 80 tahun ini tentunya harus ada biaya pengadaan selama beberapa kali yang menuntut anggaran depresiasi yang cukup.
“Keempat, pemberian subsidi ini terkesan menutupi kekurangan atas ketidakkonsistenan antara janji politik Jokowi dan persoalan pembengkakkan anggaran yang terjadi sehingga proyek KCJB ini terkesan bermuatan politis,” ujarnya.
Apalagi ada rencana perpanjangan rute kereta api cepat dari Jakarta hingga Surabaya yang banyak dikritisi karena bercermin dari masalah pembiayaan yang terjadi pada pembangunan KCJB. Tentunya subsidi ini akan menjadi polesan untuk mendapatkan legitimasi agar rencana-rencana yang beresiko menimbulkan jebakan utang seperti pembangunan kereta cepat Jakarta – Surabaya, dan lain-lain benar-benar diimplementasikan sebagai program keberlanjutan.
“Kelima, subsidi tanpa melibatkan APBN dapat menyebabkan risiko akumulasi utang di masa depan, yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Mengelola kebijakan subsidi dengan bijaksana adalah suatu keharusan untuk menjaga keseimbangan fiskal dan keuangan negara,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa